Rintik hujan membasahi tanah di Bumi yang mulai gersang. Aroma hujan yang begitu khas, mampu membuat siapa saja yang menyukainya menjadi tenang. Suara rintikan hujan yang begitu deras, bagai alunan melodi pengantar tidur. Memberi rasa nyaman bagi jiwa yang lelah. Hujan di malam hari adalah suatu kombinasi yang bagus bagi pecinta hujan dan malam. Aku, contohnya.
Aku adalah pecinta langit malam dan hujan, tapi aku tidak suka suara gemuruh petir. Bagiku, cukup kepalaku saja yang berisik, tidak ingin ditambah suara petir yang semakin membuatku kacau. Ini adalah aku, orang yang dulunya selalu bertanya tentang rasanya mati. Seperti apa rasanya mati? Apakah semua beban yang aku bawa akan menjadi ringan atau justru bertambah berat?
Konyol. Bagaimana bisa, seorang anak remaja berpikiran seperti itu? Aku pun tidak tahu, setan mana yang sudah memporak-porandakan isi kepala dari anak remaja ini. Beban sebesar apa yang dipikulnya, sampai punya pikiran seperti itu. Aku, anak remaja yang masih labil saat itu. Anak remaja yang sudah memasuki tahap kedewasaan yang terlalu cepat. Sebut saja, dewasa sebelum waktunya.
"Membuat barcode di tangan itu menyenangkan, apa semenyenangkan itu ya, Shi?" tanyaku pada teman sebangku kala itu.
"Nggak ada rasa senang jika itu melukai," jawab Arshi atas pertanyaan acakku.
"Aku ingin mencobanya. Sebaiknya di kanan atau kiri?" tanyaku lagi, kali ini aku merasakan hawa tidak mengenakkan dari Arshi.
"Jika kamu mau coba, aku pastikan, kamu mengalami patah tulang setelah pulang sekolah," jawab Arshi.
Semenjak itu, aku tidak pernah membahas hal yang aku rasa, akan membuat Arshi marah. Yang aku bahas adalah cerita random lucu yang aku pastikan dapat diterima semua. Entah sesuatu yang pernah aku alami atau rekayasa yang aku buat sedramatis mungkin. Lucu, itulah aku. Terlalu malas untuk menceritakan cerita penuh tinta hitam yang ada di hidupku. Tinta ini terlalu hitam jika aku torehkan diatas tisu. Aku sangat yakin jika tinta yang aku gunakan dapat mengubah warna cantik yang sudah ada.
Tuhan, aku hanya bisa menceritakan kisah tinta hitamku hanya padamu. Karena tidak ada yang mampu menerima pekatnya tinta ini selain Tuhan. Jika boleh, hanya jika, pulang sendiri tanpa undangan itu diperbolehkan, sudah lama sekali aku memilih untuk pulang. Sayangnya, Tuhan tidak menyukai itu.
Malam itu, hujan badai terjadi begitu hebat. Rasanya, seperti penyambut rasa gelisah yang aku rasa. Rasa yang sangat ingin aku buang, tapi tidak bisa karena ini adalah rasa yang wajar bagi manusia dan makhluk hidup lainnya. Menyebalkan, itu sudah pasti. Aku ingin sekali berteriak sekeras mungkin, melepas segala rasa yang aku punya. Aku juga ingin menangis, menangis dengan kencang sampai aku tertidur dan melupakan rasa sakit yang menjalar.
Boleh aku bercerita? Sesekali aku ingin bercerita dari hati ke hati, ingin didengar tanpa adanya pembanding. Tapi aku harus bercerita pada siapa? Tuhan? Aku sering bercerita pada Tuhan. Tuhan tidak akan pernah bosan mendengar cerita dari hambanya, bukan?