Lihat ke Halaman Asli

Alfa Mightyn

Universitas Mercu Buana | Dosen: Prof. Dr. Apollo, M.Si, Ak. | NIM: 55521120047

SE-52/PJ/2021, Apakah Cukup?

Diperbarui: 9 Mei 2023   22:46

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber: dokumen pribadi

Penyebab sengketa pajak yang terjadi antara Wajib Pajak dan pemerintah (DJP) biasanya disebabkan oleh keberadaan bukti transaksi atau perbedaan penfasiran atas suatu ketentuan peraturan perpajakan. Sengketa ini tak jarang memakan waktu penyelesaian yang cukup lama. Bahkan bisa lebih dari 5 tahun sampai adanya ketetapan hukum (incracht). Suatu peraturan domestik saja bisa menyebabkan penafsiran yang berbeda, apalagi ketentuan yang disusun dengan melibatkan dua negara yang berbeda. Permasalahan mengenai penafsiran tentu tidak dapat terelakkan.

Dalam perpajakan internasional, dua negara dapat bersepakat untuk mengadakan suatu perjanjian perpajakan. Perjanjian atau persetujuan ini bertujuan untuk menghindari adanya pemajakan berganda atas suatu subjek dan objek pajak yang sama sekaligus untuk mencegah adanya penghindaran pajak. Perjanjian ini biasanya disusun dalam beberapa bahasa, yaitu bahasa dari masing-masing negara dan bahasa Inggris (bila salah satu atau kedua negara tidak menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa resminya).

P3B sendiri biasanya terdiri dari sekitar 30 pasal. Dalam P3B tersebut banyak istilah-istilah yang tidak lazim digunakan dalam peraturan perundangan di Indonesia. Hal ini menambah kompleksitas pemahaman P3B itu sendiri.

Hingga saat ini ada 71 Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B) yang berlaku efektif antara Indonesia dengan negara mitra. Walau mengacu ke dua model utama treaty yang ada dunia, yaitu OECD Model dan UN Model, tetap saja ke-71 P3B ini tidak serta merta memiliki pengaturan yang sama atau identik.

Sebagai contoh dalam P3B Indonesia-Belanda, ketentuan mengenai bunga pinjaman dalam Pasal 11 ayat (5) P3B memberikan multitafsir atas dibutuhkannya mode of application untuk ketentuan pada ayat (2), (3), dan (4). Hal ini menimbulkan sengketa antara Wajib Pajak dan DJP sampai pada tahap peninjauan kembali. Dan tentunya masih ada lagi kasus-kasus serupa yang disebabkan oleh multitafsir dari tax treaty.

Untuk itu di penghujung tahun 2021, DJP memandang perlu untuk memberikan suatu pedoman bagaimana menafsirkan P3B secara umum sehingga terbit Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor 52/PJ/2021 tentang Petunjuk Umum Interpretasi dan Penerapan Ketentuan dalam Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (SE-52).

Pedoman ini bertujuan untuk memberikan keseragaman pemahaman dan penerapan ketentuan dalam P3B Indonesia sehingga nantinya dapat diterapkan dan berjalan sesuai dengan maksud dan tujuan dibetuknya P3B tersebut. Dengan kompleksitas P3B Indonesia yang saat ini berlaku efektif, terdapat beberapa kendala yang masih muncul setelah terbitnya SE-52 ini.

Pertama, SE-52 sendiri memberikan pedoman yang bersifat sangat umum sehingga tidak dapat selalu diterapkan secara khusus dalam satu transaksi tertentu atau P3B tertentu. Pembaca tetap harus memperhatikan dan memahami kembali tiap P3B untuk memberikan pemahaman secara menyeluruh. SE-52 hanya dapat diterapkan untuk P3B Indonesia yang pengaturan dan ketentuannya secara substansi sama.

Kedua, beberapa P3B ada yang tidak berdiri sendiri. Terdapat dokumen-dokumen tambahan atau perubahan yang tidak dapat dilupakan. Sama halnya dengan perubahan dalam peraturan atau ketentuan perundangan domestik di Indonesia, P3B juga memiliki beberapa nota perubahan seperti protokol yang merinci ataupun merubah ketentuan dalam P3B, nota pertukaran (Exchange of Notes), dan Nota Kesepahaman (Memorandum of Understanding). Pembaca harus lebih teliti dalam memahami P3B. Membaca SE-52 ini atau hanya P3B nya tidaklah cukup.

Selanjutnya yang ketiga, dengan keikutsertaan Indonesia dalam Konvensi Multilateral untuk Menerapkan Tindakan-Tindakan terkait dengan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda untuk Mencegah Penggerusan Basis Pemajakan dan Penggeseran Laba (Multilateral Instrument to Implement Tax Treaty Related Measures to Prevent Base Erosion and Profit Shifting) atau MLI pada tanggal 7 Juni 2017 yang mulai berlaku efektif mulai 2021, terdapat beberapa ketentuan MLI yang memodifikasi atau mengubah beberapa P3B Indonesia. Ada sekitar 47 P3B yang terpengaruh oleh adanya MLI. Artinya, untuk memberikan pemahaman yang utuh pembaca perlu memahami pula MLI, P3B mana saja yang terpengaruh.

Dan yang terakhir, sebagai sebuah surat edaran, SE-52 ini dimaksudkan untuk pengaturan internal. Dalam artian, SE-52 ini ditujukan bagi internal pegawai DJP. Walaupun Wajib Pajak juga dapat menggunakannya sebagai pedoman dalam menafsirkan P3B. Namun, tetap saja Surat Edaran yang bersifat internal ini tidak dapat dijadikan dasar hukum dalam penerbitan suatu ketetapan pajak. SE-52 ini mungkin dapat efektif digunakan dalam proses pengawasan kewajiban perpajakan Wajib Pajak. Namun bila sudah masuk pada ranah penegakan hukum, tidak ada yang dapat melarang Wajib Pajak untuk memiliki interpretasi atau pemahaman tersendiri yang berbeda. Yang pada ujungnya, sengketa pajak tetep sangat mungkin terjadi.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline