Lihat ke Halaman Asli

Blunder Satelit BRI (Dahlan)

Diperbarui: 23 Juni 2015   23:04

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bisnis. Sumber ilustrasi: PEXELS/Nappy

Blunder Satelit BRI (Dahlan)

Dalam satu bulan terakhir, bangsa ini dikejutkan oleh banyaknya kebijakan strategis yang diambil oleh BUMN-BUMN Indoensia. Jika sebelumnya kita menyaksikan panasnya kontroversi akuisisi Bank Mandiri dan BTN, kali ini giliran BRI yang memberikan kabar mengejutkan dengan rencana pembelian sebuah satelit yang katanya untuk mendongkrak kinerja Bank plat merah tersebut. BRI ngotot untuk membeli satelit yang akan diberi nama BRISAT tersebut karena mereka beranggapan bahwa hal ini untuk meningkatkan jangkauan dan memberikan kepuasan kepada nasabah, selain itu mereka berpendapat bahwa pembelian ini untuk mengurangi biaya komunikasi satelit yang mereka keluarkan karena selama ini BRI menyewanya dari pihak ketiga. Bahkan Menteri BUMN Dahlan Iskan yang turut mendukung rencana tersebut mengungkapkan, BRI memiliki jangkauan yang luas terutama melayani nasabah di Indonesia. Selama ini, BRI menyewa satelit dengan pengeluaran Rp500 miliar per tahun, namun dengan pembelian satelit menjadi Rp250 miliar per tahun. Lantas, pertanyaan yang kemudian muncul dibenak publik adalah seberapa penting BRI memiliki satelit ini?

Jika kita menganilisa dari sudut pandang lini bisnis yang ditekuni oleh BRI, langkah strategis ini sebenarnya kurang tepat mengingat bahwa BRI bergerak dibidang perbankan dan ditujukan untuk melayani kepentingan rakyat yang berada jauh di plosok. BRI didirikan untuk bersentuhan langsung dengan mereka yang bergerak di sektor Riil, Usaha Kecil dan Mengah (UKM), tentu dengan bunga yang sangat rendah. Keputusan BRI untuk membeli satelit ini menggambarkan bahwa sepertinya BRI telah berindah fokus dari yang seharunya menjadi penyelamat rakyat dari praktik lintah darat menjadi BUMN yang tidak jelas arahnya mau bergerak dibidang apa.

Selain itu, BRI yang sejak awal berfokus pada lini perbankan dipandang tidak memiliki kemampuan teknis dalam mengelola bisnis satelit. Berbeda halnya jika pembelian satelit ini diajukan oleh BUMN lain seperti Telkom yang memang benar-benar memiliki kemampuan teknis untuk mengolalanya. Dengan keputusan ini, BRI yang awalnya bergerak dalam sektor perbangkan kini mendiversivikasikan lini bisnisnya dengan merambah sektor pengelolaan satelit. Sehingga dapat disimpulkan bahwa bisnis utama tidak ada kaitannya dengan bisnis baru, yang dalam sudut pandang bisnis ini mengandung resiko. Bahkan resio tersebut dapat mengancam BRI akan mengalami kerugian yang besar.

Kalaupun, dalam praktik perbangkan membutuhkan support tekhnologi satelit, sebenarya langkah yang paling bisa diterima adalah tentu dengan menyewanya dari pihak ketiga. Namun, Jikalau dengan menyewa BRI merasa tidak ada jaminan untuk mendapatkan pelayanan maksimal, sebenarnya BRI bisa mendorong BUMN lain yang berkompeten untuk membeli satelit baru yang khusus digunakan untuk industri perbankan. BRI bisa menggunakan dana 2,5 Triliun itu untuk dipinjamkan kepada Telkom lalu kemudian dana tersebut dapat digunakan oleh Telkom untuk proses pengadaan satelit baru yang nantinya akan digunakan oleh BRI, opsi ini jauh lebih baik karena memang telkom didukung oleh tenaga ahli yang berkompeten dalam mengoperasikan bisnis satelit ini. Jika opsi ini yang diambil, justru akan terjalin kerjasama yang saling menguntungkan dan saling menguatkan, dimana Telkom bisa bertambah kuat karena menjadi perusahan telekomunikasi kelas dunia, dan BRI selaku pemberi modal mendapatkan keuntungan dari bunga yang didapat atas pinjaman modal pengadaan satelit tersebut serta jaminan atas kelancaran komunikasi yang selama ini mereka inginkan.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline