Lihat ke Halaman Asli

Desaku Yang Malang

Diperbarui: 26 Juni 2015   18:14

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Karier. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Dedaunan yang masih hijau, padi pun hijau merona, kesejukan udaranya menjadi ciri khas unik, sembari ku resapi sepoi-sepi angin yang diiringi dentuman musik alami dan saling bersautan, dialah burung-burung yang menyambangi pohon-pohon sebelah rumahku. Tidak ada sedikitpun wajah yang mencirikan rasa susah atau sengsara, raut muka terlihat semangat dan gigih demi menjalani kehidupan yang terus berlangsung. Walau kesulitan menghimpit, namun kebesaran dalam sikapi hidup tercermin dari perilaku dan kesemangatan yang tampak.

Di desa, tak sedikitpun masyarakat ngerumpi politik, ekonomi, sosial, hukum, terlebih masalah budaya. Mereka tidak terlalu memahami arti dari itu semua. Pemikiran yang sederhana, namun sangat kental akan nilai esensi kemanusiaan. Saling membantu dan bersalam sapa, sebagai wujud rasa hormat menghormati dengan sesama. Tanpa teori, namun kesahajaan dalam menerima tamu, bak anak kuliah yang santun.

Dimana desa itu? kini, hanya menjadi sebuah kenangan yang mudah dilupakan. Semunya berubah, tatkala pabrik-pabrik menggerus tradisi lokal, yang mampu meninggalkan kebiasaan masyarakat desa, dulunya ke sawah, kini, semuanya pergi ke pabrik. Desa itu, kini hanya sebuah kenangan yang mudah dilupakan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline