Lihat ke Halaman Asli

Miftah Safitri

Seorang manusia yang ingin menjelajahi dunia

Pedagang Asongan dan Sebuah Perdebatan

Diperbarui: 2 Juli 2018   11:40

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Karya: Miftah El Rahma

Hujan masih terus bergerilya merayakan kekuasaanya untuk membasahi bumi. Memadamkan api yang menyulut dalam jiwa-jiwa yang sedang dilanda kobaran amarah. Aroma tanah yang khas di kala hujan turun memenuhi isi ruang tamu di mana aku duduk di sebuah kursi persidangan dengan berhakimkan seorang pria paruh baya duduk di depanku dengan kumisnya yang lebat dan wajah yang buram penuh amarah.

Aku hanya duduk termenung menunggu bibir ayah untuk berucap dan menghujani pernyataan-pernyataan yang membuat muak dan bingung. Ia memaksaku untuk menuruti keinginannya yaitu memasuki dunia perkuliahan dan perhelatannya. Tak ada secangkir kopi maupun teh di antara perbincangan kami. Aku tak pernah duduk berdua bersama ayah dan membicarakan hal serius sebelumnya. Sedangkan diluar sana hujan masih terus mengguyur tak menghiraukanku yang sedang dilanda bingung, cemas, dan marah ini.

"Kamu harus kuliah, apapun alasanmu yang tak mau kuliah. Ayah akan tetap mengirimmu ke Yogyakarta untuk kuliah", serunya dengan nada agak meninggi.

"Tapi aku ingin langsung bekerja ayah, aku ingin punya penghasilan sendiri dari hasil keringatku. Aku iri dengan teman-temanku yang dapat menikmati penghasilan dan jalan-jalan dengan uangnya sendiri!", otot-otot ditenggorokanku mulai menjalari leherku dan bibir mungilku dengan berani berbicara dengan nada tak sopan pada ayah yang di depanku terus melototiku untuk menuruti keinginannya.

"Kamu masih terlalu kecil untuk bekerja, kamu tidak tahu seperti apa dunia kerja itu. Keras! Di zaman sekarang ijazah SMA sama halnya ijazah SD an, kuliah akan membuatmu membuka cakrawalamu lebih luas", terang ayah padaku dengan nada sedikit lembut dengan raut muka yang hangat.

Aku masih terdiam. Berpikir harus bagaimanakah diri ini selanjutnya? Apakah kuliah menuruti kemauan ayah?atau bekerja di pabrik di sekitar rumahku untuk membantu ayah?rasa marah, bingung masih bergemelut dipikiranku.Sementara dapat kuamati ayah dari rona wajahnya yang mulai membentuk garis-garis penuaan merasa kecewa dengan keputusanku untuk tak melanjutkan studi. Mungkin ia merasa sedih karna tak mampu membimbing anaknya untuk lebih baik.

Hujan mulai silih berganti dengan rintik-rintik gerimis. Mataku menerawang keluar jendela yang terpasang di ruang tamu. Aku mendapati  seorang pedagang asongan tua. Bajunya berwarna biru muda terlihat lusuh tidak disetrika sedangkan celana hitam yang dikenakan warnanya mulai memudar. Ia basah kuyup, rambut yang berwarna putih juga terlihat basah. Ku amati ia sedang berhenti di pelataran rumah. 

Mungkin ia ingin istirahat sebentar karena kedinginan disebabkan hujan tadi. Ayah meninggalkanku begitu saja di tengah ia sedang mengadiliku dengan melontarkan beberapa hujatan yang sedikit tapi mengena di hati dan aku tak memperdulikan perkataan ayah yang baru saja terjadi denganku.

Aku hanya mengamati pak tua itu dari jauh. Tapi hatiku perlahan mulai terketuk untuk mendekati pak tua pedagang asongan itu. Aku melangkah gontai dengan pikiran semrawut tak karuan.

"Jualan apa ini pak?", tanyaku seraya mengamati setiap lekuk wajah pak tua itu. gambaran lingkaran hitam di bawah mata tampak begitu jelas dan wajahnya yang mulai bergelambir diwarnai titik hitam membuat hatiku tersentuh melihatnya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline