Ada sebuah konsep yang menarik dalam dunia iklan, bahwa kalau mau iklan gratis, maka masuklah ke dalam buku pelajaran anak-anak sekolah, maka niscaya akan terekam kuat dalam benak rakyat indonesia.
Itu sebabnya banyak pihak yang berusaha menanamkan suatu brand image kepada anak-anak sekolah dengan harapan kelak brand tersebut akan melekat kuat hingga mereka dewasa kelak.
Lihat saja, bagaimana perusahaan besar sekelas Unilever dengan program gosok gigi dan cuci tangan dengan sabunnya menggarap anak sekolah, selain kampanye kesehatan tentu maksud lainnya adalah mencengkramkan kuat di benak para generasi muda akan brandnya.
Belum lagi iklan rokok yang mulai menyasar usia remaja, dengan harapan kelak mereka akan menjadi konsumen yang setia hingga usia tua mereka.
Nah, hal inilah yang tampaknya, dijadikan poin utama para oknum tertentu untuk memasukkan brain wash mereka ke dalam soal-soal UN.
Betapa tidak, biasanya soal-soal bahasa dalam UN lebih mengambil cerita kepahlawanan dan novel -novel legendaris, sekarang digunakan sebagai alat politik untuk mengangkat sosok tokoh politik tertentu dan menjatuhkan sosok yang lainnya.
hal ini sangat disayangkan bila terjadi dengan sengaja dan memiliki maksud di luar tujuan pendidikan itu sendiri. Tujuan ingin menanamkan suatu pencitraan, brand image, yang dalam terhadap suatu hal, maka itu akan memiliki dampak secara langsung maupun tidak langsung di masa yang akan datang.
apalagi kalau kita tahu, bahwa generasi anak sekolah umumnya sulit berpikir kritis dan cenderung menelan mentah-mentah masalah yang disodorkan kepada mereka.
Uniknya, kecenderungan penanaman brand image ini malah diabaikan oleh pemerinta untuk mensukseskan program-program pemerintahannya. Sebagaimana kita tahu, di zaman orde baru yang begitu sistematis dalam menanamkan pancasila, begitu banyak soal tentang pancasila yang masuk kedalam soal Ujian akhir anak sekolah. Begitupun program pemerintah seperti Gerakan Disiplin Nasional, Gerakan program Keluarga berencana yang begitu massif masuk kedalam kurikulum pendidikan nasional.
namun yang terjadi hari ini justru malah sebaliknya, pemerintah tidak bisa menyusun skala prioritas dalam penyusunan konten soal, dan justru terjebak ke dalam kepentingan sesaat dan mengabaikan kepentingan jangka panjang yang lebih strategis dan berdampak luas.
sungguh disayangkan bila ini terjadi, entah mungkin kita akan melihat sosok mafia hitam negeri ini menjadi pahlawan anak-anak sekolah karena mereka masuk ke dalam soal-soal UN nanti.