Lihat ke Halaman Asli

Michael Sendow

TERVERIFIKASI

Writter

Ternyata Tuhan Masih Hidup

Diperbarui: 25 Juni 2015   03:02

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1342065425803576279

[caption id="attachment_193733" align="aligncenter" width="611" caption="Sumber gambar: godtalkstoyou.com"][/caption]

"Mike, why do you still believe GOD was created the earth and HE is still watching over us?" Demikian pertanyaan pedas dan tajam seorang kawan saya yang bagi dirinya tuhan adalah 'work' alias kerja. Anda tidak bekerja maka Anda tidak bertuhan. Ia seorang workaholic yang jam kerjanya mulai dari 7 pagi sampai 10 malam. Berhasil dalam dunia bisnis sih. Punya banyak uang, dan disenangi banyak wanita. Saya hanya tersenyum dan menjawab pendek, "Without HIM you'll never be as great as you are now." Ia tertawa terbahak-bahak dan bilang, "Once again, you are freaking insane, man!" Sekali lagi, kamu gila bener, semprotnya. Bagi saya itulah hidup. Pilihan untuk meyakini bahwa ada creator agung yang menciptakan kita ataupun tidak meyakininya sama sekali terpulang ke setiap kita. Dan saya cukup sadar for what I stand for. Manusia (kita semua) adalah mahluk berpikir. Kita diberikan otak, akal, pikiran, dan pengetahuan. Tapi juga serempak kita diberikan hati, perasaan, dan 'willingness to believe'. Kemampuan dan kehendak untuk percaya dan mempercayai. Akal memaksa kita berpikir secara logis. Tapi logika kadang mengukung kita di balik tempurung kekerdilan berpikir untuk tidak mau dan tidak dapat menerima sesuatu yang di luar akal. Tak terjangkau pikiran. Sesuatu yang tidak logis, atau katakanlah yang supranatural. Nah, hati dan perasaan yang kita miliki tak jarang mementung keegoan kita untuk akhirnya menjadi mampu dan mau menerima yang supranatural tersebut. Kemampuan untuk memahami, merasakan, dan mengakui adanya mujizat. Kesediaan untuk meyakini adanya 'sosok agung' yang kita sebut dan panggil sebagai GOD. Tuhan semesta alam. Tuhan Sang Pencipta. Semakin pintar dan cerdas seseorang bisa saja akan semakin logis cara dia berpikir. Tapi kelogisan berpikir tidak serta merta menunjukkan kebenaran cara berpikirnya. Mari kita tengok kecerdasan dan kepintaran Stephen Hawking, penulis buku 'A brief history of time' (sejarah sang kala). Seluruh tubuhnya lumpuh, yang tersisa dan masih bekerja aktif adalah sebagian kecil dari otaknya. Tapi saking pintarnya ia dijuluki sebagai juru bicara alam semesta. Pakar matematika dan ilmu-ilmu fisika (khususnya teori kuantum) ini bahkan disetarakan dengan Albert Enstein. Yang berfungsi dalam diri Hawking hanyalah otaknya. Sekarang mari kita lihat peran otak dalam hidup kita. Anda, saya, dan siapapun kita pasti mengamini bahwa tanpa otak kita tak akan lebih pintar dari keledai. Tanpa otak kita ibarat robot kaku yang hanya bisa diprogram sesuai keinginan sang pemrogram. Atau bahkan laiknya zombie? Menurut banyak pendapat, bahwa otak manusia sesungguhnya terdiri dari 11-15 billion sel neuron, dan setiap sel neuron tersebut saling berhubungan dengan 25.000 sel neuron lainnya. Otak kita dirancang demikian rumitnya. Tapi kekompleksan otak kita menunjukkan betapa luar biasanya si pembuat otak manusia itu. Kemampuan otak kita sama canggihnya dengan komputer sebesar bola dunia. Lantas kenapa kerja otak kita tidak secanggih dan sehebat komputer? Karena tidak terlatih maka kebanyakan otak kita hanya menggunakan dan terpakai sebanyak 5-10% dari keseluruhan kemampuan yang dimilikinya. What a waste. Padahal para ahli mengatakan kemampuan otak kita bisa sebenarnya ditingkatkan hingga 300-400%. Oang-orang yang genius itu mungkin saja sudah menggunakan lumayan banyak dari kemampuan berpikir otaknya. Tapi kenapa ada kecenderungan semakin pintar dan cerdas kemampuan seseorang semakin ia mengabaikan keberadaan yang bagi dia sulit diterima akal sehat. Termasuk mengabaikan keberadaan dan eksistensi Tuhan? Tidak semua memang. Tapi ada kecenderungan ke arah itu. Hawking adalah salah satu contoh. Ia pernah mempertanyakan apa yang diperbuat Tuhan di luar sana? Kemudian ada lagi contoh orang cerdas lain yang berkata seperti ini, "Gott ist tott", kalimat dalam bahasa Jerman yang berarti Tuhan sudah mati. Dipelopori dan dipopulerkan oleh filsuf bernama Nietzsche. Gagasannya itu dinyatakan sebagai berikut: "Tuhan sudah mati. Tuhan tetap mati. Dan kita telah membunuhnya......" (From: Nietzsche, Die fröhliche Wissenschaft, 125) Entahlah..... Bagi saya Tuhan akan tetap ada di manapun dan sampai kapan pun. Apakah kita menolakNya atau mengakuiNya, Ia akan tetap eksis. Tuhan sebagai sang Omnipotent akan terus berperan dalam hidup dan karya kita, siapapun dan sebagai apapun kita ditempatkan Tuhan di dunia ini. Bagi saya IA akan tetap menjadi Sang Khalik. Sosok yang Unlimited in ability, all-powerful, almighty. Itu sebabnya Tuhan tidak hanya memberi kita otak, tapi juga hati dan perasaan. Supaya kita dapat mengenalNya. Supaya kita boleh merasakan kehadiranNya. Apakah Tuhan sudah mati? Tidak. Ternyata Tuhan masih hidup! Lihatlah saat ini agama-agama sedang bangkit dan bergairah kembali. Ada kehausan dan kelaparan spiritual yang luar biasa. Kalau dulu banyak ahli meramalkan bahwa agama akan mati, tidak tahan menghadapi gelombang modernisme dan sekularisme, bahkan ada seorang teolog yang sudah memproklamirkan Teologi Allah yang Mati (The Death of God Theology), ternyata tidak. Tuhan lebih berkuasa dari semua kuasa dan tahta yang ada di dunia ini. Sebab DIA Mahakuasa. Mungkin ada saat-saat tertentu agama cuma tidur seperti kepompong. Dari luar kelihatan kering, tidak bergerak, tidak berdaya. Tetapi dari balik kepompong itu keluar kupu-kupu yang lincah, indah dan manis. Agama-agama sekarang bagaikan kupu-kupu. Itu nilai positifnya. So, apakah kita percaya bahwa kita diciptakan oleh Sang Creator maha agung itu, atau lebih percaya bahwa tadinya nenek moyang (leluhur) kita pernah merangkak persis monyet seperti teori beberapa orang cerdas itu, adalah pilihan kita masing-masing. Apakah kita mau mengakui bahwa hidup, bernafas, dan kehebatan otak kita adalah pemberian indah Sang Khalik atau malah menganggap bahwa semuanya tercipta secara kebetulan, comes from thin air.....booooom, maka jadilah...entah dari mana, ya terserah kita juga. Yang jelas, dengan kita mengakui atau tidak mengakuiNya, keberadaan dan kemahakuasaaNya tidak akan berkurang sedikitpun. Hanya sayang sekali, Tuhan sudah menjadikan kita sebagai ciptaanNya yang paling mulia, tapi kita malah menolak keberadaanNya. Sungguh sayang sekali. Kalau kita mau sedikit merenung, apapun yang kita lakukan, termasuk menyeka keringat dan air mata kita bukan karena kemampuan kita sendiri. Kita ini bukan apa-apa tanpa kehadiranNya. Ada ratusan juta orang di dunia ini, bahkan lebih, yang tidak mengakui keberadaan Tuhan. Tapi bersyukur masih lebih banyak yang mau mengakuiNya. "Maka Tuhan menciptakan manusia itu menurut gambar-Nya, menurut gambar Tuhan diciptakan-Nya dia; ... itulah hari keenam." [Kejadian 1:26-31] "Sesungguhnya Aku akan menciptakan manusia dari tanah. Maka apabila telah Kusempurnakan kejadiannya dan Kutiupkan kepadanya roh (ciptaan)-Ku, maka hendaklah kamu tersungkur dengan bersujud kepadanya." [QS Shaad: 71-72] "Kemudian Aku ingin menciptakan mahluk-mahluk hidup, menjalankan tapa dengan maksud menciptakan sepuluh maharsi pemimpin dari mahluk hidup." [ Manawa Dharmasastra 1.34]

Michael Sendow

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline