Lihat ke Halaman Asli

Bersepeda Mencintai Kyoto

Diperbarui: 24 Juni 2015   02:21

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

13909843072081097507

Anda suka bersepeda? Mungkin diantara kita ada yang menjadi anggota komunitas Bike to Work, yang beberapa tahun belakangan ini mulai banyak peminatnya. Sebelum komunitas lari marathon yang mulai menjamur dengan berbagai perlombaan, para bikers telah lebih dulu mengayuh sepedanya mulai dari pinggiran Bekasi, Bogor, Depok dan Tangerang berkumpul pada satu tujuan, Jalan Jenderal Sudirman.

Jika anda suka bersepeda, tetapi masih khawatir dengan jalanan Jakarta yang rawan kecelakaan, tidak bersahabat bagi pengguna sepeda, dan penuh dengan polusi yang mengganggu pernapasan, saya punya solusinya…. Anda harus merasakan apa yang saya rasakan, bagaimana mengayuh sepeda anda menikmati kota Kyoto… ya Kyoto, Ibukota lama Jepang zaman Edo.   Kyoto  berada di Lembah  Yamashiro. dikelilingi oleh tiga buah gunung, yaitu Higashiyama, Kitayama, dan Nishiyama dengan ketinggian sekitar 1000 m di atas permukaan laut, membuat kota ini mempunyai udara yang segar,  layak untuk dijelajahi dengan sepeda. Kyoto, dengan ribuan kuil Shinto dan budha yang masih terjaga kelestariannya, sangat berbeda situasinya dengan Tokyo yang penuh hiruk pikuk orang dengan keperluannya masing masing. Bagi saya, Kyoto adalah paduan romantisme Paris, kultur budaya Jogja, dan kesegaran Alam Canberra.  Saya seolah kembali ke zaman sesaat sebelum restorasi Meiji yang digambarkan dalam serial Samurai X.  saya ingin menjelajahi tiap sudut kotanya dengan cara yang berbeda, bukan dengan naik turun stasiun kereta Japan railway seperti di Tokyo, tetapi dengan sepeda. Tentunya bukan karena mau irit uang ya,  dari Tokyo ke Kyoto saya masih naik Shinkansen loh, lebih mahal dari tiket pesawat Tokyo-kyoto, kalau di rupiahkan sekitar 1,3 juta rupiah. Tetapi layak untuk dicoba, dengan jarak yang Tokyo-Kyoto sejauh 476 KM, dapat ditempuh dengan waktu 2 jam 15 menit. Layak untuk dicoba.

1390984502297451533

Perjalanan bersepeda saya  ditemani sahabat saya (versi jujurnya sebenarnya saya yg menemani dia lari.. dari kenyataan hidup, karena baru putus cinta, hahaha) dimulai dengan menyewa sepeda di tempat penginapan di J-Hopper Kyoto Guest House, 51-2, Nakagoryo-cho, Higashikujo, Minami-ku, Kyoto. Sewa sepeda disana tarifnya 500 yen sehari, setara dengan 50 ribu rupiah. Lumayan murah dan sehat. Sepeda yang didapat kira kira seperti sepeda jengki jaman belanda, dengan keranjang di depan. kemana rutenya? Sebenarnya kalau mau arah yang tepat, kita bisa melihat peta canggih di  web bersepada di Kyoto www.cyclekyoto.com, petunjuk arah yang jelas dan berbagai destinasi wisata sudah terpapar lengkap disana. Tetapi kami tidak melakukan itu. Just enjoy the show, go flow saja, kalau ada tempat menarik, bisa berhenti, parkir sepeda di tempat yang sudah disediakan. Kami berangkat dari tempat menginap sekitar pukul 9 pagi waktu setempat. [caption id="attachment_292770" align="aligncenter" width="150" caption="sahabat saya, ai di jalanan kyoto"]

1390984594788166555

[/caption] Jalanan untuk sepeda lebar dan bagus. Lebarnya kira-kira seperti jalur tikus di Jakarta yang dipakai untuk dua jalur mobil yang pepesan sambil menghela napas panjang, takut keserempet mobil lain, sementara asuransi mobil sudah habis masa berlakunya. Jangan khawatir jika ada persimpangan jalan, setiap pengguna jalan, baik dari mobil, sepeda sampai pejalan kaki mendapat giliran pada lampu merah. Ah, kapan ya Jakarta bisa seperti ini… Setelah melewati beberapa titik lampu merah, kami mendapati bangunan megah, dan memutuskan untuk berhenti sejenak, ternyata bangunan itu adalah Nijo-Jo atau kastil Nijo.  Kastil Nijo ini adalah kompleks kastil yang dibangun bersama oleh para penguasa tanah di Jepang atas perintah Ieyasu Tokugawa (Shogun pertama sekaligus pendiri keshogunan Tokugawa) untuk tempat tinggal sekaligus kantor Shogun ketika sang Shogun berada di Kyoto. Well, bagi anda pencinta sejarah, tempat ini sangat layak untuk dikunjungi, seperti museum dengan cerita yang sangat detail termasuk tiap sudut bangunan dengan kegunaannya plus patung patung orang yang menggambarkan zaman Tokugawa. Tapi saya lebih tertarik ke toko-toko penjual souvenir dan berbagai jenis makanan menarik yang dijual disana. Perjalanan kami berlanjut. Kayuhan sepeda masih terasa ringan, belum ada tanda tanda keletihan. Kali ini kami menentukan perjalanan. dari brosur tourism yang kami dapatkan di Nijo-jo,  kami tertarik melihat Gin-kakuji (kuil emas) yang menurut peta tidak terlalu jauh dari Nijo-jo.  Kinkaku-ji memang bangunan berlapis emas. Seluruh bagian dinding dua lantai teratas Kinkaku-ji dilapisi dengan lempengan emas murni. Mirip mirip monas lah, sama-sama dari emas. Kuil ini dikelilingi oleh danau.  Beruntung kami datang kesana sewaktu musim gugur, jadi pemandangan kuil dengan danau tadi masih ditambah ikut dengan pepohonan yang menjadi tiga warna, hijau, kuning dan merah. Ah, sayang sekali, perjalanan kali ini sama sohib, coba kalau bawa wanita special yg sedang diincar, melamar disini rasanya akan diterima ya….   Di salah satu bangunan kuil terdapat sumur besar yang ada lonceng diatasnya. Disana orang orang membunyikan lonceng dan berdoa. Saya ikut membunyikan lonceng, kira kira doa saya adalah : Ya Tuhan, temukanlah jodohku segera… rupanya keajaiban lonceng belum terjadi… sampai dengan saya menulis perjalanan ini.  oh ya, disana juga dijual berbagai jenis jimat, kegunaannya pun berbeda tiap jimat, ada jimat untuk lucky charm, mencari jodoh, kemakmuran, sampai ke kesehatan. Mungkin ini yg menginspirasi dodol garut ya, chocodol, dodol coklat enteng jodoh, anti miskin, dan murah rejeki. Hal yang paling menyebalkan ketika bersepeda adalah hujan. Kecuali anda ingin bersepeda hujan-hujanan, siapa tau bisa jadi alternative film India, menari di tengah hujan, mengelilingi pohon. Jadilah setiap turun hujan kami terpaksa menepi. Sewaktu siang hujan, kami pun menepi sambil mencari makan.  Kali ini menu makan siang kami sangat special, yaitu makanan seven elevaaaaaaan aka 7-elevan aka seppel. Jangan bayangkan seppel di Kyoto seperti di Indonesia yang penuh dengan anak muda nongkrong, wifi gratis dengan bangku bangku santai. Seppel disini kira kira sama seperti indomart standar. kami memesan ikan yang dipanggang di microwave, dan rebusan bakso seafood, well, di Jakarta juga banyak sekarang. Concern utama bukan masalah harga, tetapi karena faktor kehalalan. Kami tidak berani masuk ke restoran, karena setiap ditanya: ano, poruku ja nai? , kira2 disini ada daging babi kah?, setiap restoran rata2 memang ada menu porknya. Selepas makan siang dan hujan sudah reda, kami pun melanjutkan perjalanan. suasana masih menyenangkan, hanya saja bokong sudah mulai nyeri dan betis pun sudah agak ketarik. Baru beberapa blok kami berjalan, semua kendaraan berhenti. Semua pengendara motor dan sepeda pun turun dari kendaraannya. Ah, ternyata ada pangeran jepang lewat di salah satu Jalan Kyoto. Semua penduduk pun member hormat, bungkuk ke depan. setelah pangeran lewat, suasana jalanan pun kembali lancar seperti semula.  Ayuhan sepeda kami arahkan menuju Ginkakuji, atau kuil perak. sama dengan Kinkakuji yang juga merupakan salah satu kuil Zen. Keduanya memiliki pertalian yang erat karena sama-sama dibangun oleh keluarga Shogun Ashikaga. Ginkakuji dibangun oleh Ashikaga Yoshimasa yang terinspirasi oleh kakeknya yang telah membangun Kinkakuji. Bila Kinkakuji dijuluki Golden Pavilion maka Ginkakuji dinamai Silver Pavilion walaupun pavilionnya sendiri tidak dicat warna perak. Yoshimasa memang berkeinginan menutupi bangunan ini dengan warna perak namun sayang sampai akhir hayatnya hal tersebut tidak perrnah terwujud. Nama ini juga muncul konon karena sinar bulan yang memancar ke pavilionnya berwarna keperakan akibat pernis hitam yang dahulu menjadi warna dominan bangunan ini.  taman pasirnya yang terkenal dengan nama “Sea of Silver Sand”. Pasirnya digaruk dengan presisi yang sempurna. Konon menggaruk pasir dan kerikil ini memang dipraktekkan secara terus menerus oleh para biksu Zen untuk meningkatkan daya konsentrasi mereka. Yang menjadi highlight dari taman pasir ini adalah gundukan berbentuk kerucut yang dipadatkan dengan sangat ahli untuk melambangkan Gunung Fuji.  tapi dari segala keunikan di Ginkakuji sana, yang paling saya sukai adalah Toiletnya, bangunan boleh tua, tapi toiletnya super modern dan bersih. Waktu itu musim gugur, tidak terlalu dingin sih, hanya kira kira 11 derajat celcius, dan toilet pintar ini ketika anda duduk akan menghantarkan suhu hangat disekitar bokong anda, nyaman bukan?  Lalu ada tombol untuk memancarkan air ke bokong, sampai tombol untuk mengeluarkan suara suara gemericik air, serasa di sungai, hahaha. [caption id="attachment_292775" align="aligncenter" width="150" caption="ofuro, tradisi jepang yg banyak di Kyoto"]

13909848881153845595

[/caption] Petang menjelang, kami menuju tujuan akhir yaitu Kiyamizu Dera,  sebuah kuil Buddha yang berdiri di atas tumpukan pilar-pilar besar di daerah perbukitan Higashiyama, jadi lumayan pegel juga sih mengayuh sepeda menanjak untuk mencapai kompleks Kiyomizu-dera. Di dalam kompleks Kiyomizu-dera, bukan hanya kuil Buddha saja yang ada melainkan bisa ditemukan juga Jinja (kuil Shinto) seperti misalnya Jishu-jinja yang di dalamnya terdapat sepasang batu peramal cinta (Koi Uranai no Ishi). Kabarnya, barang siapa dapat berjalan dari satu batu ke batu lainnya dengan mata tertutup dan dibimbing panduan suara kekasihnya, maka jodohnya akan terkabul.  Ada satu spot di kuil ini yang bisa melihat sudut kota Kyoto dari ketinggian. sangat disayangkan untuk dilewati.  Ada sumur untuk meminum air suci disana, saya juga mencoba nya, daripada beli air minum di 7 elevan, lebih baik disini, gratis. Setelah maghrib, kami turun dari kiyamizu dera, menyusuri pertokoan di turunan bukit dengan pernak pernik souvenir tradisional jepang.  Pada salah satu toko kami melihat  tiga orang geisha yang sedang bersiap. Mungkin saja mereka akan pergi ke  district Gion, tempat para Geisha menghibur di restoran restoran.  Menuruni bukit dan membayangkan masih mengayuh sepeda untuk pulang ke penginapan rasanya seperti menanggung beban 230 juta penduduk Indonesia, beraaaaaat. [caption id="attachment_292772" align="aligncenter" width="150" caption="berfoto bersama geisha"]

13909847362080332141

[/caption] Tetapi ternyata kami mendapatkan energy booster, kami bertemu rombongan oma opa dari Indonesia. mereka ikut tour pensiunan ke Jepang. Salah seorang diantara mereka berkata: “pakai tour apa?” , “jalan sendiri aja pak,” “loh, kok bisa, emang ngerti bahasa jepang?” “kemaren sih sempet kursus pak, tapi sampai sini ga ngaruh jg, masih basic sih..” “ngga nyasar?” “ya sering pak, namanya baru pertama kali, tapi itu enaknya jalan jalan, nikmati aja, hehe” “hebat kalian !!” dan bapak itu cerita ke teman2 oma opanya tentang perjalanan heroic kami, hahaha. Dari situ perjalanan pulang ke penginapan terasa….. tetep pegel sih, tapi puas… .. perjalanan kami jadi lebih berkesan.  Saya langsung jatuh cinta dengan Kyoto. [caption id="attachment_292773" align="aligncenter" width="150" caption="indonesian, australian, canadian"]

139098480676630704

[/caption] ==============================================================================

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline