Lihat ke Halaman Asli

mihmi

"Aku belajar menulis, karena tahu kamu suka membaca"

Kekalahan Ekologi Pesisir oleh Kekuatan Ekonomi

Diperbarui: 28 Maret 2022   17:21

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gambar Teluk Pacitan (sumber : kompas.com)

Indonesia memiliki garis pantai terpanjang kedua di dunia setelah Kanada, yaitu sepanjang 95.181 km dengan luas perairan laut mencapai 5,8 juta kilometer persegi, yang merupakan 71% dari keseluruhan wilayah Indonesia (KKP, 2019). Indonesia sebagai negara kepulauan, telah diakui dunia internasional. Hal ini menjadikan Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia. Namun demikian, pembangunan bidang kelautan dan perikanan hingga saat ini masih jauh dari harapan. Padahal wilayah pesisir,  pulau-pulau kecil dan lautan kepulauan Indonesia tersimpan potensi yang sangat besar dan belum dimanfaatkan secara optimal.

Secara perlahan, hampir setiap provinsi di Indonesia memiliki rencana pengelolaan kawasan laut (tata ruang laut) yang disebut dengan Rencana Zonasi Wilayah Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP3) sejak tahun 2014. Bukan tidak mungkin, sektor wilayah pesisir dan laut memiliki kesempatan untuk menjadi salah satu penopang ekonomi Indonesia di masa depan.

Bagi mayoritas negara-negara berkembang, seperti Indonesia, tentu isu pembangunan ekonomi menjadi agenda penting dan menarik. Pertumbuhan ekonomi Indonesia di sektor wilayah pesisir, yang semakin berkembang, mayoritas menjadi kawasan pariwisata dan sektor ekonomi kreatif lainnya, yang membawa berbagai masalah baru yang justru menimbulkan kerusakan sumber daya alam dan pencemaran lingkungan di mana-mana. Masalah “kekalahan” ekologi oleh kekuatan ekonomi ini, awal mulanya muncul karena negara perlu melakukan apa yang disebut “pembangunan”. Sehingga dibutuhkan kebijakan pembangunan yang berkelanjutan. Pembangunan berkelanjutan (sustainable development) (menurut Brundtland Report dari PBB, 1987) adalah proses pembangunan yang mencakup tidak hanya wilayah (lahan, kota) tetapi juga semua unsur, bisnis, masyarakat, dan sebagainya) yang berprinsip "memenuhi kebutuhan sekarang tanpa mengorbankan pemenuhan kebutuhan generasi masa depan".

Akan tetapi kebijakan pembangunan wilayah pesisir selama ini cenderung sektoral atas dasar kepentingan sektor atau daerah pemerintahan tertentu. Pemerintah daerah terkesan belum mampu mempraktikkan pembangunan ekonomi yang pro konservasi. Misalnya, di tahun 2015 Pemda Pacitan yang kecolongan pembangunan sebuah restoran senilai Rp 1 milyar di daerah sempadan pantai, dengan jarak kurang dari 100 meter garis pantai, yang dibangun oleh PT El John Tirta Emas Wisata, investor swasta yang mengantongi perjanjian kerja sama (MoU) dengan pemda setempat terkait izin pengelolaan obyek wisata Pantai Teleng Ria Pacitan. Pihak investor tidak melakukan laporan akan adanya pembangunan restoran di area sempadan tersebut ke pihak pemda Pacitan.

Perlu diketahui bahwa PT El John Tirta Emas Wisata merupakan pihak yang dipercaya oleh pemerintah daerah Pacitan untuk mengelola Pantai Teleng Ria. Sebelumnya Pantai Teleng Ria dikelola oleh pemeritah daerah setempat. Awal kerjasama pemerintah daerah dengan PT. El John mengelola Pantai Teleng Ria. Awal kerjasama pemerintah daerah dengan PT. El John, terjadi pada tahun 2008 yang ditandantangi pada era Bupati Suyono. Setelah berjalan selama 6 tahun dilakukan pembaharuan kontrak dengan masa kontrak selama 20 tahun. Didasarkan pada peraturan daerah Kabupaten Pacitan Nomor 5 tahun 2011 tentang pembangunan jangka panjang daerah, memutuskan guna meningkatkan daya saing wisata serta guna meningkatkan pendapatan daerah dari sektor pariwisata, pengelolaan obyek pariwisata Pantai Teleng Ria. Selama masa kontrak 20 tahun itu, di setiap tiga tahun sekali harus ada evaluasi dengan asumsi kenaikan jumlah setoran seiring perkembangan ekonomi serta nilai barang dan jasa. Dengan catatan regulasi harus diperhatikan agar perubahan perjanjian ke depannya lebih sempurna dan dapat menjadi payung hukum yang kuat. PT El Jhon pun diwajibkan ikut andil dalam perawatan seluruh aset/fasilitas obyek wisata, termasuk infrastruktur jalan dan sistem drainase.

Gambar Jarak Resto Kampoeng Nelayan di kawasan sempadan pantai Teleng Ria (sumber : Google Maps)

Jika ditelisik dari UU No.27 Tahun 2007 Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil dan Peraturan Daerah Kabupaten Pacitan Nomor 3 Tahun 2010 Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Pacitan, restoran yang selesai dibangun di tahun 2015 itu menyalahi aturan tersebut, karena terletak di kawasan sempadan pantai, daratan sepanjang tepian laut dengan jarak paling sedikit 100 (seratus) meter dari titik pasang air laut tertinggi ke arah darat, yang merupakan kawasan perlindungan pantai. Sungguh ironi revitalisasi wisata yang kontra konservasi

Fungsi sempadan pantai adalah untuk melindungi pantai terhadap gempa dan/atau tsunami, terhadap erosi dan abrasi, dari badai, banjir, dan bencana alam lainnya, serta melindungi ekosistem pesisir. Sempadan juga secara fisik merupakan garis batas antara ruang privat bangunan dengan ruang publik yang tentunya bisa diakses siapa saja tanpa harus ada perizinan dari pemilik bangunan di dekat pantai tersebut. Namun kenyataannya kawasan pantai yang telah diatur menjadi sempadan ini justru kerap dikooptasi dan dikuasai oleh pemilik bangunan atau hotel maupun vila di wilayah pesisir pantai. Pada wilayah kota dengan dataran rendah yang masih cukup luas maka pemerintah daerah dapat menetapkan batas sempadan pantai sesuai dengan kondisi tata ruang yang sudah ada atau mengatisipasinya dengan menanam pohon pelindung di sepanjang area pantai. Jika penetapan batas sempadan pantai dapat di terapkan maka akan mengurangi dampak negatif yang selama ini menghantui pesisir Pacitan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline