Lihat ke Halaman Asli

Miftahul Abrori

Menjadi petani di sawah kalimat

Cerbung | Kemarau Sang Perawan (Part 2)

Diperbarui: 4 Februari 2020   19:00

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi: collage of pixabay

Perdebatan sengit terjadi. Padahal, rembug warga di Balai Desa baru berjalan setengah jam. Ini kali pertama rapat digelar membahas rencana pembangunan pabrik semen di bukit Sigit. 

Cerita Sebelumnya:

Kemarau Sang Perawan Part 1

Prasetyo menghadiri undangan rapat mewakili ayahnya. 

Kepala Desa Karmin memimpin rapat. Ia mengatakan bahwa proyek tersebut bertujuan menyejahterakan perekonomian warga sekitar. 

Jika proyek berjalan, maka sudah tentu menyerap tenaga kerja dari warga. Sehingga, para pemuda tak perlu mengais rezeki di kota. 

Selama ini banyak pemuda-pemudi bekerja sebagai kuli bangunan, kuli pabrik, dan pembantu rumah tangga di kota--kota besar. 

"Kecuali itu, jika dibangun pabrik semen maka pendapatan desa tentu juga meningkat," kata Karmin. 

Maryadi, Ketua Kelompok Tani protes cukup lantang.

"Saya tetap tidak setuju. Coba kita pikir dampak setelah bukit Sigit dijadikan prabrik. Saya tahu persis nasib petani dan warga seperti apa. Apalagi jarak Sigit dengan permukiman warga terlalu dekat. Saya khawatir nantinya terjadi bencana alam dan kakeringan. 

Hutan adalah sumber cadangan air. Sawah adalah sumber kehidupan. Sekarang saja kita kesulitan air bersih. Saya tidak bisa membayangkan jika pabrik semen dibangun, kita bakal lebih susah mencari air," ungkap Maryadi. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline