Peringatan HUT Kemerdekaan ke-77 Republik Indonesia terasa istimewa, karena bertepatan dengan pencanangan Tahun 2022 sebagai Tahun Toleransi. Hal ini sangat penting untuk meneguhkan kembali semangat toleransi dalam bingkai kemerdekaan. Karena Indonesia adalah negara yang sangat majemuk, baik suku bangsa, agama, ras, budaya, dan lain-lain. Keberagaman sesungguhnya merupakan karunia bagi bangsa ini.
Sejatinya, toleransi bukanlah hal baru bagi bangsa dan rakyat Indonesia yang dikenal religius. Karena telah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari sejak dahulu. Nenek moyang kita mewariskan nilai-nilai luhur bangsa berperadaban tinggi dan sarat makna filosofi kehidupan.
Keteladanan nilai-nilai toleransi leluhur bangsa terdapat dalam Kakawin Sutasoma yang ditulis Mpu Tantular, seorang pujangga buddhis. Kakawin yang berbunyi : Siwa Buddha Bhinneka Tunggal Ika, Tan Hana Dharma Mangrwa (Berbeda-beda namun tetap satu, tiada kebenaran yang mendua) ini bermakna membina kerukunan dan persatuan antar umat beragama.
Dengan mengedepankan persatuan yang menghargai keberagaman, para pendiri bangsa menetapkan Bhinneka Tunggal Ika sebagai semboyan negara. Ini menjadi warisan berharga bagi kita untuk terus bersemangat menjunjung tinggi toleransi, bertenggang rasa, serta mewujudkan kerukunan dan persatuan dalam keberagaman.
Toleransi merupakan hal mendasar dalam menjaga kerukunan dan merawat kebinekaan Indonesia. Menjadi inspirasi untuk menjalin komunikasi serta berinteraksi dalam kehidupan bersesama, dan sumber kekuatan untuk bersatu padu mencapai cita-cita bersama.
Prinsip toleransi adalah semangat mengedepankan persamaan dan menghormati perbedaan. Prinsip toleransi memperlakukan orang lain sebagai saudara yang saling mendukung dalam merekatkan tali persaudaraan dan menjalin persaudaraan sejati. Dengan kata lain, memanusiakan orang lain sesuai harkat dan martabatnya sebagai sesama manusia.
Secara universal, toleransi menjadi bagian dari esensi semua ajaran agama. Karena semua agama pada dasarnya mengajarkan nilai-nilai kemanusiaan yang sama. Toleransi menjadi pengejawantahan nilai-nilai religius agama dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Toleransi menjadi pedoman umat beragama untuk dipraktikkan dalam kehidupan, demi terwujudnya kerukunan, persatuan, dan kehidupan yang aman, damai, dan bahagia.
Bagi umat Buddha, Ajaran Benar / Kebenaran Universal (Dhamma) menjadi esensi sumber nilai ajaran Buddha; agar memiliki pikiran, ucapan, dan perilaku yang terkendali; dalam menjalani kehidupan dan berinteraksi dengan masyarakat. Guru Agung Buddha mengajarkan untuk selalu mengembangkan pikiran, ucapan, dan perilaku yang dilandasi dengan penuh cinta kasih (metta) dan welas asih / kasih sayang (karuna) kepada sesama.
Toleransi dalam buddhis sangat luas dan mendalam. Kitab Suci Tipitaka mengandung nilai-nilai toleransi, yang tercermin dalam berbagai nasihat, tindakan dan sikap Buddha beserta para siswa-Nya yang mengembangkan toleransi dalam menjalin hubungan sosial.
Dengan mengedepankan cara moderasi dan kemampuan untuk menghargai pihak lain yang memiliki tradisi dan ajaran yang berbeda, nilai-nilai toleransi diajarkan Guru Agung Buddha kepada murid-murid-Nya melalui praktik langsung dalam kehidupan.