Lihat ke Halaman Asli

Tentang Senyum

Diperbarui: 26 Juni 2015   14:40

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Dalam bukunya “Bagaimana Mencari Kawan dan Mempengaruhi Orang lain” Dale Carnegie menuliskan sebuah kisah ringan dari Dr. Stephen K. Sproul, yang berprofesi sebagai dokter hewan, tentang satu harinya yang biasa. Ia berasal dari Raytown, Missouri. Pada suatu saat ruang tunggunya penuh dengan klien yang menunggu binatang kesayangan mereka di suntik. Tak seorang pun dari mereka yang berbicara dengan seorang lainnya, dan mungkin semuanya sedang berpikir tentang selusin hal yang lebih suka mereka kerjakan daripada “membuang waktu” duduk di kantor dokter itu.

Ada enam atau tujuh klien yang sedang menunggu tatkala seorang wanita muda masuk, bersama bayi Sembilan bulan dan seekor kucing. Kebetulan, wanita itu duduk di sebelah seorang pria setengah baya yang kesal dengan pelayanan yang mengharuskannya menunggu lama. Hal berikutnya yang dia tahu, bayi itu memandangnya dengan tersenyum lebar, senyum khas bayi. Apa yang dilakukan lelaki itu ? Tentu saja, persis seperti yang biasa akan terjadi; dia membalas senyuman si bayi.

Segera saja dia jadi mengobrol dengan wanita itu tentang anaknya dan cucu lelaki itu, kemudian serta merta mereka yang berada di ruang tunggu itu ikut bergabung dengan mereka. Kebosanan dan ketegangan berubah menjadi satu pengalaman yang menyenangkan.

Satu senyuman yang tulus dan hangat ? Ya, tentu saja. Hanya karena satu senyuman suasana bisa berubah dengan hangat. Tidak hanya sekedar fenomena kemanusiaan semata, tetapi memang menjadi kelebihan manusia yang tidak dimiliki makhluk lain. Menurut sebagian filosof, “senyum dan tawa, itulah manusia”.

Orang yang tersenyum,” menurut professor James V. McConnell, “cenderung mampu mengatasi, mengajar, dan menjual dengan lebih efektif, dan membesarkan anak-anak yang lebih bahagia. Ada jauh lebih banyak informasi tentang senyuman daripada sebuah kerut di kening. Karena senyum itulah yang mendorong semangat, alat pengajaran yang jauh lebih efektif daripada hukuman”.

Senyuman dapat membawa manusia jauh dari kesulitan kehidupan nyata. Manusia membutuhkan rasa santai. Kondisi santai inilah yang sebenarnya menjadi dorongan untuk tersenyum, bahkan tertawa. “Kondisi terhibur sama dengan bermain yang mencangkup prisnsip kesenangan. Fungsi psikisnya adalah meringankan beban jiwa dan pikiran” demikian Sigmond Freud menjelaskan.

Pengaruh dari senyuman memang luar biasa, bahkan tatkala senyuman itu tidak tampak di depan mata. Cobalah untuk tersenyum saat Anda berbicara melalui telepon. Senyum Anda akan “terlihat” dalam suara Anda. Ya, tersenyumlah! Karena Anda tak akan melarat dengan senyum, justru Anda akan memperkaya diri Anda dan orang yang menerimanya.

Bukankah Rasul pernah bersabda, “senyummu dihadapan saudaramu adalah sedekah” (HR. Tirmidzi dari Abu Dzarr, Subussalam). Senyum jadi amal saleh, tidak ubahnya sedekah. Dalam pandangan islam, senyum menjadi salah satu sarana pemupukan kasih sayang, untuk mengikat rasa kebersamaan menjadi ikatan persaudaraan antar sesama.

Oleh karena itu, tidak berlebihan kalau dikatakan bahwa manis muka atau murah seyum merupakan tafsiran dari keinginan untuk bersahabat. Memang ada juga orang yang tersenyum atau tertawa sendiri, tapi itu lain hal. Mungkin orang itu tidak waras ? Tapi sebaiknya kita harus sepakat, senyum yang tulus memang pertanda seseorang sedang bahagia. Walau pun senyum atau tawanya berada dalam lingkup nggak jelas atau berada dalam situasi Jaka Sembung naik Ojek,.. Nggak nyambung Jek ! (an’s / MiHeSo)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline