Lihat ke Halaman Asli

Michael Sendow

TERVERIFIKASI

Writter

Kita Harus Bersuara, Diam Tak Selamanya Emas!

Diperbarui: 23 November 2015   14:32

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Saya ingat betul, dulu di kampung halaman saya, di sebuah desa kecil di Minahasa nun jauh di sana, kita itu hidupnya ‘saling bantu’ dan ‘saling tolong’. Keadaan itu masih begitu melekat amat lekat dalam hidup keseharian. Tidak ada kesan melebih-lebihkan dan tidak juga karena berharap pamrih. Tidak juga terlihat ada muslihat dibalik ‘perhatian’ yang tulus diberikan atau dibagikan. Dalam hal apapun, saling bantu dan saling tolong itu masih kuat. Kerja bakti masih sangat umum dan 'wajib'.

Pernah suatu ketika ada tetangga yang tak jauh dari lokasi kita, rumahnya terbakar hebat. Kebun kecil di belakang rumah ikut-ikutan terbakar. Apinya dengan cepat menyebar dan menebar kepanikan tentu saja. Lalu terdengar ada suara yang berteriak-teriak menyuruh orang-orang supaya masuk ke dalam rumah dan tidak boleh berada di luar agar supaya tidak terkena polusi asap, “Perhatian....perhatian......sapa-sapa yang masih di luar rumah supaya maso jo ka dalam rumah, kong tutu itu jendela deng pintu supaya ni asap nyanda maso rumah…”

Ini memang cara yang paling gampang dan kelihatan efektif untuk menghindari polusi. Tapi sebetulnya bukan itu permasalahannya. Bukan dengan berkurung diri rapat-rapat dalam rumah maka api akan padam. Masalahnya adalah bagaimana kita secara bersama-sama berusaha memadamkan api yang semakin membesar itu.

Singkat cerita, saat itu, atas inisiatif beberapa pemuda maka bergotong royonglah seberapa yang terkumpul di lokasi kebakaran itu untuk sama-sama berusaha memadamkan api. Ada yang menimba air di sumur. Ada yang mengambil air di sungai. Serta berbagai usaha dan upaya lainnya. Dengan begitu maka akhirnya api dapat dipadamkan. Ini tentu saja oleh karena ada kepedulian dan mau bekerja bersama. Tidak hanya diam berkurung diri cari selamat sendiri. Diam bersembunyi tidak akan pernah menyelesaikan masalah.

Nah, sebetulnya perumpamaan ini juga adalah ibaratnya berbicara tentang perjalanan hidup sebuah bangsa yang beradab. Kita tidak bisa diam saja melihat sesuatu yang sudah sementara terjadi di sekitar kita. Apapun itu. Diam tak selamanya emas. Kecenderungan nyata dari apa yang selama ini kita lakoni, termasuk berbagai macam organisasi, juga agama-agama di Indonesia yang katanya sudah sangat modern dalam menghadapi persoalan-persoalan kehidupan dan kemanusiaan, ternyata toh lebih banyak berdiam diri. Sangat jarang terdengar suara apalagi aksi mereka.

Ketika keadilan dan kejahatan kemanusiaan sementara terjadi kemana mereka? Ketika korupsi menjadi ‘pemusnah kehidupan paling mutakhir’ abad ini, dimana suara mereka? Banyak yang diam membisu seakan tak mau tau dan atau tak mau peduli. Bahasa gaul anak muda kita menyebutnya sebagai EGP (emang gue pikirin). Urusan elo ya elo urus sendiri, gue ya gue. Elo and gue end! Kan gitu. Mereka sibuk memikirkan diri sendiri dan ‘keselamatan’ mereka sendiri. Padahal kita hidup di satu atap bernama NUSANTARA. Sungguh ironis.

Terkadang pula kita berusaha memuaskan hati dan kesenangan banyak orang. Dalam hal ini, kita berusaha berkompromi dengan kejahatan maupun ketidakadilan yang sementara terjadi. Itulah resiko paling minim buat diri kita. Kita tidak bersuara. Kita tidak mengeluarkan pendapat. Kita menutup mata, atau apapun istilahnya Anda sematkan. ‘Diam adalah emas’ untuk diri dan kelompok kita sendiri. Mestinya kita itu bersuara lantang. Kita bertindak nyata menunjukkan kepedulian kita pada bangsa ini.

Kalau kita tidak berani secara jelas berdiri, berpihak, dan bersuara kepada keadilan, kepada apa yang benar, maka sebetulnya kita sementara menyerahkan 'produk' bernama keadilan dan atau kebenaran itu hanya ke tangan orang-orang tak bertanggungjawab. Ke tangan mereka-mereka para pelaku ketidakadilan. Pada mereka yang korup. Pada mereka yang tidak punya etiket baik. Ini sama saja dengan kita juga turut menyetujui, bahkan ikut memainkan peran terhadap apa yang sementara mereka mainkan selama ini.

Makanya saya tak heran bila ada ungkapan seperti ini, diambil dari sebuah pribahasa di Swedia yang kalau diterjemahkan secara bebas kurang lebih berkata demikian, “Yang lebih berbahaya justru adalah ketika di dunia ini hidup orang-orang yang tau suatu kejahatan dan ketidakbenaran sementara terjadi di sekitarnya, namun mereka diam saja”.

Diam tidak selalu emas, kadang dalam kondisi tertentu ia menjadi racun mematikan. Kita pun suatu saat bisa dituntut oleh karena posisi kita yang ‘diam’ tersebut. Kita tidak boleh menjadi pengecut dengan banyak alasan yang dibuat-buat. Acap kali kita berbuat sebaliknya. Bukankah kesaksian hidup kita yang paling nyata adalah sikap kita terhadap kebusukan dan kebobrokan yang selalu hadir dalam hidup berbangsa ini? Seberapa berani kita menyuarakan suara kita, entah itu sekedar lewat tulisan sekalipun.

MERASA AMAN DI PIHAK “YANG BANYAK”

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline