Lihat ke Halaman Asli

Michael Sendow

TERVERIFIKASI

Writter

[FISUM] Jadi ‘GokiL’ di Amerika

Diperbarui: 25 Juni 2015   02:50

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Jadi ‘GokiL’ di Amerika

By: Michael Sendow (190)

“Kepintaran bukan untuk membodohi orang lain. Kecerdasan bukan untuk membegokan orang lain. Tapi kepolosan dan keluguan amat sering menjadi objek pembodohan dan pembegoan”---Mich.

“Hoy minggir hoy….” Teeeet….teeeeet….suara klakson mobil yang memekakkan telinga berpadu dengan suara galak orang berkulit agak kemerah-merahan itu begitu kuat terdengar. Hampir menulikan telingaku yang memang udah rada-rada tuli dikit sih.

Rupa-rupanya aku men-drive (wuiiih keren juga istilahnya tuh) mobil CR-V hitam itu sudah agak melenceng dan memepeti mobil manusia kulit merah itu. (Busyet dah, kulit kok warnanya memerah kayak gitu sih? Jangan-jangan ini orang keturunan asli Native Indian Amerikan barangkai---demikian pikirku). Tapi setelah kuselidiki lebih jelas, lebih seksama, dan dalam tempo yang tidak singkat, lhoooo bukannya mobil dia juga udah keluar jalur dan kita sama-sama saling memepeti jalur tengah? Jadi bukan aku saja yang salah. Dia juga salah.

I am sorry siiiiiRRRR……I really am!” sahutku tak kalah keras. Memangnya cuman dia yang punya mulut besar penuh gertak sambel apa…Tapi walaupun galak, bahasaku masih tergolong sopan dan sophian, maksudnya santun…Sebab, aku masih merelakan dari mulutku terucap kata ‘SORRY’. Biasalah, itu adalah kata-kata pamungkas orang yang hendak membiarkan orang lain merasa dialah yang benar sendirian hi hi hi. Tak apalah, kuberikan perasaan menang sendirian itu padanya, walaupun ia juga drivenya kayak lagi naek onta mabok! Percuma berdebat. Toh ini negeri nenek moyangnya. Biarlah orang kampung (yang waras) seperti aku minggir duluan he he he. Serta merta kujauhkan mobil melaju menjauhi line yang ia pakai.

Metuchen adalah kota kecil yang begitu tenang, damai, dan anteng. Aku sementara menuju ke kota itu. Tempat yang sudah diresmikan secara tidak tertulis sebagai tempat kediaman (real originated) beberapa tua-tua Indian. Konon Metuchen adalah nama dari salah satu kepala suku Indian yang pernah tinggal di sana. Wah, senang juga aku pernah tinggal di Metuchen selama 3 tahun. Metuchen adalah idaman banyak orang. Tempatnya sih enak sekali. Tapi harga propertinya yang bikin leher tercekik saking mahalnya.

Nah, setelah pindah tempat tinggal ke kota Edison, kerinduan mengunjungi Metuchen begitu membuncah. Karena alasan itulah aku selalu menyisihkan waktu dan menyempatkan diri berkunjung ke sana. Apalagi banyak kawan-kawan dari Indonesia yang ngumpul di Metuchen. Dan lagi, di downtown-nya Metuchen itu berjejer cukup banyak toko buku, toko mobil tua, toko makanan Asia (Asian Food), dan liquors store serta berbagai macam kedai kopi. Di situlah markasnya kita-kita orang. Jadi di sepanjang jalan yang nggak terlalu panjang itu sudah terkenal sebagai tempat mangkalnya ‘kawula muda Indonesia perantauan’. Tujuan utama ngumpul di situ apa? Yah banyaklah….mulai dari nongkrong baca buku di pinggir jalan, minum beer atau kopi sepuasnya, sampai kepada diskusi politik. Biasalah, walau tak punya hak pilih di antara kami ada yang pro Partai Demokrat (Democratic Party) ada juga yang menudukung Partai Republik (Republican Party).

Setelah nyampe Metuchen, aku bergegas menemui sahabatku paling karib, namanya Glen. Ia adalah laki-laki tegap berkulit hitam menyala, originated from Sierra Leone (di Afrika). Kalau bicara suaranya keras bener. Mungkin laksana gentong atau drum kosong yang dipukuli pake martil (baca: hammer)…BOOOm…BAAAm….BEEEm….pokoknya suara kerasnya disertai bass bariton yang amat sangat menakutkan (setidak-tidaknya bagi anak TK-SMP).

HEY,WHAT A SURPRISE, WAZZZZUP DUDE…?!” Serunya begitu melihat kepala saya nongol di pintu apartemennya yang dibiarkan terbuka.

Oh…I am just as fine as you are, buddy” He he he…walau baru mau masuk tahun ke-4 di Amerika tapi saat itu aku sudah beranikan diri untuk selalu mengikuti cara dan style mereka berbicara. Walau kadang mereka sering mengatakan “You sounds like chicken!”. Pertama kali mendengarnya aku masih bingung. Kenapa dibilang terdengar kayak ayam yah? Emangnya gue berkotek-kotek atau ngengukuruyuk apa? Lama-lama baru aku ngeh, bahwa ternyata itu sebutan untuk mengatakan “kayak perempuan”. Sompret dah! Apa karena mereka terlalu barbaric ngomongnya dan aku sopan santunnya masih tinggi ya? Hi hi hi…mudah-mudahan iya.

Kampanye Calon Walikota

Aku dan Glen pun terlarut dalam perbincangan panjang dan serius. Tapi diselipin banyak candaan dan gelak tawa. Maklum, orangnya biarpun adalah pria perkasa berbadan tegap dengan dada berbulu (jadi teringat si King-Kong nih) tapi rupa-rupanya ia punya sifat keibuan yang sangat kental dan kentara. Ia sempat menitikkan air mata ketika menceritakan bahwa anaknya lagi sakit keras di kampung halaman dia. Bahkan ia cerita bahwa dokter sepertinya sudah mau angkat tangan. Ia sesunggukkan sembari berucap “You know Mike, I deeply frustrated with this situation” (Maksudnya, dia bete dan stress banget gitu lho) melihat ia sesunggukkan, terasa batin ini ikut sedih….untung saja aku tak sampai membelai-belai kepalanya. Wadoooouu…kalo mungkin Judie Foster lain ceritanya…tapi ini….

Glen, come on, man….take it easy…let’s go out” Aku bermaksud mengajak teman berbuluku itu jalan keluar supaya hatinya tenang dikit.

Where….?” Tanyanya, ia masih terlihat belum antusias.

“Lho, bukankah ini lagi ada kampanye pemilihan walikota gimana kalo kita turut ngeramein?”

“Oh, iya yah….kok bisa nggak kepikiran sih?” Aku mulai menangkap antusiasme dari nada suaranya.

“Kan, calonnya tinggal dua….. si Jung dan James….?”

“Tepat sekali, dan kita mesti dukung Jung karena dia asli Korean”

Di halaman berumput hijau tak jauh dari Roosevelt Park ternyata sudah dipenuhi begitu banyak orang. Saat itu James (kulit putih) sedang asyik berkampanye ria. Terdengar beliau berkata dengan semangat berapi-api “We must protect our women and children…bla..bla…bla” Si Glen jelas nggak suka sama si calon walikota satu itu. Dia itu sudah terlalu banyak berjanji…dan hanya janji-janji doang. Ia sudah pernah menjabat, tapi hasilnya nihil. Kuda Nil pun pasti akan kecewa dapat pemimpin seperti dia.

“Okelah….mari kita bantu kampanyenya” ujarku sedikit menggoda.

“Enak aja! Kita justru mesti kerjain dia….”

“Tapi gimana caranya?”

Kita berduapun termenung cukup lama dan berpikir-pikir. Tiba-tiba ada sesosok wanita kulit hitam perut buncit, hamil tua, mungkin sudah 8 bulan, lewat tepat di depan kita.

Wah, aku kok tiba-tiba terpikir sesuatu yang iseng banget deh.

“Ma’am, aku kasih $25,- tapi tolong bantu ikut kampanye dikit yah, gampang kok…cuman maju berdiri sambil angkat-angkat tangan di depan calon walikota itu”

“Okay…that’s easy…I’ll do it…”

“Tunggu dulu…” aku menahannya sebentar. Lalu cepat-cepat kukeluarkan karton putih dan spidol hitam. Kutuliskan sesuatu di situ.

“Tolong pakai ini sebagai tanda mendukung Sir James…” kataku pendek. Wanita itu cuek aja, dan menyanggupi. Hanya mendukung si calon dan dapat $25 apa susahnya sih, pasti maulah ia melakukannya. Hanya dengan modal angkat-angkat tangan doang.

Glen tertawa cekikikan. Ternyata ia sudah tau ideku. Ia sudah tau kenapa yang kumintai tolong adalah perempuan hamil tua itu.

“Pssssssst…Glen…this is the moment we have to see” Aku coba menenangkan Glen yang masih terus cekikikan…

Di depan sana perempuan hamil tua itu sudah berdiri sambil mengangkat-angkat tangannya, sesekali tangan yang satu mengelus perutnya yang hamil tua itu. Wajah sang calon walikota terlihat terkejut dan jadi kayak gagap bicaranya melihat perempuan kulit hitam itu. Hi hi hi yang lebih lucu lagi….orang-orang di sekitar situ jadi buyar konsentrasi mendengar pidato si James, malah mereka jadi ngakak melihat perempuan yang berdiri hanya berjarak sekitar 2 meter di depan sang calon walikota.

Perempuan hamil itu terlihat cuek aja. Wong aku nggak bikin salah, kan justru aku mendukung dia….Mungkin demikian pikir perempuan itu.

Tapi sebenarnya kata-kata yang aku tulis di karton itu bermakna ganda, bunyinya singkat “Jame’s The One!!!” Bagi orang Amerika, kata-kata ini sungguh sangat bermakna ganda. Karena yang membawa kata-kata itu adalah wanita hamil. Artinya bisa, Jameslah orang yang tepat untuk jabatan walikota itu. Atau, Jameslah ayah dari anak ini! Hi hi hi…memang reaksi saat itu sungguh di luar dugaan, James jadi sangat kikuk. Mana wanita itu masih saja mengangkat tangannya sambil pegang-pegang perutnya.

“Singkirkan wanita itu…” Akhirnya tak tahan juga si calon walikota dengan situasi seperti itu. Terlihat beberapa anak buahnya (baca: tim sukses) segera bertindak. Aku dan Glen hanya terbahak-bahak melihat reaksinya yang berlebihan. Apalagi sebelumnya sang calon itu baru saja berucap, “We must protect our women and children…” Hua..ha..ha……Tepat sasaran.

Aku bilang ke Glen, pelajaran teramat penting hari ini. Today we must learn one important thing: Jangan terlalu percaya apa kata sebuah kampanye. Kampanye adalah produk membangun citra diri dan sarana meluaskan keterkenalan secara bibir manis doang (Lips service). Menilai kebagusan dan kebenaran si tukang kampanye adalah dengan menilik rekam jejak dan sepak terjang yang bersangkutan di waktu-waktu lampau. Jika Anda salah memilih orang, resikonya akan lebih parah dari wanita hamil tanpa suami resmi. Glen menatapku dengan alis mata berkerut. "Sejak kapan kau jadi cerdas dan bijak seperti ini huh?" ia mengomentari celotehanku. "Ooooh itu, sejak si James berkoar-koar sok pintar beberapa bulan yang lalu, at least I am  smarter than him." Kututup pembicaraan itu dan membiarkan Glen menatap dengan sisa tatapan lucu serta mulut menganga..."Oooooohhhh..."

Waktu akhirnya semakin beranjak ke posisi makan sore (maklum, sudah lewat jam makan siang). Berhubung perut sudah keroncongan banget, sudah teriak minta ampun karena kosong melompong, ku ajak Glen untuk cari makan dulu. Dalam perjalan ke tempat makan…..aku pun tertidur pulas (Glen yang drive soalnya), dan dalam tidurku….bermimpilah aku…..dan dalam mimpiku terlihat sesosok manusia. Perhatianku serta merta langsung tertuju pada sosok arogan yang lagi pegang pentungan. Wuidiiih, sadis sekali. Tapi karena jaraknya masih lumayan jauh, tidak kukenali persis siapa orangnya. Ia berjalan semakin mendekat. Dan terus mendekat, adooooh mati aku ternyata itu si James. Wajahnya menyeringai marah, kumisnya terlihat bergerak-gerak emosi. Aku hanya bisa pasrah dipentungin sama si James kumisan itu……

Sontak aku teriak, “ Pak James, jangan pentungin aku, swueeeerrrr ini semua terjadi gara-gara ada satu komunitas yang juga tidak mendukung Anda! Trust me on this one. Berapapun Anda mau bayar suara mereka. Nih aku kasih bocoran, komunitas itu bernama: FB Fiksiana Community.

(Oooh betapa…….ya, betapa gilanya kita)

The End

·NB : Untuk membaca karya peserta lain silahkan menuju akun Cinta Fiksi  :http://www.kompasiana.com/androgini

·Silahkan bergabung di group FB Fiksiana Community

Michael Sendow

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline