Lihat ke Halaman Asli

Hantu Nazaruddin dan Prahara Demokrat

Diperbarui: 26 Juni 2015   03:43

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Hingar bingar berita politik seputar kasus korupsi yang melibatkan mantan Bendahara Partai Demokrat Nazaruddin belum berakhir, dan kian hari, Partai Demokrat makin terpojok. Serangan pesan melalui BBM dari Nazaruddin yang tidak berwujud disebut oleh seorang petinggi Demokrat laksana hantu yang menderah partainya. Sementara itu, banyak orang dan kelompok kepentingan lain menikmati debat dan pemberitaan seputar kasus korupsi ini, karena jelas menguntungkan. Tetapi apakah hanya Partai Demokrat yang kotor? Jelas tidak. Lalu, pelajaran apa yang dapat kita petik dari prahara Demokrat ini?

Terkait pembahasan kasus korupsi ini saya teringat tulisan dalam diskusi saya di milis Forum Sahabat NTT, yang juga membahas kasus korupsi yang makin menggila di Indonesia. Berikut kutipannya, yang telah saya edit sesuai alur penulisan ini.

Pembahasan mengenai kasus korupsi yang melibatkan Partai Demokrat dan para tokohnya hanya akan menarik sebaik diskusi dan pertarungan kepentingan menjelang Pemilu 2014, dan boleh jadi banyak pihak telah menggunnya sebagai alat pencitraan. Dapat dimengerti, karena akhir-akhir ini, banyak sekali tema idealis digunakan sebagai medium pencitraan, packaging terhadap produk yang diproses dengan cara-cara licik. Tetapi bukan Cuma itu. Inisiatif yang baik sekalipun, jika tidak terkonsolidasi secara baik akan berujung pada hasil yang buruk. Dalam hhal ini, KPK yang pantas kita bela karena sejarah perjuangannya relatif paling konsisten pun dapat masuk dalam kerangka pencitraan dan wahana pertarungan dan saling bunuh antara politisi. Secara faktual, meskipun masih membuat gentar, kehadiran KPK belum secara tidak memiliki dampak signifikan.

Penyebab dari berbagai kebuntuhan dalam upaya membangun good governance ini adalah, seperti yang telah sering diungkap, mental korupsi telah menyebar di mana-mana, bukan hanya di level elit, tetapi juga di antara rakyat kebanyakan. Dari para kawula, kita dapat saksikan, rakyat kecil begitu memuja sedekah Rp.5000 hingga Rp.50 ribu, dari para politisi yang ingin meraih dukungan dengan membagi-bagikan sedekah. Hal ini tidak ada bedanya dengan kerumunan rakyat yang berdesak-desakan menunggu pembagian sedekah dari kaum ulama yang kemudian disembah laksana dewa karena telah membagi-bagikan uang alakadarnya. Masyarakat tidak peduli bagaimana dana yan dibagikan itu berasal. Asalkan dia mau berbagai, maka ia patut mendapat dukungan ataupun dianggap sebagai orang suci.

Masalah dalam perjuangan penegakan good governance adalah, kita jarang masuk ke kerangka teknis untuk menggerakan hal baik yang kita yakini untuk menang dalam pertarungan, alias mendorong roda bergerak sebaliknya, dari arah baik untuk menggilas keburukan. Dalam banyak kasus, masalah yang menimpah orang lain, justru dipakai untuk membersihkan diri atau menyembunyikan kebusukan yang persis sama.

Mengatasi Korupsi Secara Sistemik

Mengatasi korupsi memang tidak mudah. Hukum pancung seperti di China pun tidak bakal menguranginya.China tetap saja negara dengan tingkat korupsi yang tinggi. Banyak orang menganggap, sogok dan korupsi merupakan budaya, ketika Hongkong berupaya menjadi wilayah yang bersih. Namun, tidak sampai 10 tahun, Hongkong menjadi wilayah paling pantas berbisnis.

Untuk menjadi baik, Hongkong tidak memancung para koruptor dan tidak ditangkap saban hari seperti berita TV yang kita tonton setiap hari. Pendekatan mereka sistemik: 1) Memperbaiki sistem hukum dan sistem politik yang accountable yang menjamin kepastian, transparansi dan keadilan. 2) Edukasi sistemik terkait penghormatan terhadap hukum, kepatuhan terhadap norma2 moral secara pribadi maupun sosial, penghargaan secara substansil terhadap kesederhanaan hidup dan sikap adil baik dalam keluarga maupun dalam persaingan hidup secara sosial. 3) Penindakan terhadap para koruptor, yang bagaimana pun pasti ada.

Di dalam kerangka ini, mari kita lihat apa yang bisa kita buat. Poin 1: Para politisi dan cendekiawan dapat berjuang menyederhanakan sistim hukum dan politik kita yang sangat amat ribet, yang hanya menciptakan setumpukan aturan dan perangkat, di dalam mana tikus-tikus dapat dengan mudah berkeliaran dan berkelit dari satu tumpukan ke tumpukan yang lain. Demokrasi biaya tinggi menyebabkan moral pribadi yang kuatpun tidak kuat menahan godaan korupsi.

Poin 2: Jangan banyak-banyak agenda dulu deh, mari kita tilik baik-baik Ujian Nasional Sekolah. UN kini lebih banyak mengajarkan moralitas buruk ke anak-anak kita dan juga ke para guru yang berjuang agar anak-anak murid mereka lulus ujian. Kebocoran soal, nyontek, kongkalingkong guru-murid dan bahkan penyogokan sudah umum terjadi. Edukasi macam apa ini?

Poin 3: Mari kita tetap dukung KPK dan perbaikan lembaga-lembaga hukum lainnya. Poin ini membutuhkan proses panjang dan terkait erat dengan 2 poin terdahulu. Jika tidak maka, setengah dari seluruh hakim, jaksa, dan polisi kita masukan ke penjara pun, saya jamin setengah tersisah akan membuat hal serupa.

Moral saja tidak cukup. Sejarah politik modern membuktikan itu. Karena tidak dapat mengandalkan moral dan kebaikan manusia, maka ada Trias Politica. Karena tidak dapat mengandalkan 10 Perintah Tuhan, maka manusia menciptakan hukum positif.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline