Lihat ke Halaman Asli

Miftahul Abrori

Menjadi petani di sawah kalimat

Ratih Kumala, Bandung Mawardi, dan Curhatan Penulis Pemula

Diperbarui: 15 Januari 2020   07:25

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi: U-Report

Karya dan Nama Besar Bukan Karena Komunitas

"Aku menulis dengan baik karena aku sendiri yang memutuskan untuk banyak belajar dan menulis dengan lebih baik lagi. Bukan karena komunitas. Berkomunitas memang perlu, tetapi bukan yang paling penting -terutama jika cita-citamu ingin jadi penulis" (Ratih Kumala -Novelis)

Kalimat  di atas merupakan petikan balasan email dari Ratih Kumala, September 2007, saat saya menanyakan lewat email kepada penulis novel Tabula Rasa itu tentang ada atau tidak komunitas sastra di Solo yang mumpuni. 

Saya rasa perlu membahas email tersebut sebelum saya bercerita tentang komunitas Thariqat Sastra Sapu Jagad, sebuah komunitas kecil di Pesantren Al-Muayyad Solo yang pernah saya dirikan.

Mulanya saya menemukan sebuah cerpen Ratih di Horisan dan ketika membaca biodatanya agak kaget ternyata Ratih adalah penulis yang pernah berkreatifitas  di Solo sembari kuliah di UNS Solo. Saya menyempatkan mampir di websitenya (www.ratihkumala.com). 

Ratih Kumala, Novelis yang pernah berkreatifitas di komunitas-komunitas sastra di Solo. Foto: Ratihkumala.com

Waktu itu saya tak mengenal satupun penulis yang lahir, berdomilisi atau pernah berkreatifitas di Solo, kecuali nama-nama penulis senior yang buku-bukunya saya baca, semisal Rendra, Sapardi Djoko Damono, dan Arswendo Atmowiloto. Mungkin lebih karena kebodohan saya yang tak bersosialisasi dan saat itu yang masih polos dan lugu di dunia sastra di Solo.

Foto: Miftahul Abrori

Ratih memukul telak pertanyaan saya."Komunitas penulis di Solo yang mumpuni ya? Itu bikin aku mikir, dan bikin aku bertanya-tanya: apa kamu ingin komunitas yang membesarkanmu? Kalau iya, aku pikir jalan pikiranmu salah," tambah Ratih di emailnya.

Foto: Miftahul Abrori

Email tersebut masih saya simpan sampai sekarang dan untuk sekadar membalas ulang, saya masih belum berani, hingga sekarang. Saat itu saya baru lulus dari bangku Madrasah Aliyah. 

Yang ada di pikiran saya waktu itu adalah menemu kawan yang mempunyai minat yang sama dalam dunia menulis. Istri penulis Eka Kurniawan itu mengatakan pernah belajar menulis di berbagai komunitas: AKY, Bumi Manusia, MejaBolong, Sketsakata, yang kesemuanya komunitas kecil di Solo. 

Di komunitas tersebut Ratih berproses menjadi penulis. Sebab menurutnya di dalam sebuah komunitas, sekecil apa pun, selalu menyelipkan satu idealisme yang ingin mereka tanamkan pada anggotanya.

Saya merasa "sendiri" ketika memutuskan menulis. Meski belum pantas disebut penulis mengingat hanya sedikit tulisan yang saya hasilkan. Berawal dari pernyataan Ratih tersebut saya benar-benar tak ingin gabung di komunitas apapun (saat itu), karena di awal pikiran saya dengan ikut sebuah komunitas maka kesempatan menjadi cerpenis, dan menerbitkan buku menjadi jalan yang mudah. Saya ingin cepat besar. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline