ilustrasi
Sepertinya, kau terlalu lama menahannya
Alasan apa hingga ia kau jadikan tawanan?
Sedangkan mereka lebih-lebih membutuhkannya.
Aku pikir ini amanah untukmu.
Tidakkah kau tahu bunga-bunga disebrang sana
Kolam ikan yang mulai menyusut, menjadi derita sahabatku
Mereka selalu setia menanti kebijakkanmu
Mengelusimu hingga perlahan merayu-rayu.
Dengarkanlah sederet tanya yang membusa ini!
Mengapa kau membisu?
Bisu itu bukan jawaban, sayanng.
Kami butuh kepastian, terlebih aku.
Sadarlah! Ini bukan Juni, ini September.
Masih lekat diingatanku
Dulu, guruku mengajarkan trik menghafal bulan hujan,
“Bulan yang berakhiran ‘ember’ adalah bulan hujan”,
Apakah bulan depan bulan kebebasannya?
Jika begitu, haruskah aku menunggu lagi?
Sembari menyiapkan, payung usamku yang dimakan karat,
menyiapkan jas hujanku yang buluk itu, dan
menata genteng-genteng yang bocor.
Hingga sampailah bulan ‘ember-ember’ tiba.
Aku seperti pejalan kaki pencari keadilan
yang dipertemukan dengan Presiden.
Tasikmalaya, 6 September 2012
Ummie S. Wahiuney
(*) Lanjutan dari Puisi yang berjudul Kau Air Mata yang Kurindu. Dan “Aku Terbelenggu di Kolammu, Bapak”.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H