Lihat ke Halaman Asli

“Aku Bertanya pada Langit Tua Tak Ada Jawabnya”

Diperbarui: 25 Juni 2015   00:52

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

13468699481602984751

ilustrasi

Sepertinya, kau terlalu lama menahannya

Alasan apa hingga ia kau jadikan tawanan?

Sedangkan mereka lebih-lebih membutuhkannya.

Aku pikir ini amanah untukmu.

Tidakkah kau tahu bunga-bunga disebrang sana

Kolam ikan yang mulai menyusut, menjadi derita sahabatku

Mereka selalu setia menanti kebijakkanmu

Mengelusimu hingga perlahan merayu-rayu.

Dengarkanlah sederet tanya yang membusa ini!

Mengapa kau membisu?

Bisu itu bukan jawaban, sayanng.

Kami butuh kepastian, terlebih aku.

Sadarlah! Ini bukan Juni, ini September.

Masih lekat diingatanku

Dulu, guruku mengajarkan trik menghafal bulan hujan,

“Bulan yang berakhiran ‘ember’ adalah bulan hujan”,

Apakah  bulan depan bulan kebebasannya?

Jika begitu,  haruskah aku menunggu lagi?

Sembari menyiapkan, payung usamku yang dimakan karat,

menyiapkan jas hujanku yang buluk itu, dan

menata genteng-genteng yang bocor.

Hingga sampailah bulan ‘ember-ember’ tiba.

Aku seperti pejalan kaki pencari keadilan

yang dipertemukan dengan Presiden.

Tasikmalaya, 6 September 2012

Ummie S. Wahiuney

(*) Lanjutan dari Puisi yang berjudul Kau Air Mata yang Kurindu. Dan “Aku Terbelenggu di Kolammu, Bapak”.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline