Beberapa media jurnalisme di Indonesia masih kurang peka dan peduli terhadap perasaan pedih yang dialami korban kekerasan seksual. Kronologi kejadian menjurus cabul masih menjadi daya ungkap berita. Media massa secara blak-blakan menulis tanpa memikirkan kondisi korban yang seringkali masih trauma.
Begitu pula saat memberitakan peristiwa hubungan intim, entah persetubuhan terlarang atau kekerasan seksual. Kasus persetubuhan terlarang meliputi perselingkuhan, razia prostitusi, hubungan sejenis, video mesum dibumbui kata "viral", pelajar mesum di taman, dan sebagainya. Kekerasan seksual meliputi pelecehan seksual, pencabulan, hingga pemerkosaan dan lainnya.
Terkait kasus pemerkosaan berantai yang dilakukan Reynhard Sinaga, mahasiswa S-3 asal Indonesia di Inggris ada beberapa media menurunkan tulisan tak bermutu. Tindakan kriminal Reynhard Sinaga memang mengguncang dunia internasional. Ia disinyalir melakukan 190 pemerkosaan berantai terhadap laki-laki di Inggris.
Media di Inggris menyebut Kasus Reynhard Sinaga termasuk peristiwa tersadis dan terbesar dalam sejarah kriminal pemerkosaan di Inggris. Lalu apa saja yang ditulis oleh beberapa media di Indonesia, terlebih media online? Silakan lakukan penelusuran di google, Anda akan tercengang.
Ada media menulis judul, Penampakan "Sarang" Reynhard Sinaga, Tempatnya Memperkosa Para Korban, Ada Noda Merah di Pintu Flat." Judul macam apa ini? Tak kalah mengerikan berita berjudul " Chat WA Mengerikan Reynhar Sinaga, Sebar Foto Korban dalam Kondisi Begini."
Media kerap membuat berita tanpa memikirkan kondisi psikologis korban. Sama halnya kasus lain, persetubuhan terlarang dan kekerasan seksual di Indonesia, banyak media mengumbar kepedihan para korban tanpa rasa empati dan simpati.
Media mengungkap kronologi kejadian pemerkosaan secara gamblang. Esensi kriminal justru tak kentara. Media mengeksploitasi kepedihan korban dalam berita berjudul "Kisah Pilu Gadis Diperkosa Pemuda bla,bla, bla." Cerita Nahas ABG di Kota xxx Diperkosa Ayah Kandung dan Paman.", "Siswi SMP di Kota xxx Diperkosa 7 Pria Bergiliran."
Komisioner Komnas Perempuan, Mariana Amiruddin pernah menyentil media massa di Indonesia yang memberitakan kasus-kasus perkosaan. Mariana menyimpulkan media masih menempatkan wanita sebagai objek bukan subjek pemberitaan. (Tirto.id, 17 Mei 2019).
Penulis sependapat dengan Mariana. Contoh beberapa judul di atas adalah bukti korban perkosaan masih menjadi objek penderitaan dalam pemberitaan. Tak jarang media/ wartawan menulis kronologi berita dengan sangat vulgar dan cenderung cabul.
Padahal jika menganut Kode Etik Jurnalistik Pasal 4 disebutkan Wartawan Indonesia tidak membuat berita bohong, fitnah, sadis, dan cabul. Dalam poin (d) dijelaskan: cabul berarti penggambaran tingkah laku secara erotis dengan foto, gambar, suara, grafis, atau tulisan yang semara-mat untuk membangkitkan nafsu birahi.
Barangkali media massa tak bermaksud membuat berita yang erotis, tapi faktanya berbeda. Terlihat media mengeksploitasi korban. Itu terbaca dari isi berita yang diwartakan. (Miv)