Lihat ke Halaman Asli

Michael Sendow

TERVERIFIKASI

Writter

Pengalaman Pilu saat Tragedi 11 September di New York

Diperbarui: 11 September 2016   14:54

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

news.okezone.com

Cerita dimulai tanggal 10 September 15 tahun yang lalu —merujuk pada saat diperbaruinya artikel ini— saya masih sempat naik ke lantai 105 Gedung Twins Tower atau biasa disebut Word Trade Center(WTC) yang memiliki 110 lantai. Gedung ini merupakan Ikon Kota New York sehingga banyak sebutan untuk gedung ini termasuk sebutan Twins Building. Aah, apalah artinya sebuah nama.

Bersama rekan dari Polandia, kami berdua sedang menjalankan ‘tugas resmi’ sekaligus mengantar surat negosiasi dan paket kiriman ke gedung yang akan menjadi tempat bersejarah di kemudian hari. Maka masuklah kami ke ground floor gedung WTC untuk memarkir mobil. ketika hendak masuk, pemeriksaan cukup ketat (tidak sangat ketat sih, tapi lumayan) mobil diperiksa, tanda pengenal diperiksa, kemeja dan tas diperiksa. pemeriksaan yang cukup ketat ini merupakan buntut dari percobaan pengeboman yang gagal tahun 1993.

Mungkin karena kami berdua sama-sama dari luar Amerika, pemeriksaan kendaraan oleh petugas lebih lama dibanding pengunjung lain. Setelah pemeriksaan selesai dan mengisi buku tamu, kami menuju lift dan segera memencet angka ‘105’ di dinding lift. Tak lama berselang, sampailah kami di lantai 105, tujuan kami. Selesai itu, tak lupa kami mengambil gambar dikit di depan gedung. “You first yo!” Kata laki-laki parlente teman saya itu malu-malu. Biasalah, mungkin masih bertingkah kayak “Duo Kabayan Nyasar ke Kota”. Tapi tak apalah pikir kami, bukankah banyak juga turis yang mengambil gambar di situ, jadi tak masalah.

Besoknya, tepat tanggal 11 September kami mendapat tugas masih di seputaran New York, sang Big Apple. Kali ini tujuan kami adalah 4 gang arah timur dari Penn Station (Stasiun kereta api terbesar di Kota New York) dan tempat kedua tujuan kami berikutnya adalah hanya beberapa blok (kalau tidak salah 12 blok) dari Gedung World Trade Center.

Selesai menjalankan tugas di dekat gedung WTC, rupa-rupanya ada tugas lain yang memanggil kami. Apa itu? Perut yang keroncongan dan kerongkongan yang dahaga. akhirnya kami mencari restauran terdekat di sekitar kami. Ternyata, tak keliru jalan sama teman saya yang Polandia itu, matanya cukup awas dan lumayan jeli. Di tengah-tengah kesibukan Kota New York, dengan ratusan bahkan mungkin ribuan orang yang lalu lalang di sekitar kami, ia masih sempat melihat “Numero Uno Pizza”. Salah satu restoran kegemaran saya dan dia, tapi baru pertama kali kami melihatnya di situ. Mungkin belum lama dibangun.

Lahap dan beringas itulah kami ketika lapar saat itu. Kami memang tak seharusnya demikian, Mungkin ada baiknya makan dengan sedikit rasa tanggung-jawab, tak berlebihan dan pelan-pelan. Perlahan namun pasti istilah kerennya. Lalu jangan pula makan sampai perut buncit,over dosis, atau kelewat kenyang. Tapi apa daya, segala tata cara makan yang beradab itu serasa terbang entah ke mana kala itu karena kami betul-betul lapar, sampai-sampai kemeja putih teman saya jadi belepotan terkena saus tomat.

Selesai makan, kami bergegas hendak pulang, saat itulah sejarah kelam itu dimulai. Sebuah moment di mana Manhattanwill never be the same again.The Manhattan as we know it will never be the same again. Gedung kembar, pusat perdagangan dunia, simbol New York itu dalam sekejap hilang dari pandangan mata. Diiringi tetes darah dan air mata, ribuan nyawa melayang dalam hitungan detik. hari itu menjadi Kekalahan sebuah peradaban, kalahnya manusia yang beradab.

Hanya beberapa blok dari kami, terdengar bunyi gelegar dan reruntuhan gedung yang tak akan pernah bisa saya lukiskan dengan kata-kata. Hati kami tergetar. Tubuh kami terguncang. Getaran tanah di bawah kaki kami sangat terasa beriringan dengan bisingnya gemuruh suara ledakan di telinga kami. Tak ada satu kata pun yang keluar baik dari saya maupun teman saya. Kami hanya terpaku, dan melongo heran. Ada apa ini gerangan?

www.mirror.co.uk

Lalu dari arah berlawanan, terlihat orang-orang mulai berlarian, wajah dan tubuh mereka tertutup debu dan berdarah-darah. Saya melihat teman saya secara spontanitas membuka kemeja putihnya lalu menolong seorang ibu yang berdiri dekatnya, wajahnya penuh luka. Orang Polandia ini lalu memberikan dan membiarkan kemejanya dipakai untuk mengusap wajah Ibu yang penuh dengan debu serta darah. Ia harus rela kemejanya dinodai darah serta kulitnya yang kini ditutupi oleh pakaian dalam, terpanggang oleh teriknya matahari.

Saya berusaha membeli beberapa botol air mineral dan memberikannya kepada beberapa orang hitam (black people) yang sepertinya baru terlepas dari maut akibat reruntuhan gedung itu. “Thanks man! Thanks yo!” kata mereka dengan aksen black guy yang sangat kental. Saya hanya bisa berucap lirih, “No problem dude, you’re very welcome”. Sebenarnya panjang ceritanya setelah kejadian itu, tapi mungkin kesanggupan saya menulis fakta kelam itu terlalu minim. Karena suasana yang luar biasa kacau tak banyak detail yang saya masih ingat. Apalagi sudah lima belas tahun berselang.

Hanya beberapa jam atau menit setelah kejadian itu, sontak semua hubungan terputus dan entah mengapa serempak jalur komunikasi macet total. Artinya, kami tidak bisa pulang ke New Jersey, tempat kami tinggal untuk bertugas, sebab tidak ada bus, mobil, atau pun train yang boleh (dibolehkan) jalan. Hubungan New York dan New Jersey putus sementara. “Celakalah kita, pikir saya”. Saya colek teman saya dan bilang ke dia bahwa sepertinya malam itu kita harus nginap di NYC.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline