Lihat ke Halaman Asli

Miftahul Abrori

Menjadi petani di sawah kalimat

Cerpen | Sungai Klampis

Diperbarui: 28 Januari 2020   10:53

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi: https://hachi.ilearning.me/2015/04/03/filsafat-sungai/

Rohana menunduk tak berani memandang dan menjawab pertanyaan Wangsit. Hati Wangsit bertambah perih ketika memandang perut Rohana sudah membuncit, hamil beberapa bulan.

"Aku terpaksa."

"Menikah dengan orang lain dan mengkhianatiku, kau bilang terpaksa?"

Mata Wangsit menatap redup. Ia melihat genangan air kedung atau danau kecil di hamparan sungai Klampis. Tatapannya tertuju pada seorang gadis yang mencuci setumpuk pakaian di pinggir kedung.

Wanita yang diam-diam menjalin kisah dengannya itu tampak duduk di sebongkah batu. Jari mungilnya mulai mengucek pakaian yang sudah dilumuri sabun colek. 

Lelaki kurus itu bersandar di pohon klampis yang berada tak jauh dari sungai. Pohon yang batangnya dipenuhi duri-duri tajam itu besarnya tiga rangkulan lelaki dewasa. Daunnya mulai berguguran menahan panas mentari. Wangsit melambaikan tangan disambut lambaian tangan dan senyuman sang kekasih yang teramat manis. 

Sungai Klampis atau warga desa biasa menyebut kali Klampis, seakan menjadi saksi bagi muara kisah mereka. Di sungai itu pertama kali ia mengenal wanita yang telah direncanakan menjadi istri. Dua tahun lalu kemarau panjang, ia melihat wanita itu mencari air di belik, sebuah sumur yang berkedalaman satu hingga dua meter. 

Di Tawangsari, sebuah desa di Grobogan, kemarau seakan menjadi bencana yang tak pernah dikeluhkan warga desa. Mereka tak terlalu berharap kepada pemerintah kabupaten untuk mengirim tangki-tangki air. Toh, meski bukan termasuk daerah pelosok, bantuan air dari pemerintah tak pernah sampai di desa itu. 

"Tahu kenapa kali ini dinamakan kali klampis?" tanya Rohana, nama perempuan itu suatu hari

"Mungkin karena ada pohon klampis di tepi sungai ini," jawab Wangsit. 

Rohana mengangguk. "Kata kakekku, dulu hampir di sepanjang sungai yang membelah empat kampung ini terdapat pohon klampis yang berjajar. Jumlahnya mencapai puluhan," Rohana mulai mendongeng. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline