Lihat ke Halaman Asli

12 Years a Slave (Bukan Resensi)

Diperbarui: 24 Juni 2015   01:43

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hiburan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Sebelumnya, mari kita baca dulu resensi film ini:

Solomon Northup adalah seorang pria kulit hitam yang hidup bebas ditengah era perbudakan tahun 1840-an. Suatu hari kehidupannya berubah drastis. Solomon diculik dari keluarganya, direnggut kebebasannya, dan dipaksa menerima status Budak oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab. Sebuah kisah nyata yang mengharukan.

Enggak ada petir gak ada hujan. Entah apa yang terbayang di pikiran Solomon Northup (Chiwetel Ejiofor), harus menghabiskan 12 tahun hidupnya menjadi budak. Budak yang disiksa, dan dipaksa kerja melayani tuannya layaknya hewan. Harus bekerja keras dengan hinaan dan cercaan yang didapat setiap hari.

Solomon Northup tinggal damai dan nyaman bersama keluarga kecilnya di Saratoga Springs New York. Seorang istri dan dua orang anak menemani keseharian Solomon. Sebagai seorang tukang kayu dan ahli biola, Solomon memiliki kehidupan yang lebih dari cukup. Apalagi statusnya sebagai seorang kulit hitam yang bebas membuat ia memiliki banyak kolega dan dihormati. Kepiawaiannya memainkan alat musik menarik perhatian dua orang asing, yang menawarkan sebuah pekerjaan singkat dengan bayaran lumayan. Tertarik, Solomon mengikuti kedua orang dan menyelesaikan kerjasama yang diberikan. Apa daya, rupanya kedua orang asing ini memiliki niat jahat lain, Solomon dibius, dan disekap dalam sebuah ruangan. Solomon yang masih bingung dengan apa yang terjadi, dipaksa menggunakan nama “Platt” dan dihajar agar mau mengaku sebagai seorang budak yang kabur. Solomon memilih mengikuti apa yang terjadi, lebih baik selamat daripada harus mati konyol disini, karena pasti ada jalan untuk kabur. Ternyata enggak semudah yang dipikirkan Solomon. Ia harus menjalani sebuah kisah yang cukup panjang..

(resensi dari  Halopop.com)

Saya baru saja menonton film ini. betul memang apa yang dikatakan resensi diatas, film ini sangat tidak nyaman untuk ditonton bersama keluarga. Penuh dengan adegan kekerasan seperti cambuk sampai daging mengelupas, tamparan, tonjokan bogem dimata, sampai pemerkosaan tuan kepada budaknya. Tetapi ini adalah kisah nyata, hanya secuil cerita dari sejarah kelam dunia. Zaman dulu betapa bangsa kulit putih pernah menindas kulit berwarna (mungkin sampai sekarang juga masih, dalam wujud lain), betapa dengan pongahnya bangsa kulit putih yang menganggap kulit hitam tidak lebih tinggi derajatnya dari binatang ternak milik mereka. Bahkan, mereka dengan beraninya menggunakan alkitab (bible) yang dikutip sebagian dan dilebih lebihkan untuk menakut-nakuti budaknya untuk kepentingan mereka.

Ah, risihnya saya ketika menyadari bahwa sisa-sisa perbudakan itu masih ada disini, dimana bangsa kulit putih lebih dihargai. Mereka yang tampan dan cantik itu menjadi trend setter. Standar kecantikan diukur dari putihnya seseorang, (saya pun juga terpengaruh –isme tersebut). Menyebalkan lagi ketika para bule-bule ini diberi gaji selangit, untuk pekerjaan yang biasa saja di negeri ini. yang orang Indonesia pun banyak yang menguasainya. Saya punya beberapa kenalan, ada satu kenalan bule yg dipercaya satu perusahaan ex produsen rokok, yang sekarang sudah insaf, ingin mendirikan kampus. Bule ini ditugasi menset-up kampus baru. Experienced? Nope, umurnya baru 25 tahun, baru lulus S1, baru Kerja, dan tidak ada pengalaman di dunia universitas, berapa gajinya? Yaaah, Cuma Rp 25 juta sebulan.  Ada lagi contoh bule muda juga yang baru lulus sekolah bisnis di China, sudah ditugasi menjadi regional manager Indonesia untuk salah satu perusahaan kosmetik Eropa Utara yg banyak agent penjualnya ibu rumah tangga. Apa kerjanya? Hampir tiap malam dugem dan ngebar, gajinya? Beti-beti lah sama yg diatas, ditambah fasilitas apartemen mewah daerah gatot subroto, dan mobil antar jemput.

Well, tidak semua bule di Indonesia itu tier 3 di negara mereka sih, ada juga yg expert. Dan ada juga yang memang sangat peduli untuk membangun hubungan baik interculture, saya juga kenal beberapa bule dengan baik dari komunitas couchsurfing. Tergantung orangnya, tapi ya itu, rata-rata orang kita pun masih menganggap “lebih” para bule itu.

Saya jadi berpikir, kalau betul sejarah bangsa-bangsa akan digilirkan, dimana pada zaman dahulu, kejayaan Islam di Cordoba, bangsa Eropa masih bangsa terbelakang, konon London masih tanah becek katanya. Tetapi bangsa kulit putih itu pun tidak diperbudak kan, saya jadi ingin melihat, kapan ya kita punya pembantu orang bule, tukang kebun orang bule, sopir orang bule… ah…surga kali…..

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline