Cognitive Authority: Pilar Penting dalam Menyaring Informasi Berkualitas di Dunia Maya
Dalam era digital yang didominasi oleh banjir informasi dari berbagai sumber, pertanyaan tentang siapa atau apa yang bisa dipercaya menjadi semakin relevan. Konsep Cognitive Authority (CA) atau otoritas kognitif, yang pertama kali diperkenalkan oleh Patrick Wilson pada tahun 1983, menawarkan kerangka kerja yang penting untuk memahami bagaimana kredibilitas dan otoritas informasi terbentuk dan diterapkan. Artikel "Cognitive Authority: A Scoping Review of Empirical Research" yang ditulis oleh Hirvonen et al. (2024) mengulas 25 tahun penelitian tentang CA dan menganalisis bagaimana konsep ini didefinisikan dan diaplikasikan dalam berbagai disiplin ilmu, terutama dalam ilmu perpustakaan dan informasi. Tinjauan ini mengidentifikasi 40 artikel penelitian empiris dari 235 referensi unik yang ditemukan dalam berbagai basis data akademik, termasuk EBSCO, ISI Web of Science, ProQuest, Scopus, Science Direct, PubMed, dan Google Scholar.
Studi ini menggunakan pendekatan tinjauan cakupan (scoping review) dan mengikuti panduan PRISMA untuk melakukan pencarian literatur yang sistematis dan menyeluruh. Fokus penelitian ini adalah untuk menjawab tiga pertanyaan utama: bagaimana CA dikonseptualisasikan dalam penelitian empiris, bagaimana CA diuji secara empiris, dan bagaimana penelitian ini berkontribusi pada pemahaman kita tentang CA. Dalam konteks ini, penulis mengidentifikasi empat garis penelitian paralel yang berkembang, yaitu CA sebagai indikator kualitas sumber informasi, CA sebagai konstruksi diskursif, CA yang terletak dalam mekanisme dan pengaturan sosial, serta CA sebagai legitimasi institusional sains dan profesi. Temuan ini memberikan wawasan yang berharga tentang bagaimana otoritas kognitif dipahami dan diterapkan dalam berbagai konteks, mulai dari evaluasi kualitas informasi di internet hingga otoritas medis dalam konteks perawatan kesehatan. Dengan demikian, tinjauan ini menjadi kontribusi penting dalam memahami dinamika otoritas dan kredibilitas informasi di era digital yang semakin kompleks.
***
Tinjauan oleh Hirvonen et al. (2024) menunjukkan bahwa pendekatan empiris terhadap Cognitive Authority (CA) sangat bervariasi tergantung pada konteks dan disiplin ilmu yang diteliti. Dari 40 artikel yang dikaji, sebagian besar (45%) mengonseptualisasikan CA sebagai indikator kualitas sumber informasi. Dalam penelitian ini, CA sering dianggap sebagai kriteria penting dalam menentukan kualitas dan kredibilitas informasi, terutama di lingkungan yang tidak terkontrol seperti internet. Sebagai contoh, Rieh (2002) menemukan bahwa 70% pengguna internet membuat penilaian kualitas informasi berdasarkan otoritas sumber, yang diidentifikasi melalui indikator seperti reputasi institusi atau kredensial penulis. Hal ini menggarisbawahi pentingnya CA dalam situasi di mana pengguna harus mengevaluasi informasi yang berasal dari sumber yang tidak familiar atau yang kredibilitasnya belum diuji.
Selain itu, 27,5% penelitian menganggap CA sebagai konstruksi diskursif yang dibentuk melalui interaksi sosial dan penggunaan bahasa. Misalnya, penelitian McKenzie (2003) dan Neal & McKenzie (2011) menunjukkan bagaimana otoritas kognitif dapat dikonstruksi melalui strategi bahasa yang digunakan oleh komunitas tertentu, seperti blog atau media sosial. Dalam konteks ini, CA tidak hanya bergantung pada indikator tradisional seperti keahlian atau posisi sosial, tetapi juga pada pengalaman hidup yang dibagikan dan kemampuan untuk mempengaruhi melalui retorika yang meyakinkan. Dalam penelitian Montesi (2021) tentang "berita palsu," ditemukan bahwa 40% berita palsu menggunakan apa yang disebut sebagai "otoritas afektif," yang melibatkan teknik seperti mendiskreditkan orang atau ide, dan penggunaan bahasa kasar untuk memperkuat klaim mereka. Ini menyoroti bahwa otoritas tidak hanya dibentuk oleh fakta atau keahlian, tetapi juga oleh cara informasi disampaikan dan diterima oleh audiens.
Pendekatan ketiga yang mencakup 25% artikel menyoroti CA sebagai suatu yang terletak dalam mekanisme sosial atau pengaturan spesifik, seperti komunitas atau "small world." Savolainen (2007) menemukan bahwa aktivis lingkungan lebih mempercayai informasi yang berasal dari anggota komunitas mereka sendiri daripada dari sumber luar, yang dianggap kurang relevan atau kurang dapat dipercaya. Ini menunjukkan bahwa otoritas kognitif sering kali bersifat situasional dan bergantung pada konteks sosial di mana seseorang berada. Martin (2002) dan DeGloma (2007) juga membahas bagaimana otoritas kognitif dapat berfungsi sebagai figur pengaruh yang kuat dalam membentuk dan memvalidasi sistem kepercayaan dalam komunitas.
Akhirnya, 10% dari penelitian yang ditinjau menganggap CA sebagai bentuk legitimasi institusional, terutama di bidang sains dan profesi. Dalam konteks ini, otoritas kognitif sering digunakan untuk mendukung legitimasi sosial dari institusi atau profesional tertentu. Bhmer (2021), misalnya, menunjukkan bagaimana otoritas politik dapat berfungsi sebagai otoritas kognitif dalam komunikasi kesehatan publik selama pandemi COVID-19. Studi ini mengamati bagaimana cara komunikasi dari otoritas ini berpengaruh signifikan terhadap perilaku masyarakat dalam merespon krisis kesehatan.
***
Tinjauan artikel oleh Hirvonen et al. (2024) menggambarkan bahwa Cognitive Authority (CA) adalah konsep yang dinamis dan kontekstual, dengan penerapan yang berbeda-beda tergantung pada lingkungan sosial, institusional, dan teknologis. Dari penilaian kualitas informasi di internet hingga legitimasi institusional dalam konteks profesional, CA memainkan peran penting dalam bagaimana individu dan komunitas menilai, menerima, atau menolak informasi. Penelitian ini juga menunjukkan bahwa CA tidak hanya didasarkan pada keahlian atau kredensial, tetapi juga pada konstruksi diskursif dan mekanisme sosial yang lebih luas yang membentuk kepercayaan dalam komunitas tertentu.
Implikasinya, pemahaman yang lebih dalam tentang CA dapat membantu kita dalam mengembangkan strategi yang lebih efektif untuk mempromosikan literasi informasi, terutama di era digital saat ini di mana informasi yang salah dan disinformasi semakin merajalela. Penelitian di masa depan perlu mengintegrasikan lebih banyak pendekatan multidisiplin yang mencakup perspektif sosial, teknologi, dan budaya untuk memahami bagaimana CA terbentuk, dipelihara, dan ditantang dalam berbagai konteks informasi. Mengingat pentingnya otoritas dalam menentukan kredibilitas, pemahaman yang lebih baik tentang CA juga akan sangat penting untuk pengembangan kebijakan publik, pendidikan, dan komunikasi profesional yang lebih efektif dan berbasis bukti. Dengan demikian, penelitian ini tidak hanya memberikan wawasan akademis tetapi juga menawarkan panduan praktis untuk mengatasi tantangan informasi di masa depan.