Lihat ke Halaman Asli

Michael Sendow

TERVERIFIKASI

Writter

Pilihan Untuk Tidak Memilih Partai Agama

Diperbarui: 24 Juni 2015   15:23

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Pilihan Untuk Tidak Memilih Partai Agama, Apa Dasar Utama Kita Memilih Partai Berlabel Agama Tertentu?

Bertahun-tahun mengikuti pemilihan umum, saya tidak pernah tertarik dan mungkin belum akan tertarik untuk memilih partai yang berlabelkan agama. Partai yang menonjolkan identitas keagaamaannya sebagai dasar partai tersebut. Tapi kenapa? Karena bagi saya pribadi, memilih itu, pemilihan umum itu bukan berdasarkan agama kita, tapi kita memilih sebagai warga negara. Tidak lebih tidak kurang. Saya setuju dengan pendapat Prof Sahetapy beberapa tahun yang lalu yang kurang lebih mengatakan seperti ini, election not by religion but as citizen. Kita memilih bukan karena alasan agama, tapi karena kita adalah warga negara.

Lantas kenapa pilihan untuk tidak memilih “Partai Agama” serasa sangat tepat. Begini, mari kita jujur berpendapat. Apa untungnya partai berlabel agama (apapun itu) untuk kita pilih? Apakah karena kemudian mereka akan memperjuangkan masyarakat yang memilih mereka, dalam arti kesejahteraan, kemakmuran, kemudahan demi kemudahan akan nyata dirasakan? Atau label agama hanya dipakai sebagai mesin penarik suara rakyat dengan tujuan memenangkan pemilu? Saya sangsi dan ragu. Fakta sudah membuktikan, siapapun kader partai yang terpilih kebanyakan hanya akan memikirkan bagaimana memperkaya diri dan keluarga, itu sudah terang benderang. Lalu apa bedanya kita memperjuangkan partai berlabel agama? Yang jadi malah seperti ini, right or wrong it’s still my religion, terdegradasi makna menjadi, right or wrong it’s still my party. Benar atau salah, itu tetap partai saya. Karena ada label agamanya, maka saya kemudian harus memperjuangkan dan memenangkan partai tersebut terlepas dari baik atau buruknya kelakuan petinggi dan pemimpin partai tersebut. Kita dituntut memilih secara membabibuta hanya karena agama yang diusung partai itu adalah agama saya juga.

Kemudian akan menjadi soal besar, dan terlihat sangat mengada-ada bila kemudian partai berlabel agama itu berkoar-koar seakan-akan memilih partai tersebut berarti menghormati, menjunjung, dan memuliakan agama yang disandangnya. Lucunya, bila ada beberapa partai yang menyandang agama yang sama, katakanlah tempo hari ada Partai Kristen Nasional (Krisna) kemudian ada Partai Kristen Demokrat (PKD), ini tentu akan menjadi pemicu pendapat bahwa partai Kristen sayalah yang paling betul, atau partai Kristen sayalah yang paling benar. Demikian juga bila ada Partai Islam Nasional dan PKS misalnya, sama-sama menyandang partai berlabel agama, pasti yang terjadi adalah ‘bentrok antar pemeluk agama yang sama’. Ini keniscayaan dalan dunia politik.

Kalau demikian adanya, apa manfaat paling hakiki berdirinya partai-partai agama tersebut? Kalau boleh saya sediki berkata lancang, partai-partai itu terbentuk untuk menarik suara massa berbasiskan agama yang dianut. Tidak lebih. Kadang-kadang, dipertajam dengan seruan-seruan, pidato-pidato, dan ajakan-ajakan yang sepertinya ‘membakar’ sense of belonging pengikut partai bahwa mendukung partainya itu berarti mendukung pula agama yang dianutnya, memunculkan fanatisme membabibuta pada tataran tertentu. Padahal, tidak ada kesertamertaan bahwa mendukung dan membela partai itu sama dengan membela agama. Apalagi, partai itu bukan Gereja atau Mesjid. Mau diakui atau tidak, kenyataan membuktikan dan sudah berbicara, bermain kotor, licik, korup, dan sebagainya itu, kalau di dunia politik adalah ‘barang halal’, walaupun sembunyi-sembunyi, hal mana tidak boleh terjadi dalam agama.

Pengalaman melihat, bahkan sedikit mengikuti pemilihan di Amerika, telah banyak membuka mata saya. Di sana itu hanya ada tiga partai, dua partai besar yaitu Demokrat dan Republik, serta partai Independen bagi yang tidak memilih keduanya. Dan ketiga partai ini bukanlah partai berlabelkan agama manapun. Ranah agama seharusnya tetap dipermuliakan di mana ia seharusnya berada, ketika agama dibawa-bawa dan ditarik-tarik memasuki dunia politik, ia justru akan tercemari dan menjadi kotor.

Tidak percaya? Silahkan tengok petinggi-petinggi partai berlabel agama yang ketangkap tangan melakukan korupsi, perbuatan asusila, dan bermain kotor untuk mendapatkan posisi dan jabatan, apa yang lantas ia rusak? Bukan hanya dirinya, tapi label agama di partai yang ia tongkrongi. Partai-partai seperti ini, saya rasa bukan lagi memuliakan agama, tapi cenderung merusak nilai-nilai keagamaan yang ada. Apalagi kalau tujuan berlabelkan agama, untuk mendulang suara sebanyak mungkin, ini sudah sangat memalukan. Kita tidak lagi diajar untuk memilih karena kita adalah warga negara yang baik, tapi agama yang kita anut dijadikan ‘mesin pencetak suara’ semata. Hasilnya? Banyak pemimpin partai yang jadi kaya, sedangkan grass root-nya tetap miskin melarat, dan demonstrasi melulu kerjaannya. Kasihan sekali.

Pemilihan presiden di Amerika selalu saja diikuti oleh orang-orang yang sudah benar-benar kaya. Ada pemilik perkebunan terbesar di Amerika, ada pengusaha dan punya perusahaan kecap serta saus tomat terbesar, ada yang punya perusahaan minyak, ada yang menjadi lawyer kaya, punya peternakan besar, dan sebagainya. Ini meminimalisir keinginan memperkaya diri ketika terpilih nanti, dan terbukti bahwa jarang atau hampir tidak ada pejabat tinggi ditemukan korup di sana, kalau main perempuan mungkin iya. Lha, di negeri kita ini bagaimana? Pengeluaran habis-habisan gara-gara kampanye, pasti akan ditebus manakala terpilih menjabat. Sudahlah, tak perlu dijelaskan panjang lebar. Itu sudah menjadi bagian sejarah panjang negeri ini, yang nyatanya luput ditulis oleh buku-buku sejarah yang beredar luas di sekolah-sekolah.

Jadi intinya, bagi saya, partai agama lebih banyak mendatangkan ‘dosa’ berlapis daripada manfaatnya. Selain ‘Suara Tuhan’ dan agama diperdagangkan, pemimpin-pemimpin mereka juga tidak luput dari perbuatan memalukan. Memang masih susah untuk menghindari daya tarik tiga ‘TA’ itu, harta, tahta, dan wanita. Sekalipun ia sudah menjadi panutan partai berlabelkan agama. Untuk itulah, pada kondisi seperti inilah, memilih partai bukan berlabel partai agama masih terlihat lebih aman dan nyaman. Entahlah pendapat saudara seperti apa, tapi itulah pendapat saya pribadi. Selamat memilih!

--Michael Sendow--

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline