Lihat ke Halaman Asli

Miftahul Thariq

Mahasiswa Sejarah Peradaban Islam UIN Sunan Gunung Djati Bandung

Jaringan ulama dan pembaharuan islam di wilayah melayu-indonesia pada abad ke delapan belas

Diperbarui: 22 Desember 2024   14:20

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth


NEO-SUFISME DAN PENGARUHNYA DI NUSANTARA 

Saya telah mengungkapkan bagaimana `Abd al-Shamad al-Palim-bani, Muhammad 'Arsyad al-Banj~ri, Muhammad Nafas al-Banjari, Dawud al-Ftani, dan ulama Melayu-Indonesia lainnya pada abad ke-18 menjalin hubungan erat dengan sejumlah tokoh penting di pusat-pusat jaringan ulama di Haramayn dan di Kairo.
Mereka bukan hanya menjadi saluran penting dalam penyebaran pembaruan Islam dari Timur Tengah ke Nusantara, melainkan juga menjadi penghubung bagi para ulama Melayu-Indonesia selanjutnya yang datang dalam jumlah yang semakin meningkat ke Haramayn.
Karena itu, para ulama Melayu-Indonesia pada abad ke-18 memainkan peranan menentukan bukan hanya dalam mempertahankan momentum pembaruan Islam di Nusantara, yang sebelumnya dirintis al-Raniri, al-Sinkili, dan al-Maqassari, tetapi lebih penting lagi adalah dalam meneruskan bendera pembaruan kepada generasi ulama Melayu-Indonesia sesudahnya.
Al-Palim-bani dan kawan-kawannya sesama ulama Melayu-Indonesia juga memainkan peranan pen ting dalam melestarikan semangat kaum Muslim Nusantara dalam menghadapi ekspansi wilayah yang terus dilakukan kekuatan-kekuatan kolonial Eropa.
Saya tentu saja tidak akan terlalu menekankan faktor Eropa, tetapi tak diragukan lagi, ia memberikan sumbangan pada peningkatan kepedulian di kalangan para ulama Melayu-Indonesia terhadap masa depan Islam di wilayah ini.
Dalam bagian ini saya berusaha membahas ajaran-ajaran mereka, terutama dalam kaitannya dengan arus intelektual dalam jaringan utama yang lebih luas.

SYARIAT DANTASAWUF: MENDAMAIKAN AL-GHAZALi DENGAN `IBN 'ARABi 

Dalam bah sebelumnya, saya meneliti tema sentral pemikiran alRniri, al-Sinkili, dan al-Maqassari, yaitu keselarasan antara aspek-aspek hukum dan mistis Islam.
Sebagaimana dikemukakan Drewes, literatur keagamaan setempat di wilayah ini pada akhir abad ke-18 dan permulaan abad ke-19 tidak mencakup karya-karya Hamzah al-Fansuri atau Syams al-Din al-Samatrni atau tulisan-tulisan lain yang dianggap ''menyimpang'' (unorthodox) atau bahkan yang mengandung ajaran-ajaran ''sesat'' (heterodoks).
Dia menganggap mereka akan salah mengerti karena kurangnya dasar yang kuat dalam pengetahuan Islam, terutama mengenai syariat.
'' Seperti akan kita lihat nanti, kebanyakan ulama Melayu-Indonesia pada masa itu, sejak al-Palimbani hingga al-Fatani, sesungguhnya menerima konsep martabat tujuh yang sama.
Dari seluruh ulama Melayu-Indonesia pada abad ke-18 adalah Muhammad Arsyad al-Banjri dan Dawud al-Fatani yang membantu perkembangan syariat di Nusantara.
Namun peranannya dalam menyebarkan doktrin-doktrin hukum Islam di Nusantara tak kurang pula melalui karya-karyanya dalam bidang fkih, yang beredar luas di Nusantara.
112 Karya utama Muhammad Arsyad adalah Sabil al-Muhtadin li alTafaqquh fi ' Amr al-Din.
Tak pelak lagi, itu merupakan salah satu karya utama dalam bidang fikih di dunia Melayu setelah diselesaikannya alShirt al-Mustaqim oleh al-Raniri dan Mir'at al-Thullb oleh al-Sinkili.
Sebagaimana dinyatakan Muhammad Arsyad dalam catatan pendahuluannya, dia mulai menulis al-Shirt al-Mustaqfm pada 1193/1779 atas permintaan Sultan Tahmid Allah.
Pada dasarnya karya itu merupakan penjelasan, atau sampai batas tertentu adalah revisi, atas karya al-Raniri al-Shirt al-Mustaqim yang menggunakan banyak istilah dalam bahasa Aceh yang hampir tidak dapat dipahami para ulama dan masyarakat Melayu-Indonesia di wilayah-wilayah lain di Nusantara.
Di kemudian hari, keturunan Muhammad 'Arsyad menyusun kumpulan ajaran-ajarannya mengenai dasar-dasar kepercayaan ('aq'id) dan fikih, yang berjudul Perukunan Besar al-Banjari atau Perukunan Melayu.
Karya ini mencapai sukses yang sama dan selanjutnya diterjemahkan ke dalam bahasa-bahasa lain di Nusantara, seperti bahasa Jawa dan Sunda.
' Kepopuleran tulisan-tulisan Muhammad Arsyad menunjukkan, bahwa karya-karya yang menjelaskan ajaran-ajaran hukum Islam benar-benar dibutuhkan kaum Muslim Melayu-Indonesia sebagai petunjuk praktis dalam kehidupan mereka sehari-hari.
Ini juga menunjukkan kenyataan bahwa kaum Muslim di Nusantara mempunyai minat sangat besar pada hukum Islam dan tidak hanya tertarik pada mistisisme Islam, sebagaimana diasumsikan beberapa sarjana.Sumbangan besar untuk penyebaran lebih lanjut doktrin-doktrin hukum Islam diberikan Dawud al-Fatani, ulama paling produktif di antara para ulama Melayu-Indonesia lainnya dalam abad ke-18.
Sementara kita akan membahas karya-karya utama Dwd al-Fatani mengenai tasawuf nanti, kita kini memusatkan perhatian pada karya-karyanya yang membicarakan tentang berbagai aspek syariat dan fikih.
Selanjutnya ditulisnya karya-karya lebih kecil, seperti Jami' al-Faw~'id mengenai berbagai kewajiban kaum Muslim terhadap sesama Muslim dan nonMuslim, Hidayat al-Muta'allim wa 'Umddt al-Mu'allim mengenai fkih secara umum, Muniyyt al-Mushall mengenai salat, Nahj al-Raghibin fi Sabil al-Muttaqin mengenai transaksi-transaksi perdagangan, Ghayt al-Taqrib mengenai warisan (far'idh), Idah al-Bab li Murid al-Nikah bi al-Shawab mengenai masalah-masalah yang berkaitan dengan perkawinan dan perceraian, serta sejumlah tulisan-tulisan lebih pendek lainnya mengenai bagian-bagian fikih tertentu.
Berasal dari lingkungan intelektual yang sama, tidaklah mengherankan, jika al-Fatani juga mendapatkan sebagian besar pemikiran dan ajarannya dari para ulama penting di atas.
Karya al-Fatani Bughyat al-Thull~b terdiri atas dua jilid yang masing-masing berisi 244 clan 236 halaman, dan dicetak berulang kali di Mekkah, Istanbul, Kairo, dan berbagai tempat di Nusantara.
Menjelaskan secara perinci berbagai kewajiban keagamaan kaum Muslim ('ibdah), karya ini dipandang sebagai buku paling sempurna mengenai aspek fikih yang khusus ini.
Bughyt al-Thull~b sama populernya dengan Sabil alMuhtadin karya Muhammad Arsyad, dan masih digunakan di banyak tempat di wilayah Melayu-Indonesia.
Karya ini merupakan adaptasi dari karya Syams al-Din al-Ramli, al-Fatawa, dan karya Husayn bin Muhammad al-Mahalli, Kasyf al-Litsam, dan ditulis dalam bentuk tanya jawab.
Dengan menggunakan gaya penulisan ini, al-Fatani memperkenalkan suatu metode baru dalam menjelaskan seluk-beluk fkih dengan cara yang dianggapnya menarik dan efektif untuk mengajarkan fkih kepada para pembacanya di wilayah Melayu-Indonesia.
Al-Fatni, melalui karya-karyanya di atas, juga memainkan peranan utama dalam sejarah fikih di Nusantara. pentingnya syariat atau fkih bagi kaum Muslim dengan mengutip sebuah Hadis Nabi yang menyatakan, bahwa seorang fakih yang baik dapat mempertahankan dirinya secara lebih baik melawan kejahatan dibanding seribu orang Muslim yang menjalankan kewajiban agama tanpa disertai pengetahuan memadai tentang fikih. al, karya al-Palimbani Sayr al-Sdlikin merupakan penjelasan lebih lanjut dari ajaran-ajaran yang terdapat dalam Hidayat al-S~likin. Menurut al-Palimbani, Sayr al-Salikin merupakan terjemahan Lubab 'Ihyd' 'Ulm al-Din, suatu versi ringkas 'Ihya' 'Ulm al-Din, yang ditulis saudara laki-laki al-Ghazali, Ahmad bin Muhammad. Al-Palimbani juga membuat acuan pada karya-karya para pendahulunya di wilayah Melayu-Indonesia, seperti al-Sinkili, dan bahkan Syams al-Din al-Samatrani,' yang dianggap sementara orang sebagai ulama menyimpang. Semua ini sekali lagi menggarisbawahi kenyataan bahwa al-Palimbani mempunyai bukan hanya hubungan guru-murid, tetapi juga kaitan intelektual dengan banyak tokoh penting dalam jaringan ulama. Dari ajaran-ajaran ini, kita mendapat kesan bahwa al-Palimbani mendukung semacam kepasifan setidaknya dalam bidang mistisisme, tetapi akan tidak adil jadinya jika kita memandangnya hanya dari ajaranajaran itu. Al-Palimbani, seperti al-Maqassari, seorang aktivis yang patut diteladani melawan kolonialisme Belanda, mendorong aktivisme di kalangan rekan-rekannya sesama kaum Muslim, seperti jihad melawan Belanda. Tampaknya adalah kepedulian al-Palimbani terhadap para murid, yang mungkin tersesat jika mereka menempuh jalan mistis, yang mcmbuatnya mengambil ajaran-ajaran ini. Olch karena itu, dia bersikeras murid-murid perlu diberi petunjuk oleh guru-guru tepercaya, yang dapat mencegah mereka dari kebingungan menyang-kut doktrin-doktrin mistis. Al-Palimbani membagi para kelana di jalan mistis ke dalam tiga golongan: para pemula (al-mubtadi), golongan menengah (al-mutawassith), dan golongan lanjutan (al-muntahi). Untuk masing-masing golongan, al-palimbani menyarankan sejumlah bacaan. Daftar bacaannya sungguh menarik. dari 56 karya: antara lain, enam karya al-Ghazali, dua karya al-Anshari, tujuh karya al-Sya'rani, tiga karya 'Abd al-Qadir al-Aydarusi, satu karya al-Qusyasyi, al-Kurani, Taj al-Din al-Hindi, al-Sinkili, sekitar 13 karya al-Bakri dan al-Sammani atau murid-murid mereka menyangkut doktrin dan praktik Tarekat Khalwatiyah dan Tarekat Sammaniyah, dan beberapa karya para ulama lain.' Sebagian besar karya ini sematamata merupakan uraian tentang kewajiban pemenuhan syariat dalam kaitannya dengan tujuan mencapai kemajuan spiritual di jalan mistis. Dengan pilihannya terhadap karya-karya semacam ini, al-Palimbani jelas bermaksud menunjukkan pada setiap calon kelana di jalan mistis bahwa syariat merupakan landasan dasar dari mistisisme Islam. Pada tingkat menengah, al-Palimbani membawa para pencari kebenaran untuk menggali tasawuf lebih dalam. Dia mendaftar tidak kurang dari 26 karya, yang kebanyakan lebih bersifat flosofis dan teologis.' Dia memasukkan Hikam karya 'Atha' Allah, yang harus dibaca bersamaan dengan penjelasan oleh Muhammad bin 'Ibrahim bin al 'Ibd, al-Qusyasyi, dan Ahmad bin 'Alan. Selanjutnya, dia mendaftar Hikam karya Raslan al-Dimasyqi. Karya ini kemungkinan besar adalah karya yang sama dengan Rislah fi al-Tawhid, sebab al-Palimbani menyebutkan penjelasannya yang berjudul Fath al-Ralmdn oleh alAnsh~rt.'3" Al-Palimbani mengemukakan, dia membaca Hikam dan Risalah ft al-Tawhid bersama dengan penjelasan-penjelasannya oleh alNabillsf dan al-Sammani. Al-Palimbani juga memasukkan karya-karya teologis seperti Yawaqit al-Jawahir dari al-Sya'rani, Mifth al-M'iyyah ft al-Tharaqat al-Naqsybandiyyah karya al-Nab~lsi, dan beberapa karya al-Bakri dan al-Sammani. Pada tingkat lanjutan, para kelana di jalan Tuhan diperkenalkan pada karya-karya lebih rumit dan, karenanya, agak kontroversial.' Di puncak daftar itu adalah karya-karya 'Ibn 'Arabi, termasuk Fushush al-Hikam, Futahdt al-Makkiyyaht, dan Mawqi' al-Nujum. Selanjutnya adalah al-'Insan al-Kamil karya al-Jili, 'Ilya' 'Ulm al-Din karya al-Ghazali, Tulfah al-Mursalah karya al-Burhanp~r~ bersama dengan penjelasan-penjelasannya yang ditulis al-Kurani dan al-Nabalasi, Lawaqih al-Anwar al-Qudsiyyah karya al-Sya'rani, Mir'at al-Haq~'iq karya al-Syinnawi, dan Maslak al-Mukhtar karya al-Kurant. Akhirnya, dia memasukkan karya-karya para ulama Melayu-Indonesia: Jawahir al-Haq'iq dan Tanbih al-Thull~b f Ma'rifat al-Malik al-Wahhdb karya Syams al-Din al-Samatrni," Ta'yid al-Bayn Hasyiyyah 'Idhah al-Bayan f Talqiq Mas'il al-A'yan (sic!) karya al- Sinkili,' dan akhirnya karya al-Palimbani sendiri, Zad al-Muttaqin f Tawhid Rabb al-'Alamin.' al-Plimbani menyatakan bahwa Zad al-Muttaq~in ditulis sebagai eksposisi doktrin Wahdat al-Wuj~d sebagaimana yang diterimanya dari al-Samm~ni dan muridnya Shiddiq bin 'Umar al-Khan. Menurut pendapat al-Palimbani, sufi sejati adalah penganut doktrin wujdiyyah muwahhid. Sufi kelompok ini menegaskan Keesaan Tuhan yang mutlak dalam diri-Nya. Mereka dinamakan wujdiyyah sebab kepercayaan mereka dan kecenderungan intelektual mereka terpusat pada Keesaan mutlak Tuhan. Usaha mendamaikan tradisi tasawuf al-Ghaz~li yang berorientasi pada syariat dengan tradisi tasawuf flosofis 'Tbn 'Arabi juga dilakukan Muhammad Nafis dalam karyanya Durr al-Nafis. Karya ini, yang diselesaikan di Mekkah pada 1200/1785, beredar luas. Dicetak beberapa kali di berbagai tempat di Timur Tengah dan di Nusantara, ia masih digunakan di banyak tempat di wilayah Melayu-Indonesia. Durr a!-Nafis ditulis dalam bahasa Jawi, sehingga ia dapat dibaca oleh orang-orang yang tidak dapat membaca huruf Arab." Pengamatan sekilas pada Durr al-Nafis menegaskan kenyataan, bahwa Muhammad Nafis dengan sadar juga berusaha mendamaikan tradisi al-Ghazal dan tradisi 'Ibn 'Arabi. Dalam mempersiapkan karya ini, di samping menggunakan ajaran-ajaran lisan dari guru-gurunya di Haramayn, dia memanfaatkan benar Futaht al-Makkiyah dan Fushush al-Hikam karya 'Ibn 'Arabi, Hikam karya 'Atha' Allah, al-'Insan al-Kamil karya al-Jili, 'Iya' 'Ulm al-Din dan Minhaj al-'Abidin karya al-Ghazali, Ris~lat al-Qusyairiyyah karya al-Qusyairi, Jaw~hir wa al-Durar karya al-Sya'rani, Mukhtashar al-Tuhfat al-Mursalah karya 'Abd Allah bin 'Ibrahim al-Mirghani, dan Manhal al-Muhammadiyyah karya al-Sammani. Menurut Muhammad Nafis, keesaan Tuhan (tauhid) terdiri atas empat tahap: tawhid al-af'al (keesaan perbuatan Tuhan), tawhid al-shifat (keesaan sifat-sifat tuhan), tawhid al-'asm~' (keesaan nama-nama Tuhan), dan tawhid al-dzat (keesaan esensi Tuhan). Pada tahap tertinggi, tawhid al-dzat, para pencari kebenaran akan mengalami fan', dan selama itu mereka akan dapat mencapai penyaksian atau penglihatan (musyhadah) esensi Tuhan. Seperti al-Palimbani, Muhammad Nafis percaya, zat Tuhan tidak dapat diketahui melalut pancaindra dan akal: hanya dengan kasyf (intuisi langsung) sajalah orang akan mampu menangkap zat Tuhan. Kenyataan bahwa para ulama Melayu-Indonesia dalam abad ke-18 terus berpegang pada doktrin pokok 'Tbn 'Arabi tidaklah begitu mengherankan. Sebab, meski ada kecaman atas konsep wahdat al-wujd, sesungguhnya ia merupakan doktrin dasar clan utama dari segala jenis tasawuf. Kecaman terhadap doktrin ini oleh para ulama seperti 'Ibn Taymiyah ( w. 728/1329), al-Subk1 (w. 743/1344), dan 'Ibn Khaldtn (w. 780/1378) pada dasarnya dilandaskan atas kenyataan bahwa doktrin tersebut dapat dipahami secara keliru. Ia dapat menuntun pada keyakinan, bahwa ada kesinambungan atau kesatuan penuh antara makhluk dengan Tuhannya. Dengan kata lain, ia dapat membawa seseorang pada paham panteisme yang dilaknat para ulama hukum ('ahl al-syar'i). Penting dicatat, doktrin wahdat al-wuj~d, anehnya dibela pula oleh beberapa ulama hukum dan Hadis terkemuka, termasuk Muhyi al-Din al-Nawawi (w. 676/1278), Jal~l al-Din al-Suy~thi, dan Zakariya alAnshari. Saya telah menunjukkan dalam Bab III, bagaimana al-Anshari, misalnya, mempunyai 'isn~d Hadis yang terlacak ke belakang hingga 'Ibn 'Arabi. Pembela paling gigih 'Ibn 'Arabi di kalangan para neo-Sufi adalah, al-Sya'rani, yang kepadanya banyak tokoh dalam jaringan ulama mendasarkan ajaran-ajaran mistis mereka. Murid-murid harus mempunyai landasan kuat dalam semua aspek doktrin mistiko-filosofis dan memahami sepenuhnya hubungan mereka dengan ajaran-ajaran hukum Islam sebelum dapat memahami ajaran-ajaran 'Ibn 'Arabi dalam konteksnya yang benar. Juga penting dicatat, para ulama ini bersikap sangat hati-hati untuk tidak mengaitkan diri mereka sepenuhnya dengan 'Ibn 'Arabi; mereka juga mengutip para elite lain, yang dengan suara bulat dianggap sebagai ulama "ortodoks", seperti al-Ghaz~li, sebagai sumber-sumber utama mereka. 

JIHAD DAN PEMBARUAN RADIKAL Tasawuf:

 terutama di kalangan kaum Muslim modernis, sering dianggap sebagai salah satu penyebab utama kemunduran dunia Islam. Secara religius, tasawuf dituduh sebagai sumber bid'ah dan takhayyul atau khurafat. Secara sosial, tasawuf disalahkan karena menarik massa Muslim ke arah "kepasifan" dan penarikan diri ('uzlah) dari permasalahan duniawi. la dianggap mendorong sikap pelarian diri (escapism) dari kcmunduran sosio-ekonomi dan politik masyarakat Muslim. Akibatnya, demikian tuduhan itu, masyarakat Muslim tidak berhasil berpacu dengan dunia Barat yang kian maju, yang sejak awal abad ke-17 semakin mengacau Dar al-Islam. Sebagian besar tuduhan itu tidak mempunyai dasaryang kuat. Tidak perlu mengulang argumen-argumen dan bukti-bukti yang ditunjukkan dalam seluruh esai ini, bahwa ajaran pokok tasawuf yang telah diperbarui atau neo-sufisme bersifat murni. la menuntut kepatuhan penuh, baik secara lahir maupun batin, kaum Muslim kepada ajaran ortodoks, atau lebih tepat lagi, kepada syariat. Para tokoh dalam jaringan ulama bersepakat, sama sekali mustahil bagi para sufi mencapai tujuan spiritual mereka tanpa mematuhi sepenuhnya doktrin ortodoks Islam. Mereka, ten tu saja, mengakui adanya manifestasi dan praktik yang menyimpang dari tasawuf yang sebenarnya, terutama pada tingkat massa, tetapi hal itu terutama disebabkan kurangnya pemahaman atas ajaran-ajaran tasawuf yang murni. Karena itu, tasawuf itu sendiri tidak boleh dianggap bertanggung jawab atas semua bid'ah dan khurafat yang terdapat di kalangan masyarakat Muslim. Begitu pula tuduhan kaum modernis bahwa tasawuf mendorong kepasifan dan penarikan diri dari permasalahan duniawi hanya didasarkan terutama pada ketidaktahuan dan kekeliruan pengertian tentang keseluruhan ajaran tasawuf. Saya telah membuktikan sepanjang pembahasan ini bahwa tak seorang pun di antara para tokoh kita dalam jaringan ulama mengajarkan kepasifan dan penarikan diri. Sebaliknya mereka mengimbau kaum Muslim agar aktif; bagi mereka, pemenuhan kewajiban duniawi kaum Muslim merupakan bagian integral dari kemajuan spiritual dalam perjalanan mistis. Dalam kasus para ulama Melayu-Indonesia pada abad ke-17, kita melihat al-Raniri, al-Sinkili, dan al-Maqassari menampilkan diri mereka sebagai suf-suf teladan, yang memberikan perhatian bukan hanya kepada perjalanan spiritual mereka sendiri, melainkan juga kepada masalah dan tugas duniawi, dengan memegang jabatan sebagai mufti di kesultanan masing-masing. Al-Maqassari bahkan melangkah begitu jauh dengan menjadi salah seorang pemimpin dan pahlawan terpenting dalam Perang Banten melawan Belanda. Hal ini juga terjadi pada para ulama Melayu-Indonesia dalam abad ke-18. Snouck Hurgronje menyatakan, karya al-Plimb~ni Fadh~'il al-Jihad merupakan sumber utama berbagai karya mengenai jihad dalam Perang Aceh yang panjang melawan Belanda. la menjadi model dari versi Aceh mengenai imbauan kepada kaum Muslim agar berjuang melawan kaum kafir."" Dikenal secara kolektif sebagai Hikayat Prang Sabi, karya-karya semacam itu memainkan peranan penting dalam menunjang semangat juang orang Aceh sepanjang perang yang berlarut-larut antara 1873 hingga awal abad ke-20. Roff dengan tepat menyatakan, perlawanan bangsa Aceh terhadap serangan Belanda dari tahap awal menunjukkan karakter jihad yang dipimpin ulama independen yang paling cocok mengorganisasi dan melaksanakan perang suci. Surat-surat tersebut berisi desakan kepada para penguasa dan pangeran Jawa untuk melakukan perang suci melawan kaum kafir. Surat-surat itu ditulis dalam bahasa Arab dan di kemudian hari diterjemahkan ke dalam bahasa Jawa dan selanjutnya ke dalam bahasa Belanda. Penulis surat itu menamakan dirinya Muhammad, tetapi dalam teks dari terjemahan bahasa Jawa dia dikenali sebagai 'Abd al-Rahm~n, seorang ulama Palembang di Mekkah. Penganjur jihad terkemuka lainnya dari kalangan ulama Melayu-Indonesia pada abad ke-18 adalah al-Fatani. Dalam kasusnya, periodenya menyaksikan usaha-usaha yang semakin meningkat dari pemerintah Thai untuk menguatkan cengkeraman mereka atas wilayah Muslim Patani. Karena itu, tidak begitu mengherankan jika situasi politik yang tidak menguntungkan di Tanah Airnya ini juga menjadi perhatian utama al-Fatani."Abdullah bahkan beranggapan, al-Fitani pulang ke kampung halamannya untuk memimpin sendiri jihad melawan Thai sebelum dia akhirnya kembali dan mcnetap setcrusnya di Haramayn.184 Saya tidak dapat membenarkan anggapan ini, sebab tidak ada bukti yang menunjang pernyataan semacam itu. Al-Fatani tidak pernah kembalike Patani sejak saat dia meninggalkan wilayah Nusantara untuk mencari pengetahuan dan menghabiskan sisa hidupnya untuk mengajar dan menulis di Haramayn. Al-Fatani mengimbau kaum Muslim, terutama mereka yang berada di Patani, melalui tulisan-tulisannya. Tetapi dia tidak menulis karya khusus mengenai jihad, dan dia pun tidak mengirimkan surat-surat kepada para penguasa Muslim di Patani. Gagasan-gagasannya mengenai jihad tersebar di berbagai karyanya. Diketahui, misalnya, bahwa karyanya mengenai shalat yang berjudul Muniyyat al-Mushall dalam bahasa Melayu, diselesaikan di Mekkah pada 1242/1827, mempunyai nada politik. Matheson & Hooker berpendapat, karya itu ditulis terutama bagi kaum Muslim di Patani untuk mendukung mereka dalam perjuangan melawan Thai. Ajaran al-Fatani mengenai jihad tampaknya mempunyai hubungan dengan gagasannya tentang negara Islam. Menurut pendapatnya, sebuah negara Islam (dar al-Islam) harus didasarkan atas Al-Qur'an dan Hadis; jika tidak, maka ia akan dinamakan negara kafir (dr al-kufr). Dalam kaitannya dengan perlindungan atas Islam dan kaum Muslim, menurut al-Fatani, adalah kewajiban penting (fardh al-'ayn) bagi setiap Muslim untuk melakukan jihad melawan orang kafir (kafir alharb ). Jika sebuah negara Islam diserang dan dicaplok orang kafir, kaum Muslim wajib memerangi mereka sampai meraih kembali kemerdekaan. Adapun mengenai jihad untuk memperluas wilayah Islam, yang berarti menundukkan orang kafir, itu hanyalah fardh kif ayah, suatu kewajiban yang dijalankan atas nama semua orang. Setelah mengenal ajaran-ajaran semacam itu dan para ulama Melayu -Indonesia, yang dikenal sebagai para ulama sufi, tidak mengherankan bahwa Belanda terutama menganggap ajaran-ajaran dan tarekat itu sangat berbahaya bagi pemerintahan mereka. Snouck Hurgronje, penasihat paling menonjol mengenai masalah Islam untuk pemerintah Belanda, menyatakan bahwa para syekh sufi adalah musuh paling berbahaya bagi pemerintah Belanda di Nusantara. Dia menyatakan, ancaman para ulama sufi Melayu-Indonesia terhadap Belanda tidak lebih kecil dibanding ancaman kaum Sanusiyah terhadap Perancis di Aljazair. Pada tahun-tahun terakhir abad ke-18, tanda-tanda yang lebih jelas dari pembaruan keagamaan muncul di kalangan masyarakat Minangkabau. Misalnya, di antara surau-surau Syathariyah, ada usaha-usaha sadar untuk menghidupkan kembali ajaran-ajaran al-Sinkili, terutama menyangkut pentingnya syariat dalam praktik tasawuf." Lebih jauh lagi, sebagaimana dikatakan Jal~l al-Din, seorang Minangkabau yang hidup pada masa itu dan yang ikut ambil bagian dalam gelombang baru pembaruan ini, di Minangkabau secara terus-menerus berdatangan para ulama dari Mekkah, Madinah, dan Aceh yang juga memberikan dorongan tambahan bagi pembaruan tersebut. Ulama yang memainkan peranan pen ting dalam kebangkitan kembali pembaruan di Minangkabau pada masa ini adalah Tuanku Nan Tuo, guru utama dari Jal~l al-Din. Jal~l al-Din mengatakan, Tuanku Nan Tuo (1136-1246/1723-1830) dari Ampat Angkat adalah murid Tuanku Mansiangan Nan Tuo, yang pada gilirannya adalah murid Burh~n al-Din." Tuanku Nan Tuo juga diriwayatkan belajar di Surau Ulakan dengan murid-murid Burh~n al-Din lain. Di kemudian hari, dia mendirikan suraunya sendiri di Cangking, Ampat Angkat, dan meraih kemasyhuran sebagai ulama syariat dan tasawuf. 195 Karena keahliannya dalam kedua aspek Islam ini, Tuanku Nan Tuo mendapat julukan "Sultan Alim Awliya' Allah", yang menjadi "pemimpin seluruh ulama Minangkabau yang termasuk golongan 'Ahl al-Sunnah wa al-Jama'a". Suran Tuanku Nan Tuo karenanya menjadi pusat paling dikenal bagi pengajaran fkih dan tasawuf di Minangkabau." Begitu pula, para murid Tuanku Nan Tuo, ketika mereka kembali ke desa-desa mereka sendiri di kemudian hari dan mencurahkan tenaga mereka untuk mengajar di surau-surau atau di kalangan masyarakat pada umumnya, menekankan pentingnya syariat. Jal~l al-Din, murid terkemuka Tuanku Nan Tuo, misalnya, mendirikan suraunya di Kota Lawas, yang juga menjadi tempat berdirinya surau Syathariyah yang telah lebih dahulu ada. Tujuan Jal~l al-Din mendirikan suraunya adalah untuk menciptakan suatu masyarakat Muslim sebenarnya di Minangkabau melalui kesetiaan penuh pada penerapan jalan hidup Islam sebagaimana diajarkan syariat. Untuk tujuan itu, Jall al-Din mengajarkan pada para muridnya berbagai aspek hukum Islam. Tuanku Nan Tuo mencurahkan tenaganya untuk pembaruan masyarakat Minangkabau. Dia menjelaskan kepada masyarakat perbedaan antara baik dan buruk, serta antara perbuatan kaum Muslim dan orangorang kafir. Dia menekankan kepada para muridnya tentang pentingnya masyarakat Minangkabau mengikuti jalan 'Ahl al-Sunnah wa al-Jam'ah, yang mendasarkan kehidupan mereka pada Al-Qur'an dan Hadis. Pada saat yang sama, dia memperingatkan mereka, kegagalan melakukan hal itu hanya akan mengakibatkan ketidakamanan dan kekacauan sosial. Diketahui bahwa Tarekat Naqsyabandiyah diperkenalkan ke wilayah ini pada paruh pertama abad ke-17 oleh Jam~l al-Din, seorang Minangkabau yang mula-mula belajar di Pasai sebelum dia melanjutkan ke Bayt al-Faqi, Aden, Haramayn, Mesir, dan India. Dalam perjalanan pulangnya, dia berhenti di Aceh sebelum akhirnya sampai ke tanah kelahirannya di Sumatera Barat-di sini dia aktif mengajar dan menyebarkan Tarekat Naqsyabandiyah. Perjalanan yang dilakukan Jam~l al-Din mengingatkan kita pada pengembaraan al-Sinkili sebelumnya. Meski Jam~l al-Din memberikan riwayat mengenai perjalanannya ke berbagai tempat, tidak seperti al-Sinkili, dia tidak menyebutkan tentang guru-gurunya, sehingga kita tidak dapat melacak hubungan dan koneksi ulamanya. Baik Van Ronkel maupun Johns mengisyaratkan bahwa Jam~l al-Din adalah penulis sebuah teks fikih Naqsyabandi berjudul Lbab al-Hid~yah, yang didasarkan atas ajaran-ajaran Ahmad 'Ibn 'Alan al-Shiddiqi al-Naqsyabandi.3 Menjelang akhir abad ke-18, Tarekat Naqsyabandiyah dan Qadiriyah telah melakukan terobosan penting ke Minangkabau. Kedua tarekat ini, sebagaimana Tarekat Syathariyyah, memberikan sumbangan besar pada pembaruan Islam masa itu. Pembaruan tarekat Sathariyyah, Naqsyabandiyah, dan Qadiriyah, yang paling diwakili Tuanku Nan Tuo dan Jalal al-Din, menghadapi tantangan kuat dari para penghulu (pemuka adat) serta dari pengikut tasawuf eksesif. Setelah gagal membujuk Tuanku Nan Tuo untuk mengubah pendekatannya yang evolusioner dan damai terhadap pembaruan Islam, Tuanku Nan Renceh mendapatkan para pendukung kuat dalam diri tiga haji yang kembali dari Mekkah pada 1218/1803: Haji Miskin, Haji Sumanik dan Haji Pio bang. Pcrjalanan ibadah haji mereka bersamaan dengan dikuasainya Mekkah oleh kaum Wahhabi. Karena itu, cukup beralasan jika mereka dianggap dipengaruhi ajaran-ajaran Wahhabi, seperti penentangan terhadap bid'ah, penggunaan tembakau, dan pemakaian baju sutra, yang mereka usahakan pula untuk menyebarkannya secara paksa di wilayah Minangkabau. Tuanku Nan Renceh bersama dengan ketiga haji itu, yang kini dikenal sebagai kaum Padri, memaklumkan jihad melawan kaum Muslim yang tidak mau mengikuti ajaran-ajaran mereka. Akibatnya, perang saudara meletus di tengah masyarakat Minangkabau; surausurau, yang dianggap sebagai kubu-kubu bid'ah, diserang dan dibakar hingga rata dengan tanah, termasuk surau-surau Tuanku Nan Tuo dan Jalal al-Din. Keluarga bangsawan dan para penghulu, yang juga menjadi sasaran utama, segera meminta bantuan Belanda. Dengan campur tangan Belanda, perjuangan Minangkabau untuk pembaruan berubah menjadi Perang Padri melawan Belanda, dan perang itu baru berakhir pada penghujung 1830-an. Adalah di luar jangkauan esai ini untuk membahas ajaran-ajaran kaum Padri dan jalannya kejadian-kejadian seputar Perang Padri. Yang penting untuk kepentingan kita di sini adalah bahwa pembaruan Islam di wilayah Minangkabau, entah yang diprakarsai Tuanku Nan Tuo dan kalangan tarekat maupun yang dilancarkan Tuanku Nan Renceh dan kaum Padri, berawal dari jaringan ulama. Perbedaan dalam pendekatan mereka terhadap pembaruan, damai dan evolusioner di satu pihak dan radikal di pihak lain, mengungkapkan bahwa jalannya pembaruan tidaklah sederhana.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline