Lihat ke Halaman Asli

Michael Sendow

TERVERIFIKASI

Writter

Nampak Bodoh, Lugu, Menderita, Tapi Bijak dan Terkenal

Diperbarui: 26 Juni 2015   00:44

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Pelajaran Dari Dua Kakek Buyut Kita: Tentang Hidup.

[caption id="attachment_138197" align="aligncenter" width="601" caption="Nasrudin Hoja (Pic: Stockphoto)"][/caption]

Mungkin kita masih ingat kisah demi kisah hidup yang penuh kelucuan dan keluguan seorang Nasrudin? Menurut cerita ia adalah seorang sufi di Turki yang hidup sekitar abad ke-14. Ada ratusan anekdot tentang Nasrudin yang merupakan paduan humor dan satire (gaya sastra sindiran). Karena kebijakannya yang dibalut kepolosan atau keluguan itulah yang membuat para pembaca kisahnya begitu suka berlama-lama membaca karyanya.

Pada suatu kesempatan Nasrudin sedang berjalan ke kota. Beberapa anak nakal ingin memperdaya dia dan mencuri sandalnya. Mereka berpura-pura meminta Nasrudin mengajar mereka memanjat pohon. Nasrudin kemudian melepaskan sandalnya, lalu memasukkannya ke dalam saku, kemudian ia mulai memanjat pohon itu. Anak-anak menjadi bengong dan berteriak, “Kenapa sandalnya dibawa?” Nasrudin pun menjawab, “Barangkali di puncak pohon ada jalan. Aku ingin belajar berjalan di situ.”

Di suatu hari yang lain Nasrudin meminjam sebuah panci besar dari tetangga yang terkenal licik dan serakah. Ketika ia mengembalikan panci itu, dimasukkannya sebuah panci baru yang lebih kecil ke dalam panci besar yang ia pinjam. Ia lalu berkata, “Pancimu ternyata hamil dan semalam melahirkan anak.” Tanpa mengucapkan apa-apa tetangga itu mengambil kedua panci itu dengan girangnya. Seminggu kemudian Nasrudin meminjam kembali panci besar itu. Esok harinya ketika tetangganya menagih, Nasrudin berkata, “Pancimu semalam telah meninggal dunia.” Tetangga itu marah besar, “Mustahil, mana ada panci meninggal dunia!” Nasrudin menjawab, “Ketika pancimu hamil dan melahirkan, kamu tidak bilang apa-apa; sekarang pancimu meninggal dunia dan kamu bilang mustahil.”

Bukankah kita juga sering sekali hanya diam dan menerima dengan senang hati sesuatu yang aneh dan tidak masuk akal, tapi asalkan itu menyenangkan dan membawa keuntungan bagi kita. Semustahil apa pun suatu hal, kalau ia menguntungkan kita maka kita tidak akan protes. Tapi sebaliknya, kalau itu tidak menguntungkan dan mengecewakan kita, oh tunggu dulu, kita pasti akan protes dengan lantangnya.

Lain Nasrudin lain pula van Gogh. Vincent van Gogh adalah seorang pelukis realistis. Ia melukis sesuai fakta yang dilihatnya. Ia tidak mau memperindah lukisannya sehingga lari dari kenyataan. Tidak seperti kenyataan banyak orang yang selalu memperindah sesuatu yang sebenarnya bertolak belakang. Kita kadang bersembunyi di balik bayang-bayang kekayaan, kemegahan, kekuasaan saudara kita, atau kerabat kita hanya untuk memanipulasi kenyataan hidup kita yang sesungguhnya.

Pada suatu saat setelah van Gogh menyelesaikan sebuah lukisan yang sangat sarat makna tentang kehidupan nyata para petani di lingkungan di mana ia tinggal, van Gogh pun berkata, “…Aku ingin agar masyarakat bisa mengenal dan menyelami sebuah gaya hidup yang sangat berbeda….Maka jadilah lukisan tentang kenyataan hidup para petani. Aku tahu bahwa inilah kenyataan yang sesungguhnya….karena itu aku melukis hidup mereka yang keras dan kasar; bukan memperindah mereka, melainkan kenyataan diri mereka yang sesungguhnya.” Kerja keras dan kerja jujur adalah tema kesaksian van Gogh dalam lukisan “De Aardappel Eters” yang terbit pada tahun 1885.

Tapi tidak semua perasaan van Gogh dapat terungkap melalui lukisan-lukisan. Tak jarang perasaannya justru terpendam dan bertumpuk dalam dirinya sehingga akhirnya menimbulkan prilaku yang menyimpang. Ia pernah hampir memotong telinganya sendiri. Akibat yang paling tragis adalah pada usia 33 tahun ia dirawat di rumah sakit jiwa. Pada saat itu ia terus melukis dan melukis. Ratusan lukisan yang dihasilkannya hanya tertimbun di sebuah gudang tua. Hampir tidak ada yang terjual. Yang sempat terjual pun hanya laku dengan harga yang begitu murah. Maklumlah, siapa yang kenal van Gogh pada saat itu? Mungkin kalau pun ada yang mengenalnya, mereka mengenalnya sebagai seorang pemuda kurang waras.

Setelah dua tahun berobat, van Gogh akhirnya meninggal dunia dalam usia yang masih sangat muda, 35 tahun. Beberapa hari sebelum meninggal ia sempat membuat sebuah lukisan yang sangat indah tentang ladang gandum. Ladang yang kuning itu sendiri berproporsi tipis dan rendah, yang kelihatan tebal dan tinggi adalah langit biru dengan garis-garis awan yang menonjol.

Sekarang ini semua lukisan Vincent van Gogh menjadi pusaka kebudayaan umat manusia. Sebuah museum dibangun secara khusus untuk menghargai hidup dan karyanya, yaitu Van Gogh Museum di Amsterdam. Di situ tersimpan 200 buah lukisan cat, 580 lukisan pensil, 7 buku kumpulan sketsa dan 600 surat tulisan tangannya kepada adiknya. Dari hidup van Gogh yang singkat, tertinggal kesaksian yang abadi. Ia yang tadinya tak dikenal kini dikenang.

Nah, saat ini kita kembali mendapat pelajaran dari kakek-kakek buyut kita. Dua kakek yang sudah mengajari adalah Nasrudin dan van Gogh. Yang satu mengajari kita dari kepolosan dan keluguannya, yang menjadikan dan memandang hidupnya sebagai ‘anekdot hidup’ itu sendiri. Yang juga membuat kita sadar dan tersadar walau secara tanpa sadar, bahwa itulah hidup. Tiap anekdot Nasrudin menyimpan sebuah kebenaran, dan itu sering kali sangat menusuk. Tapi karena dikemas sedemikian rupa sehingga para pembaca tidak menjadi gusar, melainkan tertawa bahkan menertawakan diri sendiri. Yang satunya lagi, kakek van Gogh mengajarkan kita bagaimana mamandang dan melukis hidup ini secara jujur dan terbuka. Kita mesti jujur menilai diri sendiri dan lingkungan sekitar kita. Good is good dan bad is bad. Kenyataan itu tidak perlu ditutup-tutupi. Tidak mesti dicampur aduk, dan tidak harus disamar-samarkan. Ia juga memperlihatkan kesan yang mendalam bagaimana dari tak dikenal dan menjadi yang dikenang. Semoga pelajaran dari kakek-kakek buyut ini beroleh tempat di hati setiap pembaca. Wasallam.

Baca juga kisah sebelumnya yang ada hubungannya:

Menertawakan Diri Sendiri

Kembali Menertawakan Diri.

Michael Sendow

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline