Lihat ke Halaman Asli

miftachul huda

rajin pangkal pandir

Ibu dan Sehelai Rambut yang Tertinggal

Diperbarui: 24 Desember 2020   11:57

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

sumber foto bogornews.com

Rabu 15 April itu sangat cerah. Alam menunaikan tugasnya seperti biasa, angin menghembuskan dahan-dahan, matahari menghangatkan sore, dan burung-burung cukup cerewet memberi pesan jika sebentar lagi langit menjemput senja.

Namun bunyi telepon di seberang sana seolah membuat kacau tugas-tugas alam. Sore malas merangkak menjadi malam, kicauan burung membuat bising dan meneror telinga, dan senja makin menampakkan kemurungannya.

"ibu harus dirujuk ke rumah sakit," bunyi dari seberang telepon itu menjadi perintah jika aku harus cepat menutup laptop dan mengakhiri pekerjaanku. Ingin rasanya aku meringkus jarak yang terbentang dari Surabaya menuju sebuah kota kecil di Jawa Tengah agar lekas sampai di kota di mana Kartini disemayamkan itu.  

Kondisi jalan yang seperti kerumunan semut menyerbu bangkai cicak memperlambat laju jalan kendaraan umum yang saya tumpangi. Ingin rasanya turun dan memaki deretan mobil-mobil keluaran terbaru dengan satu-dua penumpang di dalamnya yang membuat sesak jalanan kota seribu pahlawan ini.  

Ya, kota di mana saja tak segan menampakkan wajah aslinya, santun dan bengis dalam waktu bersamaan, dan itu bisa dilihat dari kondisi jalan rayanya. Lampu traffic light, jalur khusus roda dua, hingga garis lurus bercorak putih kadang tak ada artinya, semua ditrabas semua ditebas.

Ah, lamunanku tentang kota dan kehidupan yang mengikutinya sekilas membuyarkan ingatanku tentang ibu yang sedang dirawat di rumah sakit. Bus yang saya tumpangi akhirnya bisa keluar dari kota. Kendaraan melaju dengan tenang, sopir bebas bermanuver, kadang zigzag. Kondisi jalur pantura selepas pukul sembilan malam seketika menjadi sirkuit Monte Carlo. Semua kendaraan saling berpacu.

Empat jam perjalanan tak sedikit pun bisa terlelap, semua pikiran terbawa ke rumah sakit. Akhirnya waktu sudah menunjukkan pukul sebelas malam, saya tiba di rumah sakit. Layaknya kondisi rumah sakit milik pemerintah, sunyi dan murung banyak menghiasi setiap sudutnya.

Inilah waktu yang saya tunggu, bertemu dengan pujaan hati, belahan jiwa yang dari rahimnya aku besar dan bertumbuh: ibu. Pada sebuah ruang kamar kelas dua saya masuk, di depanku ibuku sedang terlelap dengan infus di tangan kanan, dan kipas di tangan kiri yang dengannya diusir hawa panas khas rumah sakit dengan kelas murah.  

Sebelum mencium tangannya, saya pandangi wajahnya barang 1 menit. Wajahnya tenang tak tergesa, aura kesahajaannya makin tebal setelah 56 tahun banyak berkalang dengan urusan ketiga putra putrinya dan semua yang terkait rumah tangga.

Kehadiranku ternyata mampu membangunkannya, aku yakin ada ikatan emosional tak tertulis jika darah dagingnya menemuinya hingga membuat terbangun.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline