Lihat ke Halaman Asli

Mika Jackie

Mahasiswa

Pers dan Hoaks

Diperbarui: 30 Januari 2018   06:56

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Media. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Free-photos

Konsep kebebasan pers bergantung pada sistem politik dimana pers itu berada. Dalam negara komunis atau otoriter, kebebasan pers dikembangkan untuk membentuk opini pers yang mendukung penguasa. Sedangkan dalam negara liberal atau demokrasi, kebebasan pers pada prinsipnya diarahkan untuk menuju masyarakat yang sehat, bebas berpendapat dan berdemokrasi .

Indonesia menurut perspektif Four Theories of the Press digolongkan negeri yang menganut sistem pers otoriter, tapi rupanya dengan mengenyampingkan falsafah Pancasila yang jadi dasar bagi sistem politik Indonesia. Bahkan dalam pelaksanaan kebebasan pers bahwa pers tanpa batas adalah tidak mungkin.

Bila perdebatan difokuskan pada pers bebas dan bertanggungjawab pada masa Orde Baru, tidak akan bisa disimpulkan dengan teori pers normatif saja. Dengan demikian,praktik kebebasan pers pada masa itu sangat terbatas. Sistem pers yang dianut adalah otoritarian,karena pada praktiknya kebebasan pers itu untuk memberikan pembenaran kepada penguasa otoriter dalam membatasi kebebasan pers itu sendiri.

Dewasa ini, Indonesia mulai mengalami suatu titik cerah dalam kebebasan pers dalam era reformasi ini. Dewan Pers menilai kebebasan pers di Indonesia cukup baik jika dibandingkan negara-negara tetangga di Asia Tenggara. Kebebasan pers di Indonesia menurut laporan organisasi demokrasi Freesom House dan Commitee to Protect Journalist (CPJ) Indonesia masih setengah bebas.

Namun pada pelaksanaannya, pers di Indonesia sudah relatif bebas. Salah satunya dilihat dari tumbuhnya kuantitas media karena kemudahan untuk mendirikannya.Menurut catatan Dewan Pers, dari total 47 ribu media di Tanah Air, sebanyak 2.000 merupakan media cetak, 1.500 radio dan TV serta 43.500 media online.

Meski mudah dan dijamin oleh demokrasi, pers hendaknya tetap bertanggung jawab dan netral. Pers hendaknya juga menyalurkan suatu kebenaran karena itu masyarakat juga hendaknya mampu memilah berita-berita yang tersebar luas untuk menghindari kabar hoax yang kerap muncul dizaman ini.

Pengamat media sosial dan teknologi informasi Nukman Luthfie menilai bahwa "hoax" atau berita bohong menjadi marak akibat rendahnya literasi masyarakat terhadap informasi yang tersaji di media maupun media sosial. Rendahnya literasi masyarakat dipengaruhi banyak faktor, di antaranya kecenderungan hanya membaca judul aatanpa melihat, apalagi memahami isi berita. 

Dalam statistik sebuah lembaga, kata dia, hampir 40 persen konten di medsos tidak pernah dibuka. Padahal, sebagian konten "hoax" itu judulnya pasti bombastis, sedangkan isinya tidak ada apa-apanya. Fakta inilah yang menjadi salah satu cikal bakal hoax.

Pada masa Orde Baru, Pers dinilai sebagai kebenaran di samping pemerintah yang otoriter dan membatasi seluruh aktivitas dari pers sendiri. Masyarakat mau tidak mau harus menerima berita yang disuarakan oleh pers. Namun dengan kebebasan pers, batasan tersebut semakin hilang dan hal ini menyebabkan pers sangat rawan disalahgunakan. Terlebih lagi budaya masyarakat Indonesia yang mudah percaya akibat kurangnya penelaahan berita yang diperburuk oleh zaman Orde Baru. 

Dengan makin mudahnya akses informasi dan masyarakat mampu menjadi penyebar informasi. Terkesan bahwa pers tidak ada batasannya. Pemerintah hendaknya juga tegas terhadap pers yang terindikasi disalahgunakan. Tanpa kita sadari, pers memiliki kekuatan untuk mengarahkan masyarakat. Hal ini sangat terlihat pada masa Orde Baru. Maka dari itu, dengan pers yang bertanggung jawab dan budaya gemar membaca, berita hoax dapat diminimalkan di samping berjayanya kebebasan pers di Indonesia.

http://nasional.kompas.com/read/2017/05/02/13052631/kebebasan.pers.di.indonesia.dinilai.cukup.baik

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline