Lihat ke Halaman Asli

Michael Sendow

TERVERIFIKASI

Writter

Tertawalah Selagi Bisa

Diperbarui: 29 Oktober 2015   18:14

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption=""Tertawalah sebelum tertawa dilarang!" (Pic Source: www.keepcalm-o-matic.co.uk)"][/caption]Tertawa itu sehat, maka tertawalah sebelum tertawa itu dilarang. Kali ini saya akan menulis sedikit (Baca: tidak banyak) tentang dua kisah lucu. Tertawa memang obat mujarab menyembuhkan berbagai macam penyakit. Termasuk penyakit sakit hati, penyakit kanker (kantong kering), penyakit kudis (kurang disukai), dan tentu saja penyakit gatel-gatel serta panu. Saya malahan merasa sudah sembuh sekarang. Semuanya berkat tertawa dan tersenyum Hehehehe.....

Kisah Nasruddin – “suap & keadilan”

Saya paling suka baca kisah-kisah lucu, cerdas, dan menusuk Nasruddin Hoja (seorang sufi yang konon hidup di Turki pada sekitar abad 13). Dia itu cerdas, 'gila', namun tetap bersahaja dan suka menolong. Terkadang prilakunya 'ajaib', namun tetap dibungkus kepolosan (bisa dibilang sedikit dungu). Dungu tapi cerdas? Itu ada dalam diri Nasruddin.

Nah, konon suatu ketika Nasrudin sedang mengurus sesuatu yang berkaitan dengan sebuah perjanjian. Perjanjian itu haruslah ditandatangani hakim. Nasruddin bolak-balik datang menhadap hakim, akan tetapi hakim ini cuek bebek saja. Nasruddin tak digubris sama sekali. Hakim bahkan selalu saja menolak untuk menandatangani perjanjian itu dengan alasan bahwa dirinya super sibuk, tidak punya waktu sama sekali. “Maklum…saya kan hakim….Pasti banyak kerjaannya…”

Melihat gelagat sibuk yang terkesan dibuat-buat itu, merasalah dan sadarlah Nasrudin bahwa sebetulnya si tuan hakim ini minta disogok dulu baru mau kerja. Hehehe tipikal sogok menyogok rupanya sudah ada sejak jaman itu yah (ratusan tahun yang lalu)?

Menyogok itu diharamkan. Nasruddin tahu betul itu. Tapi apa boleh buat. Maka ia lantas kemudian memutuskan untuk melemparkan keputusan ke si hakim sendiri. “Biarlah tuan hakim itu yang memutuskan.”

Diam-diam, di rumahnya Nasrudin sudah menyiapkan sebuah gentong lumayan besar. Gentong itu lalu kemudian diisinya dengan kotoran sapi hingga hampir penuh gentongnya. Nah, di bagian atasnya, Nasrudin mengoleskan mentega sebanyak beberapa sentimeter saja tebalnya. Gentong itu lalu dibawanya ke hadapan tuan hakim yang terhormat.

Melihat Nasruddin membawa getong besar, seketika itu juga si tuan hakim mendadak tidak sibuk lagi. Ia kini punya banyak waktu. Maka bersiap-siaplah tuan hakim untuk membubuhi tanda tangan pada surat perjanjian Nasruddin.

Nasrudin kemudian bertanya dengan lembut, “Pak Hakim, apakah pantas Pak Hakim mengambil gentong mentega itu sebagai ganti tanda tangan Pak Hakim?”

Hakim tersenyum lebar dan malu-malu kucing sembari berkata, “Ah, kau jangan terlalu dalam kau memikirkan hal ini. Santai sajalah sobat.” Ia lalu mencuil sedikit mentega dan segera mencicipinya. “Wah, enak sekali mentega ini sobat………” ujarnya lagi.

“Iya!” jawab Nasrudin, “Tetapi ingat, sesuai ucapan Pak Hakim sendiri, jangan terlalu dalam.” Setelah mengucapkan itu, maka pulanglah Nasruddin.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline