Alkisah terdapat seorang pemuda yang sedang bekerja keras mengangkat batu di pundaknya, pemuda itu merupakan kuli bangunan. Tiba-tiba pemuda tersebut disapa oleh seorang kakek berambut putih, dan berkacamata dengan setangkai tongkat yang dipegang di lengan kirinya. Kakek tersebut bertanya kepada pemuda tadi, "Mengapa dirimu bekerja keras dalam melakukan pekerjaanmu?". Pemuda itu tertegun kepada sang kakek lalu menjawab, "Tentu untuk menjadikan nasib saya lebih baik, Kek". Setelah mendengar jawaban tadi, kakek bertongkat itu pun tersenyum kecut dan meninggalkan pemuda tadi.
Di jalan yang lain, orang tua tersebut bertemu kembali dengan gadis yang sedang memilih pakaian indah di sebuah toko. Lalu sang kakek menghampirinya dan bertanya, "Apa yang sedang kau lakukan wahai gadis manis?", gadis itu menjawab, "Saya sedang memilih gaun indah untuk dipakai saat pelaminan pekan depan kek". Kakek tadi melepas kacamata dan mengusapnya, lalu memandang kembali gadis itu dengan tatapan jernih namun sedih dan memalingkan wajahnya untuk kembali melanjutkan perjalanan. Di tengah perjalanan tiba-tiba kakek itu ditabrak oleh anak paruh baya hingga terjungkal.
Sudah barang tentu si kakek untuk bersabar dan menatap anak itu yang sedang sibuk merapikan ceceran buku yang jatuh. "Nak, mengapa kamu terburu-buru hingga tidak melihat ada orang tua yang berjalan?" tanya kakek dengan lembut. Sembari masih menata buku, anak tadi menjawab, "Maaf Kek, saya terburu-buru untuk ikut les guna menghadapi ujian Senin depan". Lalu tanpa pamitan lebih lanjut anak tadi kembali berlari meninggalkan sang kakek.
Terdengar sahutan adzan dzuhur dari masjid yang tidak terlalu jauh, si kakek menuju masjid tersebut. Setelah kakek tersebut sampai di masjid, ia memandangi suasana di dalam dan sekitar masjid, lalu tertunduk lesu dan mulai mengambil wudhu hingga melakukan sholat berjamaah dengan para jamaah lainnya. Seusai sholat, sang kakek kembali menatap kondisi jamaah, wajah ceria dibalik kerutan kulitnya belum terlihat, lalu ia bergumam, "Mereka masih lupa siapa dirinya dan membuat mereka menjadi pejuang kelabu".
Kisah diatas merupakan kisah seorang kakek yang sedih melihat para generasi muda dalam memprioritaskan aktivitasnya. Sebagai orang Islam, kita paham bahwa hanya ada 1 hal yang pasti terjadi pada diri kita, yakni kematian seperti yang tercantum dalam surat An-Nisa ayat 78 yang artinya, "Di mana saja kamu berada, kematian akan mendapatkan kamu, kendatipun kamu di dalam benteng yang tinggi lagi kokoh."
Dari semua aktivitas yang kita kerjakan, entah itu untuk kesuksesan, untuk meraih presati tertentu, untuk memperjuangkan seseorang, dan lain-lain kita tidak pernah diberikan kejelasan bahwa esok akan benar-benar terjadi seperti yang kita harapkan. Sehingga benar seperti yang tercantum dalam surat Al-Ashr ayat pertama dan kedua yang artinya, "Demi masa.
Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian.". Demi masa dalam surat tersebut yang dimaksud adalah waktu atau umur. Karena umur inilah nikmat besar yang diberikan kepada manusia. Umur ini yang digunakan untuk beribadah kepada Allah. Karena sebab umur, manusia menjadi mulia dan jika Allah menetapkan, ia akan masuk surga.
Saat kita berbicara mengenai umur, maka hal yang pasti dikaitkan adalah umur merupakan hal yang terbatas hingga dihentikan oleh kematian. Sehingga selama kita hidup di dunia, kematian sebagai 1 hal yang sangat pasti terjadi seharusnya menjadi perhatian utama bagi setiap orang Islam di dunia ini. Namun yang terjadi sekarang adalah justru sebaliknya, banyak orang berlomba justru guna meraih sebuah keinginan yang belum pasti atau mudahnya banyak orang memperjuangkan hal yang belum pasti ia dapatkan, namun justru hal yang paling pasti dalam hidupnya justru diabaikan. Dan seperti yang kita ketahui bahwa kematian sebagai hal yang pasti akan menentukan nasib kita di akhirat nanti sebagai tempat yang benar-benar kekal. Dalam sebuah hadits dijelaskan, dari Ibnu 'Umar, ia berkata, "Aku pernah bersama Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, lalu seorang Anshor mendatangi beliau, ia memberi salam dan bertanya, "Wahai Rasulullah, mukmin manakah yang paling baik?" Beliau bersabda, "Yang paling baik akhlaknya." "Lalu mukmin manakah yang paling cerdas?", ia kembali bertanya. Beliau bersabda, "Yang paling banyak mengingat kematian dan yang paling baik dalam mempersiapkan diri untuk alam berikutnya, itulah mereka yang paling cerdas." (HR. Ibnu Majah no. 4259. Hasan kata Syaikh Al Albani).
Hadits itu memberikan pelajaran bagi kita, selain mengingat kematian adalah sebagai bentuk muslim paling cerdas, memprioritaskan hal yang pasti terjadi juga sebuah kebijakan dalam menjalani kehidupan ini.
Umar bin 'Abdul 'Aziz pernah berkata, "Aku tidaklah pernah melihat suatu yang yakin kecuali keyakinan akan kematian. Namun sangat disayangkan, sedikit yang mau mempersiapkan diri menghadapinya." (Tafsir Al Qurthubi). Fokus terhadap hal yang tidak pasti keadaannya, seperti fokus pada hal-hal yang digambarkan sebagai abu-abu. Oleh karena itu terus menjadi pejuang kelabu merupakan hal yang celaka bagi setiap orang Islam karena dia sama sekali tidak mengingat kematian yang pasti datang untuk membawa ke dunia akhirat sebagai dunia abadi tidak fana seperti di dunia.