Syawalan sebagai Wujud Ketakwaan

Judul "Syawalan sebagai Wujud Ketakwaan" merupakan refleksi dari hadis yang diriwayatkan oleh Imam Hakim dalam kitab Mustadrak. Syawalan sendiri merupakan sebuah acara kumpul keluarga satu simbah, buyut atau canggah. 

Ada masyarakat yang menyebutnya syawalan, ada yang ditambahi menjadi syawalan trah, ada yang menyebutnya halal bi halal, dan sangat mungkin ada yang menyebutnya dengan istilah lain. Inti dari syawalan adalah kembali mempererat tali silaturahim dan saling maaf memaafkan di antara mereka. Acara ini dapat dihadiri oleh keluarga besar trah, keluarga besar tempat bekerja, keluarga besar tempat tinggal, atau yang lainnya. 

Syawalan yang dilakukan itu merupakan wujud dari ketakwaan. Takwa secara bahasa adalah menjadikan diri dalam perlindungan dari hal yang dia takuti (azab Allah). 

Takwa secara syariat sebagaimana disebutkan oleh Raghib Al-Asfahani adalah menjaga diri dari hal-hal yang menyebabkan dosa dengan cara meninggalkan yang dilarang dan hal ini menjadi sempurna dengan meninggalkan sebagian yang mubah. 

Abu Hayyan memaknai takwa adalah kumpulan kebaikan berupa melaksanakan segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya. Kebaikan-kebaikan yang termasuk indikator ketakwaan itu dapat dipahami dari Alquran atau Hadis Nabi Muhammad SAW.

Tradisi syawalan walaupun tidak disebutkan dalam Al-Quran atau hadis secara eksplisit, esensinya disebutkan dalam hadis nabi yang diriwayatkan oleh Imam Hakim dalam kitab Mustadrak. Hadis tersebut berbunyi demikian, 

Dari Usaid bin Ali dari Ubaid Al Sa'idi dari bapaknya sesungguhnya dia mendengar Abu Usaid Malik bin rabiah Al Sa'idi RA berkata ketika kami bersama Rasulullah SAW datang kepada beliau seorang laki-laki dari Bani Salamah kemudian berkata: Wahai Rasulullah SAW apakah tersisa untukku suatu kebaikan untuk kedua orang tuaku yang bisa aku lakukan setelah keduanya meninggal dunia? Rasulullah SAW bersabda: ya, mendoakan keduanya, memohonkan ampun untuk keduanya, melaksanakan janji keduanya,  memuliakan temannya, dan menyambung tali silaturahim yang tidak tersambung kecuali dari jalur keduanya. HR. Al-Hakim dalam Kitab Al-Mustadrak 'ala Al-Sahihain  

Imam Al Hakim, Ibnu hibban, dan Al Dhahabi memandang hadis ini shahih. Namun, Syekh Al-Albani mendhaifkan hadis ini. Berdasarkan penelusuran kami melalui aplikasi Jawami' Al-Kalim, Hadis ini dihukumi Hasan karena adanya syawahid dan tawabi' (penguat). Hal ini dikuatkan dengan beberapa ulama di atas yang mensahihkannya. Selain itu secara matan, hadis ini sama sekali tidak bertentangan dengan esensi ajaran Alquran dan hadis.

Pada bagian akhir dalam hadis tersebut ada dua cara yang dapat kita lakukan sebagai bentuk birrul walidain (berbuat baik kepada orang tua) yang sudah meninggal, yaitu memuliakan temannya dan menyambung tali silaturahim yang tidak tersambung kecuali melalui jalur keduanya. Kedua kebaikan dalam hadis tersebut yang tentu juga termasuk indikator takwa dapat diaplikasikan dalam tradisi syawalan. Oleh karena itulah kami menyampaikan bahwa syawalan itu merupakan wujud dari ketakwaan.