Lihat ke Halaman Asli

Realitas Viktimisasi Terhadap Perempuan: Pada Kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga dan Perkosaan

Diperbarui: 20 Juni 2015   03:27

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

(Essay ini dibuat sebagai salah satu tugas mata kuliah Viktimologi pada Maret 2013)

Kelly (1988) mengungkapkan bahwa kekerasan bersifat kontinum, artinya sangat sulit untuk memisahkan salah satu aspek kekerasan tersebut, seperti sangat sulit memisahkan kekerasan fisik dengan kekerasan seksual, terutama bila terjadi kepada perempuan, bisa jadi ia mengalami kekerasan seksual yang kemudian ia mendapat kekerasan yang mematikan atau dibunuh.

Perempuan sangat rentan menjadi korban kejahatan. Dalam lingkungan pekerjaannya pun perempuan berpeluang besar menjadi korban kejahatan akibat dari ketidaksetaraan gender dengan laki-laki. Seperti dalam sebuah jurnal internasional yang pernah saya dan kelompok saya review menyebutkan bahwa data statistik di Inggris dan Selandia menyebutkan, rata-rata dua perempuan dibunuh oleh pasangannya atau teman dekatnya setiap minggu. Ini adalah suatu realita yang amat disayangkan. Perempuan menjadi korban kejahatan dimana pelakunya sebagian besar adalah orang terdekatnya.

Cesare Lombroso, salah satu pendiri kriminologi modern, menuliskan bahwa perempuan lebih sering terlibat dalam perampokan, pembunuhan, dan penyerangan adalah karena sifat dari konstitusi feminin. Tetapi bagi saya, dalam realita nya lebih banyak perempuan yang menjadi korban dibandingkan perempuan yang menjadi pelaku kejahatan.Dalam survey-survey yang dilakukan juga tidak banyak perempuan yang menjadi korban kejahatan untuk mengakui tindakan yang ia alami.Hal ini bergantung dari variabel sruktural yang mengikatnya.

Kekerasan dalam rumah tangga menjadi kategori kekerasan bagi perempuan yang beresiko jauh lebih tinggi. Kekerasan dalam Rumah Tangga seperti yang tertuang dalam Undang-undang No.23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga, memiliki arti setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.

Dalam Daly dan Chesney-Lind (1988) disebutkan bahwa perempuan sebagai ibu rumah tangga menghabiskan waktu mereka sebagai ibu rumah tangga dan tidak memiliki kesempatan untuk melakukan kejahatan dalam jumlah yang signifikan pula mereka mampu memahami diri mereka. Tindak kekerasan dalam rumah tangga tersebut meliputi kekerasan fisik, contohnya suami melukai istri dengan senjata, menendang, memukul, menampar, dan segala perbuatan yang mengakibatkan luka berat dan ringan. Selanjutnya kekerasan psikologi, misalnya ancaman yang diterima istri, penghinaan. Kekerasan seksual,misalnya adanya unsur paksaan dalam berhubungan seksual, hal ini bisa disebut juga perkosaan dalam rumah tangga, dan kekerasan ekonomi, dimana suami tidak memberi nafkah pada istri ataupun menghabiskan harta milik sang istri. Diketahui selama ini kekerasan dalam keluarga merupakan sebuah fenomena yang hanya tersimpan rapi dalam area keluarga yang bersifat pribadi (privacy), relatif tertutup dan terjaga ketat, yang tidak perlu diketahui oleh orang lain karena merupakan aib bagi keluarga.

Menurut Bernard Coquelin, perwakilan United Nations Population Fund (UNFPA), di dunia satu dari tiga perempuan pernah dipukuli, dan satu dari empat perempuan mengalami penyiksaan dalam masa kehamilan. Ia menjelaskan bahwa perempuan yang pernah menikah di Indonesia cenderung mengalami pemukulan yang diterimanya dari suami karena suatu alasan, seperti bertengkar dengan suami, menelantarkan anak-anak, menolak hubungan seks dengan suami (seperti yang dikutip Anggraini, 2007).

Berdasarkan review jurnal Imagining the Victim of Crime karya Sandra Walklate, contoh lain misalnya di Kanada, bahwa satu setengah dari semua perempuan telah mengalami setidaknya satu insiden kekerasan dari usia 16 tahun. Laporan lain di Finlandia bahwa 40% perempuan telah mengalami kekerasan seksual dan fisik oleh laki-laki dari usia 15 tahun. Pengalaman kekerasan yang terjadi pada perempuan di tangan pasangannya menajdi salah satu kunci kampanye kaum feminis dalam pembentukan perlindungan bagi perempuan di London.

Barbaret (2005:358) melaporkan juga bahwa kekerasan terhadap perempuan yang paling umum adalah kekerasan yang dilakukan oleh pasangan yang sangat intim, Beberapa alasan mengapa kasus KDRT ini sulit diungkap karena perempuan sebgai korban sendiri tidak melaporkan karena mereka menganggap itu adalah suatu aib kekuarga, mereka juga kurang percaya dengan sistem peradilan pidaana di Indonesia seperti kekhawatiran akan adanya secondary victimization, dan adanya ketergantungan korban pada pelaku sehingga keadilan pun sulit dipenuhi.

Sedangkan menurut Murniati (2004, 227-229) salah satu penyebab terjadinya kekerasan dan lemahnya perlindungan hukum bagi korban perempuan di Indonesia, kemungkinan dikarenakan eksistensi dari adanya sistem budaya patriarkal di masyarakat, di mana sistem pranata sosial ini mendasarkan pada relasi yang timpang menurut kategori kuat-lemah, pihak yang kuat menguasai dan menindas pihak yang lemah ataupun sistem budaya sosial yang memarjinalkan posisi perempuan secara tetap di masyarakat, di mana seolah–olah melegitimasi berbagai macam ketidakadilan, perampasan dan penindasan yang dilakukan pelaku atas hak asasi wanita korban. Berdasarkan review jurnal Imagining the Victim of Crime pula, data dari ESRC (2002) misalnya bisa menjadi contoh, polisi di Inggris menerima setidaknya satu panggilan setiap menit untuk bantuan dalam kekerasan rumah tangga, hanya 5% pria yang menjadi korban dari insiden ini.

Sampai saat ini banyak institusi nasional di Inggris dan Selandia telah memberikan perhatian utama terhadap kriminalisasi pelaku, yang mana adanya semangat dalam perumusan kebijakan tentang kekerasan rumah tangga. Lewis (2004: 221) menganggap bahwa sistem hukum memang sudah memberikan perlindungan terhadap korban dalam kekerasan tapi jelas itu hanya untuk sebagian kecil kasus yang sampai ke pengadilan.

Kekerasan seksual diatur dalam KUHP BAB XIV tentang Kejahatan terhadap Kesusilaan dalam pasal 284 mengenai perzinahan dan pasal 285 mengenai pemerkosaan. Cohen (1955, 142-147) percaya bahwa tujuan dari kecantikan feminisitas itu lebih mudah diakses dibandingkan maskulinitas. Pesona dari pakaian perempuan dan kecantikannya dan sifat-sifat pribadi mempengaruhi kemampuan mereka dalam berhubungan dengan lawan jenis. Mereka mungkin melakukan hubungan seks pranikah dan berpeluang terhadap terjadinya kekerasan yang serius.

Survei di Kanada dari 1.993 perempuan ditemukan bahwa empat dari sepuluh perempuan menjadi korban kekerasan  seksual. Survey kejahatan Inggris menunjukkan bahwa 0,9% dari perempuan berusia 16-59 tahun mengatakan bahwa mereka telah terviktimisasi secara seksual termasuk perkosaan. Kasus-kasus tersebut sangat penting dan perempuan sering diperlakukan tidak adil oleh sistem pengadilan. Kaum feminis telah berkontribusi dalam memandang maskulinitas pria dengan perempuan sebagai korban kejahatan yang telah muncul selama dua puluh lima tahun terakhir, dan membuat link penting antara korban perempuan dan norma-norma sosial.

Kejahatan terhadap perempuan bagi saya harus ada sanksi sosial dan sanksi pidana berdasarkan perundang-undangan, karena kekerasan terhadap perempuan merupakan kejahatan yang berupa reaksi anti sosial yang dapat membawa kerugian bagi perempuan berupa kesengsaraan fisik dan psikis.

Perkosaan dan Kekerasan dalam rumah tangga adalah yang paling umum terjadi diantara kasus lain tentang kekerasan pada perempuan. Perempuan bukan satu-satunya pihak yang bertanggung jawab untuk hal ini, namun lebih kepada laki-laki, yang pada akhirnya kedua tipe kekerasan ini membutuhkan penanganan yang lebih serius. Dari sini, saya berharap agar pemerintah lebih serius dalam menangani kasus kekerasan terhadap perempuan. Perempuan sangat rentan menjadi korban tindak kejahatan dan kekerasan. Pemerintah diharuskan lebih sensitive terhadap isu gender saat ini dan tidak menomorduakan perempuan. Karena perempuan memiliki hak yang sama dengan laki-laki. Perempuan harus dilindungi dan harus diperhatikan. Kebijakan-kebijakan baru yang dibuatpun hendaknya tidak memojokkan salah satu kaum. Dan perlu dilakukannya victim survey agar kita terus dapat melihat apakah terjadi penurunan atau kenaikan dalam kasus kekerasan terhadap perempuan ini.

DAFTAR PUSTAKA

Anggraini, Nini, Kekerasan terhadap Perempuan, 2007, Working Paper Sosiologi Vol. IX. No. 4. Oktober 2007, Padang, Laboratorium Sosiologi FISIP UNAND

Britton, Dana M., The Gender of Crime, 2011, Published by Rowman & Littlefield, Publishers, Inc, UK, page 43-44

Murniati, A. Nunuk P., Getar Gender (Perempuan Indonesia dalam Perspektif Sosial, Politik, Ekonomi, Hukum dan HAM) (Cetakan Pertama), 2004, Magelang: Yayasan IndonesiaTera (Anggota IKAPI) bekerjasama dengan Yayasan Adikarya IKAPI dan The Ford Foundation.

Walklate, Sandra., Imagining the Victim of Crime, 2007, Copyright Licensing Agency Ltd of 90 Tottenham Court Road, London, W1T 4LP

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline