Lihat ke Halaman Asli

Michael Sendow

TERVERIFIKASI

Writter

Memangnya Kita Sudah Merdeka?

Diperbarui: 26 Juni 2015   02:44

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Memangnya Kita Sudah Merdeka?

[caption id="attachment_125845" align="aligncenter" width="572" caption="Sudahkah saya merdeka? (From: AnakIndonesia"][/caption] Tinggal dalam hitungan  jam kita akan kembali merayakan peringatan hari kemerdekaan bangsa kita,  17 Agustus 1945. Tapi benarkah kita sudah merdeka? Tidak sepenuhnya salah tapi juga tidak sepenuhnya benar. Kita sudah merdeka tapi belum benar-benar merdeka. Ting...ting...ting....denting  jam saya terus berbunyi......

Dengan penuh kesungguhan dan kerendahan hati, saya mengajak kita semua, utamanya mereka yang memegang kekuasaan di negeri ini, dan juga mereka yang menjadi wakil kita (wakil rakyat) untuk bercermin pada kenyataan. Kita ternyata belum merdeka dari keserakahan dan ketamakkan alias maruk kekuasaan. Padahal sesungguhnya perang memperebutkan kekuasaan semata-mata hanya akan menyengsarakan rakyat. Dalam artian, kalau Anda berkeinginan memuaskan dahaga dan kelaparan Anda akan kekuasaan, jabatan dan uang maka saya dapat pastikan Anda mungkin akan terpuaskan tapi tidak untuk rakyat yang bakalan Anda pimpin.

Marilah kita tengok dengan seksama lalu bersikap bijak melihat bertubi-tubinya pemimpin yang gagal. Kenapa? Oleh karena mereka menjadi hanya sebatas pemimpin pemimpi. Apa sih pemimpin pemimpi, mungkin demikian Anda bertanya? Sederhananya pemimpin pemimpi adalah mereka yang punya mimpi dan angan-angan setinggi langit, lalu mimpi itu diumbar ke hadapan publik sebagai janji-janji manis. Sebagai “janji kampanye”. Sasarannya? Masyarakat pemilih. Hasilnya luarbiasa, masyarakat masih begitu mudahnya termakan janji, tapi ternyata mereka menjadikan para pemilih itu batu loncatan untuk meraih mimpi-mimpi mereka semata, tapi toh pada akhirnya mengabaikan janji. Itu namanya politik pembodohan. Rakyat  dibodohi dengan janji palsu, supaya mimpi boleh diraih. Mimpi mereka sendiri! Padahal rakyat mencintai mereka dan mengharapkan balasan yang sama. Inikah yang kita sebut dan elu-elukan sebagai kemerdekaan?

Masih tidak percaya? Lihatlah di sekitar, di kiri dan kanan, di masa yang lalu, sejarah begitu banyak berbicara dan fakta serta data dapat pula kita cium dengan gampangnya, rasakan dan telan bulat-bulat! Fakta apa itu? Contoh paling sederhana  begini, saya saksikan sendiri, saya juga baca dan dengar serta lihat bagaimana seorang calon walikota berjanji akan memperbaiki jalan berlobang dan rusak teramat parah. Bahwa itu adalah prioritas utamanya apabila ia terpilih nanti. Jadinya apa? Setelah terpilih, jangankan diperbaiki, malah tidak ada satu kerikil pun yang dikirim untuk menutup lobang-lobang jalan itu! Bahkan masa jabatannya sudah akan berakhir, tak juga ia menepati janji politiknya. Bahkan ada yang sampai memelihara ikan mujair di lobang jalan penuh genangan air itu sebagai sindiran protes. Tapi apa boleh buat, kami ini jelata. Mungkin pula sudah terbiasa dengan janji yang manis. Setelah terpilih dan memegang tampuk kekuasaan, that’s all! Nothing to care about.

Lalu, setelah kita menyatakan diri merdeka dari penjajahan sejak tahun 1945, apakah tidak mencoreng muka sendiri melihat keadaan yang memiriskan hati melihat jurang ketimpangan di negeri ini yang bagaikan langit dan bumi. Benarlah ujar-ujar yang bilang yang kaya bertambah kaya, yang miskin tambah miskin dan tetap berenang dalam lumpur kemiskinan. Fakta bahwa sebagian kita belum merdeka dari kemiskinan salah satunya dapat dilihat di Jawa Timur, ketika ribuan orang antri selama 6 jam hanya untuk 3 Kg beras! Pemandangan yang sungguh menyakitkan dan menyedihkan. Ribuan warga beserta anak-anak kecil antri berjam-jam “hanya” untuk 3 Kg beras dan 3 bungkus mi instant? Sementara para pejabat sangat sibuk menebalkan kantong dengan berkorupsi tanpa malu ratusan juta bahkan milyaran rupiah? Ini benar-benar namanya merdeka di atas penderitaan orang lain.

Sepertinya melihat kerakusan para koruptor dan tikus-tikus papan atas yang serakah dan rakus itu sudah hal biasa. Lumrah. Bukan barang baru. Bayangkan, mereka bersenang-senang dengan uang rakyat, padahal minggu lalu saja saya baca di surat kabar seorang anak tak mampu menderita suatu penyakit yang diakibatkan oleh GuillainBarre Syndrome (GBS), untuk menyembuhkannya diperlukan tidak kurang dari 24 juta perhari! Obat yang dipakai bernama Gamunex, dimasukkan melalui cairan infus. Satu botol Gamunex berisi lima ampul dan harganya 7,5 Juta per botol. Setiap hari harus menghabiskan 18 ampul (18x7,5 Juta). Sangat mahal.

Wah, kalau saya dan kebanyakan yang lain mungkin pernah mengecapi bagaimana rasanya hidup menderita akibat banyak tekanan. Tekanan demi tekanan yang datang silih berganti itu memang mengajarkan banyak hal. Penderitaan sering menjadi guru yang terbaik. Oleh karenanya betapa angkuhnya dan arogannya kita kalau sudah tak peduli lagi dengan penderitaan orang lain. Alangkah terkutuknya pemimpin yang sudah tak mau ambil pusing dan tak pernah mau peduli penderitaan rakyat yang di pimpinnya.

Mungkin kita mulai lupa bahwa fakir miskin dan anak-anak terlantar. Mereka yang seharusnya ada di bangku sekolah, tapi pada jam yang sama malah berkeliaran di terminal-terminal, emperan toko dan gang-gang kumuh. Bukan belajar melainkan menjadi peminta-minta, gelandangan dan pengais rejeki pinggir jalan. Mereka sedih menderita dan terpukul. Beban begitu berat di pundak mereka. Penderitaan demi penderitaan. Di mana negara ketika anak-anak itu berteriak dan berseru minta tolong dalam teriakan dan seruan yang tak terkatakan? Suara mereka tercekat di kerongkongan yang mungkin sudah berhari-hari belum dilalui nasi! Sedangkan di luar sana, ada seorang pejabat buronan yang dijemput dengan biaya 4 milyar. Uang itu kalau dibagikan ke anak-anak miskin itu, maka sekitar 40.000 anak akan mendapatkan Rp.100.000,-. Lumayan. Daripada sekedar menjemput buronan. Sekali lagi, ternyata kita belum merdeka dari mental serakah dan tak mau peduli.

Tawa dan girang memang perlu, namun kita lebih banyak belajar dari dari tangis dan derita. Dalam novel Boenga Roos dari Tjikembang, sastrawan angkatan 1920-an Kwee Tek Hoay menulis, “Djiwa manoesia djadi matang dalam tangisan, sebab ada berkah dari itoe ayer mata.” Pemimpin yang bijak adalah mereka yang mampu menitikkan air mata melihat penderitaan rakyat yang dipimpinnya. Ikut bersimpati dan berempati. Merasakan penderitaan rakyat sebagai penderitaan dirinya juga. Dan atas kesadaran itu kemudian akhirnya mengambil tindakan nyata demi perbaikan. Bertindak mengurangi beban dan penderitaan rakyatnya. Tentu dengan tindakan yang benar dan terpuji. Sebab bukankah juga ada tertulis bahwa fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara?

Kalau Merah Putih adalah lambang kesucian dan keberanian. Dan lambang itu juga berkibar dengan gagahnya untuk pertama kalinya pada tanggal 17 Agustus 1945 sebagai simbol dan pengakuan total dan menyeluruh bahwa “KITA SUDAH MERDEKA!” Maka pertanyaannya kemudian adalah bahwa kenapa masih banyak pejabat negara yang kaya dan rakus itu selalu berkata suci tapi berani mencuri uang rakyat dan uang negara? Suci dalam perkataan tapi berani korupsi! Itukah merah putih yang sejati bagi sebagian besar mereka? Harusnya keberanian itu adalah berani membela dan berkata yang benar bukan sebaliknya. Sebab kalau begitu, berarti kita memang sudah merdeka tapi belum benar-benar merdeka!

Satu malam menjelang 17 Agustus 2011,

Michael Sendow.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline