Lihat ke Halaman Asli

Michael Sendow

TERVERIFIKASI

Writter

Bidadari dan Telaga Tumatenden

Diperbarui: 30 September 2015   17:17

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="tari tumatenden, 9 bidadari turun ke bumi (Pic Source: www.seputarsulut.com)"][/caption]

Setiap daerah memiliki cerita rakyat, atau legenda sendiri-sendiri. Cerita-cerita tersebut banyak dituturkan secara turun temurun, dari satu generasi ke generasi berikutnya. Cerita rakyat ini adalah termasuk salah satu kekayaan budaya kita yang sudah semestinya dijaga dan dilestarikan. Terlepas dari benar tidaknya kandungan cerita rakyat tersebut, satu hal yang sangat pasti bahwa ada nilai-nilai yang dapat kita petik dari setiap cerita tersebut. Lebih daripada itu, kandungan muatan budaya lokal dalam setiap cerita itu tentu dapat memperkaya kita.

Kali ini saya ingin manarasikan kembali sebuah cerita rakyat Minahasa, yang saya yakin belum banyak di antara kita yang pernah membacanya, atau nonton filmnya. Tuturan cerita ini tentu saja saya buat sesuai versi saya, dan gaya saya sendiri. Kisah ini adalah tentang Mamanua, Lumalundung, dan WalanSendow.

Cerita ini berawal dari sebuah telaga bernama ‘Tumatenden’, letak geografisnya berada di tempat yang sekarang ini bernama Airmadidi (air mendidih), tepatnya di Airmadidi Bawah, Minahasa Utara. Telaga Tumatenden punya daya pesona tersendiri. Sehingga muncul pula Tarian Tumatenden, melambangkan 9 bidadari yang lagi turun ke bumi dan mandi di telaga itu.


***

Konon, sejak ribuan tahun sebelum manusia hidup di bumi ini, para puteri kayangan sudah sering berkunjung ke bumi. Salah satu tempat yang disenangi para puteri kayangan itu adalah tempat pemandian air panas di tengah hutan belantara (sekarang sudah menjadi desa Tataaran). Mereka turun ke telaga itu untuk mandi dan berendam air panas. Dari dalam telaga itu, mengepulah gumpalan-gumpalan air laksana sementara mendidih. Makanya tak heran, jikalau di kemudian hari lokasi itu dinamai Airmadidi (air mendidih). Pada jaman itu, tempat pemandian ini disebut juga sebagai Rano ni Putiin (dari burung balam).

Bertahun-tahun kemudian, setelah manusia diciptakan dan mulai beranak pinak di bumi, ada seorang pemuda perkasa yang mendapat kehormatan oleh penduduk setempat untuk menguasai dan mengolah hutan di sekitar Tataaran itu, termasuk telaga Tumatenden, pemandian air panas. Nama pemuda ini adalah Mamanua. Pemuda ini menjaga telaga itu dan merawatnya sehingga selalu bersih terjaga. Ia sebetulnya adalah seorang pemuda yang sangat kaya serta mempunyai banyak pelayan, namun ia tak selalu bergantung pada mereka. Apa yang bisa ia kerjakan sendiri, akan ia lakukan sendiri.

Ternyata setelah ratusan bahkan ribuan tahun berlalu, para puteri khayangan rupa-rupanya tetap menyukai tempat pemandian itu. Dan, pada saat-saat tertentu mereka masih suka turun ke bumi Airmadidi untuk mandi dan berendam air panas di sana, meskipun manusia di bumi sudah bertambah banyak jumlahnya dan tersebar luas di sekitar hutan itu.

Di suatu pagi yang cerah, setelah selesai berburu, seperti biasanya Mamanua selalu singgah di telaga air panas itu untuk membersihkannya, atau sekedar duduk merendam kakinya di situ. Ketika sampai di tepi telaga, Mamanua kaget oleh karena melihat air di telaga itu sudah berubah kotor, dan ada banyak jejak rumput seperti diinjak-injak.

“Wah, pasti ada babi hutan yang datang mengotori telagaku ini”, demikian Mamanua berkata kepada salah seorang pelayannya.
“Bisa jadi, tuan” kata pelayannya menimpali.

Seminggu kemudian Mamanua kembali mendapati hal yang sama. Dalam hatinya Mamanua menjadi penasaran, ingin sekali ia mencari tahu apakah manusia atau binatang yang sudah mengotori telaganya itu. Ia pun bertekad menangkap dan akan memberi pelajaran siapapun yang sudah berani mengotori telaga itu.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline