Lihat ke Halaman Asli

Buku Dalam Senyuman Seorang Anak Masyarakat Adat Suku Lauje

Diperbarui: 24 Mei 2020   21:30

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Tanpa sengaja sekira pukul 15.30 WITA. Seorang anak kecil berkisar 5 tahun dari masyarakat adat suku lauje atau biasa disebut Bela melintasi sungai Desa Bambasiang, Kecamatan Palasa, Kabupaten Parigi Moutong. Sambil menggendong alat pancing yang terbuat dari bambu yang diikatkan dengan tali urat beserta kail.

Nampak pula umpan dari semut merah yang berukuran besar terselip di tangan sebelah kirinya. Semut merah itu masyarakat adat suku lauje menyebutnya dengan "Laga" atau "Lo".

Sesampainya di bibir sungai umpan lo itu ia kaitkan di kail, dengan rasa tenang ia membuang perlahan ke sungai, selanjutnya alat pancing ia tancapkan ke tanah.

Sambil menunggu dan berharap ada seekor ikan memakan umpannya, maka ia pun bergegas mencari tambahan umpan lo yang bersarang di dedaunan.

Sebagai masyarakat nomaden yang tinggal di pegunungan memancing, berburu, dan bercocok tanam adalah keutamaan yang harus dilakukan dalam oleh masyarakat adat suku lauje untuk bertahan hidup yang juga mereka ajarkan kepada anak-anak mereka agar bisa terwarisi secara turun temurun.

Jika ditanyakan soal buku, maka anak-anak Bela akan menjawab dalam senyuman. Hal itu dikarenakan masih minimnya literasi yang diterima oleh masyarakat adat suku lauje khususnya anak-anak mereka.

Bukannya mereka tidak tahu membaca dan menulis tetapi mereka hanya belum tahu. Untuk merespon itu Pemerintah telah mengupayakan pembangunan sumber daya manusia bagi masyarakat adat suku lauje yang berada di pegunungan dengan membangun Sekolah Dasar Terpencil (SDK).

Namun, dengan banyaknya SDK yang sudah berdiri di pegunungan hanya sebagian kecil saja yang minat terhadap buku, bukan tanpa sebab, karena cara mengajak mereka untuk membaca masih keliru.

Terlebih lagi, kehidupan anak-anak Bela yang mengharuskan mereka untuk membantu orang tua menafkahi sanak saudara dirumah tidak bisa terhindar, sehingga mereka yang bersekolah akan masuk pada pagi hari dan selanjutnya pada petang akan membantu orang tua.

Nah, perlunya perubahan pendekatan secara persuasif kultural kepada anak-anak Bela, bukan hanya dengan pembelajaran formal di dalam kelas, namun perlu juag pembelajaran non formal di alam dengan mengajak mereka bermain sekaligus belajar dengan menggunakan media alam agar dapat memahami apa yang diajarkan kepada mereka.

Tak bisa dipaksakan, bagaimana mereka harus mencari nafkah bersama orang tua, sebab tidak ada jaminan dari negara untuk mereka dapat tetap bertahan hidup, seharusnya Guru dapat ikut serta dalam keseharian bersama murid di pegunungan untuk dapat merekatkan ikatan emosional, dengan begitu minat belajar akan tersimpan dibenak mereka karena dengan kedekatan Guru dan murid akan memberikan stimulus kepada murid agar lebih memahami seperti apa yang mereka inginkan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline