Tiba-tiba ingatanku tertuju kepada seorang kawan saat duduk di bangku SD tahun 1990 an. Dia bukan anak pemalas. Dia bukan anak yang nakal. Namun, entah mengapa dia sering gagal naik kelas hingga tiga kali.
Memang, terkadang pada musim tertentu dia memilih tak berangkat sekolah, karena lelaki kecil itu lebih memilih menjadi buruh tani: menanam jagung, menanam tembakau, atau palawija di sawah milik tetangga.
Menurut pola pikirku saat aku kecil, yang dilakukan temanku itu wajar, mengingat dia anak dari keluarga yang tidak mampu.
Menjadi buruh tani di usia belia adalah pilihan untuk menyambung hidup, sekaligus upaya mencari uang untuk biaya pendidikan dan membeli peralatan sekolah.
Ayah dan ibunya pekerja serabutan. Lebih sering mencari kayu bakar yang biasa dijual di pasar desa dua kali dalam sepekan. Itupun dengan hasil uang yang tak seberapa, sekadar mencukupi kebutuhan perut sekeluarga.
Tentu bukan karena alasan dia meninggalkan bangku sekolah karena menjadi buruh tani menjadi sebab dia sering tidak naik kelas.
Kami adalah anak pedesaan di Kabupaten Grobogan. Tahun 1990 an masih lumrah penduduk desa menggunakan kayu bakar dan tungku untuk memasak.
Kembali tentang temanku itu, seingatku dia menjadi teman sekelasku saat kami kelas 6 SD. Orangnya berbadan lebih bongsor ketimbang teman sekelas. Wajar, karena dia berusia lebih tua 3 tahun dari kami teman sekelasnya.
Aku tak begitu dekat dengannya pada awal tahun ajaran baru. Barulah pada catur wulan kedua dia sebangku denganku.
Keanehan terjadi ketika kuperhatikan buku tulisnya. Kulihat tulisan tangan di bukunya amburadul dan tidak bisa dibaca. Susunan hurufnya kacau dan disingkat-singkat tidak jelas.