Lihat ke Halaman Asli

Miftakhul Shodikin

Mahasiswa Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya

Si Joni Ikut Aksi

Diperbarui: 17 Februari 2021   09:12

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Koleksi Pribadi

Terbit sang fajar memerah dari timur menembus cakrawala. Diringi kokok ayam yang membahana membangunkan para tetangga. Burung-burung juga nampak bergembbira. Di desa semuanya nampak asri dan harmoni. Begitu juga di sudut perkampungan desa, yang masih begitu tertata, tak pula desak-desakan anatar rumah, tanah masih lapang. Belum banyak pabrik maupun apartermen. Dan di sanalah kamar seorang bujang bernama Joni yang masih berbaring di kamarnya. Salah satu rumah bergaya lama zaman jepang masih berdiri kokoh di tengah perkampungan. Joni seorang mahasiswa Hukum yang kini terisolasi dalam kampung, di dalam pinggiran kota jauh di pelosok desa. Pikiran-pikiran terperangkap dalam rutinitas keseharian dari makan sampai tidur dari twitter sampai instagram. Buku-buku banyak di beli dari shopee sampai lazada tapi tergeletak berbungkus plastik menunggu di baca. Isolasi pandemi membawa banyak korban dan tumbal. Semua kegiatan dengan terpaksa dan pertama kali dalam sejarah umat manusia harus dilakukan dengan daring atau online, melalui alat komunikasi jarak jauh menjangkau setiap manusia dari segala penjuru. Pandemi membawa dampak yang pasti bagi tatanan kehidupan bumi. Ini seperti kata seorang Pemimpin Tertinggi Sunda Empire yakni Raden Rangga satu-satunya pemimpin tertinggi tatanan bumi. Rangga mengatakan awal tahun lalu bahwa Dunia akan memasuki yang namanya tatanan kehidupan Bumi yang baru apabila tiap-tiap negara anggota yakni seluruh dunia ini tidak melakukan daftar ulang kepada pengurus yakni Sunda Empire. Dan, kita tahu, saat ini 15 September 2020, akhir tahun 2020. Tahun keparat padat ini terbukti kita memasuki kehidupan baru dengan adanya protokoler kesehatan dan New Normal dampak dari pandemi covid-19.

Si Joni terbangun sekitar matahari sudah di puncak kepala. Pagi tadi memerah kini berubah putih kuning menyala, silau mata jika kau melihatnya, dan buta mata jika kau terus menatapnya. Matahari menyinari tidak saja semua makhluk di bumi tapi juga semua tatanan semesta dari merkurius sampai jauh pluto sana. Lepas mandi Joni makan dengan sepiring nasi dan ikan tahu tempe. Setelah itu ia pergi ke kamar membaca buku tentang peradilan sebgaiamana wajarnya mahasiswa hukum umumnya.

Asik membaca sampai kantuk melanda si Joni mendapat panggilan dari kawannya sebut saja AA. Berdiri tegap dengan kepalan tangan meninju keatas dan juga berambut gondrong dan kacamata hitam, tangan kanannya memegang bendera merah dan suasana foto banyak orang-orang di kiri-kanan dan belakang seperti pasar saja. Foto si AA itu tiba-tiba muncul di android Joni dengan bertuliskan "Panggilan". Reflek saja Joni langsung mengangkap android itu dan menggeser icon hijau untuk menerima panggilan.

Merdeka. Kalimat pembuka si AA seketika si Joni mengangkat telponnya itu. Balas si Joni juga tak kalah garangnya menyeruhkan kata merdeka. Bagi seorang mahasiswa yang kritis, merdeka memiliki arti yang sangat luas, tidak hanya merdeka itu telah final ketika proklamasi kemerdekaan 17 agustus 1945. Memang, jika dulu para pejuang memekikan kata merdeka itu untuk membesakan bangsa ini dari belenggu penjajah dan selangkang imperealisme. Dan karena indonesia sudah merdeka, lagi pula telah melancangkan sebuah fondasi, sebuah idiologi, falsafah kehidupan bangsa secara mandiri dan di gali dari nilai yang ada dalam masyarakat Indonesia bukan berarti rakyat jelata kaum proletar dan kaum tertindas itu pula sudah bahagia dan hidup sejahtera. Malah banyak petani banyak buruh dan banyak rakyat menderita. Dan selepas merdeka 17 agustus itu terbentuk pancasila sebagai dasar berkhidupan dengan tujuan untuk keadilan sosial bagi seluruh rakyat itu ternyaata hanya utopis belaka. Maka dari itu, mahasiswa dan para pemuda harus memekikan merdeka itu untuk rakyat jelata untuk kaum tertindas yang senantiasa sengsara. Karena pemuda dan mahasiswa di atas punggungnya itu menopang sendi-sendi masa depan bangsa. Baik-buruk negri ada di pemuda lebih-lebih mahasiswa, pemuda yang terdidik. Karena itu mahasiswa sebagai kaum terdidik harus memperjuangkan segala hak-hak rakyat jelata, seperti panggilan AA kepada kawan dan juniornya si Joni itu untuk membantunya melakukan aksi, meyeuarakan suara, memekikan pekikan, dalam satu komando satu suara. Aksi itu akan di lakukan besok di depan gedung DPRRI. Dengan semangat yang bergelora. Di dalam dada seorang pemuda berkobar-kobar api semangatnya itu, Si Joni pun mensetujui ajakan AA seniornya. Tak pandang bulu, tak pandang kulit besok Joni akan berangkat ke kota pergi bersama kawannya yang telah menunggunya di sana ke depan gedung DPRRI itu. melakukan aksi, meyeuarakan suara, memekikan pekikan, dalam satu komando satu suara.

Keesokan paginya dengan semnagat yang masih membara. Di tengah isolasi pandemi yang begitu lama bagaikan penjara bagi seorang pemuda, menumpulkan daya kritis bagi si Joni. Hanya membaca tanpa aksi dan diskusi ialah hal yang percuma. Dengan bismillah dan restu kedua orang tua Joni berangkat penuh yakin membela keadilan, menyuarakan suara rakyat yang tersiksa dipinggiran kota. Para petani yang habis sawahnya, dan lain-lain kasus ketidakadilan dan pelanggaran Hak Asasi Manusia lainnya yang jjika saya tulis satu-satu disini akan termuat penuuh 1000 halaman lebih kiranya. Bersepeda motorlah si Joni dari desa ke kota sebelah. 2 jam lamanya ia berkendara, 2 jam lamanya pula ia bernyanyi lagu-lagu perjuangan, lagu-lagu pergerakan dan pemberontakana. Dari A-Z semua ia hafal, dari yang paling kiri sampai kanan ia nyanyikan di sepanjang jalan.

Tanpa ikut diskusi, konsolidasi dan berbagai macam penyusunan tuntutan dan rangkaian kegiatan lainnya Si Joni ikut saja dalam aksi. Padahal sebelum melakukan aksi guna menyatukan suara dan berbagai hal lainnya perlu dilakukan diskusi dan konsolidasi demi tercipta aksi yang damai dan tidak termakan si sialan pengadu domba dan provokator ulung jalanan. Berangkatlah Joni dan puluhan mahasiswa lainnya menuju DPRRI dengan di kawal polisi dan tetap mematuhi protokol kesehatan. Sampai di sana ternyata ribuan orang dengan baju seragam berwarna merah telah memadati gedung DPRRI yang megah itu. Spanduk-spanduk bertuliskan TOLAK RUU BURUH dan bendera-bendera besar lainnya juka berkibar tak kalah gagah. Di depan gerbang terpakir mobil box dengan pengeras suara menghadap berbagai penjuru dan berdiri seorang menyuarakan segala tuntutan dan realita-realita kehidupan buruh. Tersentak hati Joni, bergetar seluruh badan melihat penampakan itu. Ribuan orang memadati depan gedung DPRRI untuk satu tujuan menolak UU BURUH dan tersadar si Joni pada sepersekian detik ketika melihat penampakan-penampkan itu di depan matanya, bahwa ini merupakan aksi untuk buruh. 

Pekikan-pekikan dari sang orator membuat siapa saja yang mendengar akan tersentak dan akan ikut bersemangat dengan api di dalam dadanya yang berkobar-kobar. Begitu juga Joni, walaupun ia kini agak sedikit bingung kenapa para buruh menolak undang-undang untuk dirinya itu. Bukankah sudah jelas jika semua yang diatur untuk dirinya itu pula untuk kebaikannya. Joni si mahasiswa hukum tentu tau undang-undang dan seluk beluknya, lebih-lebih RUU yang hangat dibicarakan ini. Yang memuat pengaturan jam kerja, upah dan lain halnya demi kemaslahatan kaum buruh yang selama ini ternyata masih belum di atur dan ditetapkan secara nasional, sehingga para pengusaha berlaku sewenangnya. Dan tidak adanya kepastian upah dan jam kerja bagi tia-tiap buruh itu membuat para tuan dan pemodal melakukan buruh dengan sesuka hati mereka, semaunya mereka agar yang dicapai itu yakni untung sebesar-besarnya mudah di capai. Keadaan ini membuat di suatu daerah upah dan jam kerjanya itu akan berbeda di suatu daerah lainnya. Sehingga ini para pemerintah dan wakil rakyat yang budiman itu membuat suatu rancangan untuk kaum buruh sehingga keadilan sosial itu bisa di rasakan untuk semua golonga, semua rakyat indonesia. Tapi pada hari ini Si Joni menyaksikan ketidak setujuan para buruh menolak RUU itu. Ketidakpahaman si Joni juga kepada ribuan buruh yang menolak RUU itu dengan dalih semakin banyak aturan maka buruh akan semakin dibatasi gerakannya dan kebebasannya. Semakin banyak aturan buruh semakin tercekik kehidupannya. Semakin bingung juga si Joni melihat buruh-buruh itu yang kebanyakan tidak tau alasan-alasan pasti lebih-lebih alasan hukum atau yuridis dari di tolaknya RUU itu. Yang penting berdemo menyuarakan untuk melokan RUU dan kami dapat uang. Begitulah umumnya Joni menanyakan para buruh yang berdemo itu.Si joni sendiri ytak sempat tau apa-apa saja tuntutan yang di suarakan karena ternyata situasi telah menjadi chaos, keributan dengan pihak keamanan, pembubaran massa. Dan lari berhamburan para buruh serta kawan-kawan si Joni. 

Di pinggir jalan raya di temani secangkir kopi hitam mengepul asapnya keudara. Dan kawan-kawan joni yang asik berbincang, membicarakan aksinya tadi dengan penuh ekspresi. Ada pula yang sibuk dengan linimasa di androidnya, memposting swa foto-foto aksinya. Si joni sendiri diam membisu, merenung dan merasakan di dalam hatinya sesuatu yang tidak pada semestinya. Mungkinkah ada salah satu pihak menggerkan ribuan buruh untuk menolak RUU itu...?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline