Ketika masih remaja dan pemuda, menikah menjadi impian yang diidam-idamkan begitu banyak pasangan yang lagi pacaran. Mereka berusaha secepat mungkin untuk bisa menikah. Tak jarang dengan berbagai usaha ‘main belakang’ si remaja ini berusaha mewujudkan impian tersebut. Apa lacur, kebanyakan baru merasakan derita yang amat sangat ketika semuanya sudah terlanjur. Mereka mendapati kenikmatan yang membawa sengsara. Akhirnya banyak yang kawin muda. Dalam usia yang mestinya masih usia sekolah, anak-anak muda ini justru harus menanggung beban sebagai orang tua yang harus membesarkan anak sendiri. Lalu? Tak jarang yang berakhir dengan perceraian.
Menikah, membentuk sebuah keluarga baru ternyata tak semudah dan seenak yang kita bayangkan sebelum kita menikah. Ada berapa banyak keluarga yang harus pisah oleh karena alasan ketidakcocokan. Lah, waktu pacaran kok cocok-cocok saja ya, kenapa kemudian setelah menikah menjadi tidak cocok lagi? Ada yang bercerai karena diselingkuhi oleh pasangannya. Ada yang pisah karena keadaan ekonomi morat marit. Ada pula yang memilih untuk bercerai karena tidak tahan lagi menghadapi tekanan keluarga dari pasangannya. Banyak alasan muncul kepermukaan yang menjadikan keutuhan sebuah keluarga akhirnya kandas di tengah jalan. Padahal tujuan sebuah pernikahan kan bukan itu.
Studi mengungkapkan bahwa ada 7 dari setiap 10 perkawinan di California Amerika berakhir dengan kegagalan. Rata-rata ada 1000 kasus perceraian terjadi di Indonesia (2014). Ada data lain yang menjelaskan bahwa sekitar 70% gugatan cerai datang dari pihak istri. Perceraian, KDRT, perselingkuhan, dan masalah-masalah rumah tangga berat telah terjadi dimana-mana. Ruang-ruang pengadilan penuh sesak oleh daftar gugat cerai karena hal ini dan itu. Perceraian seolah telah menjadi trend masa kini. Media memberitakan bukan berita basi tentang artis-artis yang cerai. Hari ini ada begitu banyak pasangan yang berusaha cepat-cepat cerai. Menikah dengan susah payah, namun perceraian adalah jalan pintas paling ‘asyik’ segampang membalikkan telapak tangan.
Apa yang terjadi dengan pernikahan masa kini? Kenapa begitu banyak rumah tangga yang gagal mencapai ujung dan harus kandas di tengah jalan?
Stepen A. Grunlan dalam bukunya berjudul Marriage and the Family memaparkan tentang sembilan alasan mengapa terjadi perceraian, yaitu ini:
1. ketidaksetiaan
2. tidak mencintai lagi
3. masalah emosional
4. financial (ekonomi)
5. KDRT (Fisik, Psikologi, Sexual, Ekonomi)
6. alkoholik
7. sexualitas
8. keluarga dari kedua pihak
9. tidak memiliki anak
Nah, dari sembilan alasan tersebut, mari kita jujur pada diri sendiri, kira-kira apa kecenderungan masalah yang selalu membesar dalam rumah tangga kita? Jikalau saja mulai kita jumpai pertengkaran-pertengkaran keras oleh karena salah satu faktor di atas, maka itu bisa jadi tanda peringatan dini (early warning) supaya kita lebih mawas diri sebelum segala sesuatunya terlambat. Supaya kita menjadi lebih dewasa dan lebih bijak lagi menyiasati hubungan rumah tangga kita. Supaya apa? Supaya semuanya akan baik-baik saja, dan keharmonisan bisa terus terjaga.
Banyak contoh dari sembilan alasan di atas yang memang acap kita jumpai sebagai pemicu terjadinya perceraian. Ketidaksetiaan umpamanya. Tiba-tiba saja suami menjadi sering keluar malam, usut punya usut ternyata ia jadi suka mencari variasi di luar sana. Lalu ada sstri yang merasa kurang kasih sayang, maka dicarilah kasih sayang itu di luar sana. Siapa tahu ada kasih sayang yang lebih ‘hot’ di luar sana.
Lalu faktor tidak mencintai lagi. Ini juga adalah alasan klasik yang terus digaungkan pasangan yang rupa-rupanya sudah menemukan tambatan baru. Mestinya masing-masing harus bisa mengoreksi diri, kenapa bisa sih rasa cinta itu hilang menguap bak di tiup angin? Cari tahu apa penyebabnya, dan lakukan perubahan. Misalnya, apakah suami tidak mencintai lagi karena sewaktu jalan di mall ia lalu kemudian jatuh cinta dengan wanita cantik bau harum semerbak yang secara kebetulan menabraknya? Bisa jadi loh. Apalagi wanita itu cantik rupawan dengan pakaian necis dan sangat elegan gayanya.
Begitu pulang rumah, sang suami mendapati istrinya menyambutnya hanya dengan memakai daster usang yang sudah robek di sana sini, dan ternyata badannya bau bawang pula karena baru habis masak dan belum sempat mandi. Otomatis dalam pikiran si suami ia mulai membanding-bandingkan antara cewek yang nabrak dia tadi yang berbau harum mewangi itu dengan istrinya yang bau bawang lengkap bersama daster robeknya itu. Kesalahan pertama yang menyebabkan timbulnya rasa tidak mencintai lagi adalah ketika kita mulai membanding-bandingkan. Karena membanding-bandingkan itulah seseorang lantas kemudian mulai lebih mencintai sesuatu yang seharusnya jangan dicintai. Yah...memang biasanya rumput tetangga selalu kelihatan lebih hijau kan? Bunga tetangga selalu lebih harum. Mangga tetangga selalu lebih ranum. Apakah istri tetangga juga akan selalu lebih cantik? Hahahaha jangan sampai!
Kalau dari segi masalah ekonomi, maka kita temukan, Bank Dunia mencatat bahwa ada sekitar 50% rumah tangga di Indonesia tergolong rentan miskin akibat krisis ekonomi. Tingkat kerentanan di kota sekitar 29%, jauh lebih rendah dibandingkan dengan kawasan pedesaan yang 59%.Ini juga masalah. Ada begitu banyak rumah tangga yang akhirnya gagal oleh sebab keadaan yang terus memburuk, dan seakan tak ada cahaya lagi di ujung lorong kehidupan.