[caption caption=""Pengadilan Rakyat" Internasional? (Pic Source: 1965tribunal.org)"][/caption]
Tulisan ini hanyalah sekedar kegusaran di pagi hari. Saya bangun pagi ini, berita yang sama yang saya dengarkan. Sudah sejak beberapa hari yang lalu saya ‘sibuk’ mendengar tentang adanya Pengadilan HAM yang sementara berlangsung di Belanda, tepatnya di Den Haag. Mata dan telinga saya perih. Pindah channel lain, masih saja berita yang sama yang ada.
Intinya begini, menurut berbagai pemberitaan, adalah bahwa pengadilan rakyat tersebut katanya hendak ‘mengadili’ kebersalahan Indonesia yang katanya terjadi di tahun 1965. Nah, yang menjadi lucu, kok peristiwa tahun 1965 baru mau diadili sekarang? Ada permainan atau lelucon apa lagi ini?
Pertanyaan selanjutnya, kesalahan siapa yang hendak dicari? Kalau dikatakan bahwa pemerintah bersalah, bukankah banyak orang-orang pemerintah yang mati saat itu, termasuk para Jenderal penting. Terus kalau menurut pengadilan ‘abal-abal’ itu bahwa pemerintah Indonesia bersalah dan harus minta maaf, kepada siapa permintaan maaf itu harus ditujukan? Masak jenderal-jenderal mereka banyak yang mati terus mereka yang harus minta maaf? Ini pengadilan rakyat paling ngaco, menurut saya. Nggak jelas. Dimunculkan hanya untuk ‘kepentingan’ tertentu.
Kalau harus ada yang diadili, ya Belanda itulah yang harus diadili. Berapa banyak orang yang mati karena penjajahan mereka selama ratusan tahun lamanya? Berapa banyak kekayaan nusantara yang mereka rampok selama itu? Adili tuh si Westerling dan konco-konconya oleh karena merekalah juga yang sudah turut ‘berjasa’ besar membumihanguskan banyak bagian di Nusantara ini.
Apa yang terjadi di tahun 1965 itu kan sudah saling silang dan saling tindih. Yang meninggal juga adalah dari berbagai kelompok, golongan, dan jabatan. Tidak serta merta diperhadapkan antara pemerintah vs rakyat biasa.
Sidang pengadilan HAM rakyat di Den Haag, Belanda itu sama sekali tidak punya hak untuk mengadili Indonesia dalam kasus pelanggaran HAM. Malahan panggung pengadilan itu bisa jadi semacam bahan tertawaan. Karena toh pengadilan itu juga tidak berkekuatan hukum sama sekali. Hanya untuk menjual-jual dan menjelek-jelekkan nama Indonesia saja.
Oleh sebab itu, karena pengadilan ini juga tidak berada di bawah badan resmi yang keputusannya dapat mengikat, maka Indonesia jelas tidak selayaknya mendengar dan melakukan apapun tuntutan pengadilan rakyat setengah ‘abal-abal’ itu.
Pengadilan Rakyat Internasional atau International People's Tribunal (IPT), katanya dilakukan untuk para korban tragedi pembantaian massal di Indonesia pada tahun 1965. Pengadilan itu akan berlangsung sejak 10-13 November 2015. Yah, mari kita tunggu saja hasilnya besok.
Kalau umpamanya ada pihak-pihak tertentu, orang-orang tertentu yang begitu bersemangat membawa ‘kasus’ ini ke pengadilan rakyat di negeri Belanda itu, sadarlah. Kalian begitu lebay. Kalau ada masalah. Kalau ada kepahitan sejarah kelam masa lalu. Kalau ada perbedaan pendapat, ya selesaikanlah di rumah kita sendiri, bukan dibawa ke rumah tetangga jauh kita. Atau karena UUD (Ujung-Ujungnya Duit), ingin meminta ganti rugi dan tidak sekedar permintaan maaf saja? Walahualam.
Saya pikir, negara kita ini masih punya instrument hukum lebih dari sekedar cukup. Kita juga mestinya menyelesaikan masalah-masalah dalam negeri kita di rumah kita sendirilah, ngapain obral-obral ke Belanda sana? Emangnya siapa mereka itu? Bekas penjajah kita.