Lihat ke Halaman Asli

Michael Sendow

TERVERIFIKASI

Writter

Kenapa Kita Membenci Koruptor?

Diperbarui: 18 Oktober 2015   17:49

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Mengapa begitu banyak orang semakin lama semakin muak terhadap para koruptor, yang nampaknya hidup sangat layak dan begitu enjoy dengan kehidupan mereka? Mereka tidak terusik dan tak peduli kemiskinan di seputaran mereka. Tentu semua orang punya alasan masing-masing. Apapun alasan itu, kita jangan menutup diri dan menutup mata terlalu lama. 

Kita tidak boleh lupa, atau berlagak bodoh melihat ketimpangan besar di negeri ini. Puluhan juta orang masih hidup miskin. Ya, miskin dalam arti sebenar-benarnya. Mereka hidup bisa jadi hanya makan 1 kali sehari, itupun kalau sempat dapat makanan. Tidur beralaskan tikar, kadang-kadang koran bekas saja yang dipakai sebagai alas.

Lalu di layar kaca kita menyaksikan pertunjukkan menjijikkan para koruptor tersenyum manis, melambaikan tangan dan pura-pura ‘malu’. Ah, tetap saja masih banyak yang tak tau malu. Mereka munafik dan berlagak sok pahlawan. 

Di Indonesia ini tidak ada 'Robinhood'. Penjahat tindak pidana korupsi ini mencuri tentu saja untuk kepentingan mereka sendiri, dan jelas keluarga mereka. Apakah ada yang merampok uang Negara lalu dibagi-bagikan ke orang miskin? Tidak ada. Robinhood hanya ada dalam mimpi, dan di bioskop-bioskop. Penjahat tetaplah penjahat. Koruptor tetaplah koruptor.

Tindak kejahatan korupsi adalah musuh terbesar dunia. Jangan heran kalau banyak pihak mengeluhkan keberadaan para koruptor ini, dan serentak mereka berseru, berteriak, berharap bahwa sudah selayaknya koruptor dihukum mati saja. Ini tentu bukan asal bicara. Ada kegeraman di sana. Ada perasaan jijik dan muak di sana. Ada rasa benci dan murka di sana. Rasa apa lagi? Silakan Anda isi sendiri.

Tindak kejahatan korupsi adalah musuh bersama, dan dengan begitu menjadi “pekerjaan bersama” untuk membasmi jenis kejahatan ini dengan CARA dan JALAN apapun. Meski itu harus bertabrakan dengan ‘kebijakan’ serta keinginan pihak lain. Korupsi itu adalah ‘tumor ganas’ kehidupan. Apalagi jikalau ada rasa keterusikan pihak-pihak tertentu lantas kemudian kita membiarkan tindak kejahatan ini untuk terus terjadi, atau secara langsung tak langsung membuka ‘ruang’ kemungkinan hal ini terjadi lagi. Kalau begitu kejadiannya maka kita sudah berkompromi. Salah satu kejahatan manusia adalah ketika dia mulai berkompromi dengan kejahatan. 

Sayang sekali, di negeri ini kerap kali hukum masih diterapkan bak sebuah belati. Ia akan terasa sangat tajam ke bawah, namun terlalu tumpul ke atas. 

Tindak kejahatan korupsi sudah menggerogoti gemuknyanya negeri ini, layaknya sapi tambun yang disedot dagingnya. Bangsa lalu kemudian mulai kering, ibarat tubuh yang tinggal kulit bungkus tulang. Korupsi ratusan milliar dan triliunan rupiah tentu bukan jumlah yang sedikit. Apalagi bisa jadi masih banyak tindak korupsi yang sementara terjadi dan terus terjadi tanpa pernah kita ketahui, siapa sangka kalau angkanya itu akan luar biasa fantastis. Kita lalu kaget, terkejut dan terbelalak. Apa daya kita tak kuasa menangkap mereka segera. 

Membenci dan memusuhi tindak kejahatanh korupsi, dan tentu juga para pelakunya (koruptor) niscaya menjadi sebuah kemestian. Kita jangan memberi diri kita berkompromi lebih jauh dengan koruptor. Itu kalau kita masih punya hati nurani. Kalau tidak punya lagi? Maka terkutuklah orang-orang itu!

Beberapa bulan lalu, ketika saya berkunjung ke Semarang, seorang bapak tua pengayuh becak mengatakan ia sungguh sakit hati melihat ‘kebutaan’ dan ‘ketulian’ para pejabat negeri ini. Ia sendiri mesti mengayuh becaknya berjam-jam lamanya untuk sekedar memperoleh 70 – 100 ribu rupiah.

Sementara itu pejabat-penjahat, penguasa-penjahat, dan orang-orang hebat itu, hanya oleh karena ‘kepinteran’ mereka, tanpa berpeluh dan berkeringat mereka bisa hidup nyaman dengan hasil korupsi yang luar biasa banyak. Bapak tua itu bercerita tentang beban hidup menyekolahkan tiga anak. Ada anak yang sakit namun tiada biaya untuk berobat. Bapak itu tak tahan untuk tidak menangis.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline