Lihat ke Halaman Asli

Michael Sendow

TERVERIFIKASI

Writter

Batu Raksasa, Dianggap Keramat dan Membawa Keberuntungan

Diperbarui: 25 Juni 2015   23:41

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Karier. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Batu Raksasa, Dianggap Keramat dan Membawa Keberuntungan.

[caption id="attachment_143511" align="aligncenter" width="651" caption="Watu Pinawetengan"][/caption]

Batu raksasa ini terdapat di Desa Pinabetengan, Tompaso. Batu ini merupakan bongkahan batu-batu besar alamiah. Konon, setiap tahunnya batu ini bertambah besar secara alamiah pula. Memang belum ada data pasti tentang kebenaran bahwa batu itu terus bertumbuh dan bertambah besar, tapi cerita dari mulut ke mulut terus tersebar mengenai ‘batu keramat’ ini. Sampai saat ini batu tersebut dikenal dengan sebutan Watu Pinawetengan.

Dari arah Manado, tidak butuh lebih dari 45 menit sampai satu jam maka Anda sudah bisa mencapai lokasi yang dituju. Selain jalanan yang sudah bagus, pemandangan sekitar dengan pepohonan hijau, bunga-bunga, serta pemandangan alam yang masih natural membuat perjalanan Anda kian nyaman dan mengasyikkan. Berminat? Tunggu dulu, baca dulu kisah Watu Pinawetengan itu sendiri. Selain sebagai penambabah wawasan wisata Anda, juga untuk mencegah hal-hal yang tidak diinginkan.

Pada bongkahan batu tersebut terdapat goresan-goresan berbagai motif yang dibuat oleh tangan manusia. Goresan-goresan tersebut ada yang membentuk gambar manusia, menyerupai (maaf) kemaluan laki-laki dan perempuan, ada juga motif garis-garis beraturan, serta beberapa motif lain yang tak jelas bentuk dan maksudnya apa. Para ahli yang pernah meneliti atau setidaknya melihat batu tersebut memiliki dugaan bahwagoresan-goresan tersebut adalah simbol yang berkaitan dengan kepercayaan komunitas pendukung budaya megalit.

Seorang yang suka menulis sejarah Minahasa, Jessy Wenas dalam sebuah tulisannya mengatakan bahwa, Watu (batu) Pinawetengan berdasarkan cerita rakyat dapat dilihat pada tulisannya J.G.F Riedel dengan latar cerita rakyat tombulu yang di cetak dalam bentuk buku berjudul "AASAREN TUAH PUHUHNA NE MAHASA" terbit di tahun 1870 dalam bahasa Tombulu. Lokasi tempat batu Pinawetengan pada mulanya hanya disebut tempat berkumpulnya penduduk Minahasa yang terletak di tengah-tengah Tanah Minahasa. Kemudian disebut tempat Pahawetengan Posan, pembahagian tatacara beribadat agama suku. Lokasinya disebuah tempat yang bernama bukit AWOHAN (AWOAN) di Tompaso. Istilah Watu Pinawetengan pada waktu itu belum ada, karena batu suci tempat upacara PAHAWETENGAN POSAN belum ditemukan karena sudah tertimbun dan masuk ke dalam tanah. [caption id="attachment_143515" align="aligncenter" width="680" caption="Tulisan dan gambar di permukaan batu (Pic:Jessy Wenas---Manguni.com)"][/caption] Lalu menurut beberapa catatan bahwa orang pertama yang menganalisa garis gambar di permukaan batu Pinawetengan adalah Mister Schwarz, konon berdasarkan komentar Hukum Tua Kanonang waktu itu, Joel Lumentah. Tapi apapun itu, tidak bia dipungkiri bahwa keterangan Hukum Tua Kanonang dan seorang guru dari Sonder hanyalah mengenai bentuk segi-tiga-nya. Yang artinya adalah menggambarkan bentuk atap rumah pemimpin utama Minahasa yang memimpin upacara adat di Watu Pinawetengan tersebut. Keterangan penting lainnya adalah gambar-gambar yang ada di tahun 1888 dan sekarang ini sudah hilang. Seperti gambar kelelawar, ikan hiu, buaya, jaring penangkap ikan. Hanya sedikit juga yang bias diperoleh dari tulisan Mister Schwarz dalam bukunya "ETHNOGRAPHICA VIT DE MINAHASSA".

[caption id="attachment_143512" align="alignright" width="300" caption="Lokasi Wisata Watu Pinawetengan di Tompaso"][/caption]

Watu Pinawetengan telah sejak lama menjadi tempat permohonan orang, seperti meminta kesembuhan dari sakit penyakit, meminta perlindungan dari terjangan marabahaya, dan lain sebagainya. Ada yang mengatakan bahwa dengan melakukan ritual ibadah yang dipandu seorang tonaas (orang yang dituakan dan bertindak sebagai mediator spiritual), maka mereka percaya bahwa doa yang dipanjatkan akan cepat dikabulkan. Bukan meminta kepada sang batu, tetapi kepada Sang Pencipta alam semesta. Batu terus hanyalah dijadikan sarana atau alat untuk melakukan ritual tersebut.

Mengenai asal usul batu tersebut, masyarakat di sekitar situ percaya bahwa dahulu kala inilah tempat bermusyawarah para pemimpin dan pemuka masyarakat Minahasa asli yang adalah keturunan Toar-Lumimuut (nenek moyang masyarakat Minahasa)---seperti pada tulisan ini: Anak Mengawini Ibu Kandungnya---. Nah, para pemimpin ini bersepakat untuk membagi daerah menjadi enam kelompok etnis suku-suku bangsa yang tergolong dalam kelompok-kelompok etnis Minahasa.

Ketika keturunan Lumimuut-Toar semakin banyak, maka pada suatu waktu mereka mengadakan rapat di sebuah tempat yang ada batu besarnya (batu itu yang kemudian disebut Watu Pinawetengan). Musyawarah dipimpin Tonaas Wangko Kopero dan Tonaas Wangko Muntu-untu I(tua/pertama). Sistem pemerintahan kemasyarakatan akhirnya berubah setelah melalui musyawarah yang mendeklarasikan sistem pemilihan umum, pemerintahan negara demokrasi kuno, hasil musyawarah dituliskan pada sebuah batu prasasti yang kemudian dikenal dengan sebutan Watu Pinawetengan. Ada yang mengatakan bahwa peristiwa tersebut terjadi sekitar tahun 400-500 Masehi.

[caption id="attachment_143514" align="alignright" width="300" caption="Nampak seperti orang lagi bersujud."][/caption] Banyak yang mempercayai bahwa Watu Pinawetengan adalah tempat di mana kesembilan dotu (nenek moyang/tua-tua/pemimpin) berkumpul sebelum akhirnya mereka berpisah menuju daerah tugas masing-masing. Ukiran yang terdapat di permukaan batu raksasa yang memiliki bentuk seperti orang lagi bersujud itu diyakini sebagai tulisan mengenai hasil pertemuan kesembilan dotu tersebut. Tapi sampai sekarang, sepertinya belum ada yang berhasil mengartikan tulisan di atas batu itu secara pasti.

Pada kenyataannya, sejarah telah mencatat bahwa banyak yang mengunjungi batu tersebut untuk banyak maksud dan agenda. Pada tahun 1642, beberapa pemimpinan sub-etnis Minahasa berkumpul di batu tersebut untuk merencanakan perlawanan terhadap Spanyol. Kemudian tahun 1939, DR. Sam Ratulangi juga mengumpulkan sejumlah pemimpinan pergerakan Sulawesi Utara di tempat ini untuk berdoa dan memanjatkan syukur atas keberhasilan mereka melawan penjajahan Belanda. Sampai sekarang pun masih banyak orang yang menunjungi tempat ini, termasuk turis mancanegara. Tujuan kunjungan tentu saja berbeda-beda. Ada yang berziarah, ada yang sekedar melancong dan untuk foto-foto, ada yang meneliti, ada yang karena penasaran dan rasa ingin tahu belaka.

Ada cerita bahwa karena batu ini dikeramatkan, pengunjung harus menjunjung tinggi dan selalu bersikap respek terhadap watu Pinawetengan ini. Tapi lalu ada beberapa orang yang menganggap remeh dan menisbikan keberadaan batu raksasa ini. Konon seseorang yang sempat mengencingi batu ini mendadak menjadi impotent, anunya (maaf) tak bisa bangun-bangun lagi. Dan ada juga orang yang memaki-maki, mabuk serta melempar-lempar batu tersebut, beberapa hari kemudian ia mengalami kecelakaan tragis, meninggal dunia.

Ada juga kisah salah seorang turis dari Belanda, Jacob Rygeesberg. Ia menderita lumpuh dan sewaktu dibawa ke tempat ini harus memakai tongkat.  Tapi ia begitu nekat untuk melihat batu ini, maka ia akan berjalan. Menurut cerita, orang yang lumpuh itu pun akhirnya membuang tongkatnya, berjalan tertatih-tatih dan akhirnya bisa berjalan normal kembali. Ada juga beberapa kejadian aneh lainnya, bahwa di tempat ini juga juga sering terjadi sesuatu yang tidak masuk akal dan berbau mistis. Pernah ada orang terlempar keluar area, mobil berjalan sendiri, ada yang memukul badan pengunjung dari arah belakang, tapi setelah menoleh tak nampak siapa pun. Biasanya kalau kejadian seperti itu karena yang berkunjung sudah memiliki niat tidak baik terlebih dahulu.

Yang pasti, benar tidaknya cerita kekeramatan batu tersebut, dan berbagai sebab akibat yang ditimbulkannya, maka kita penghuni bumi ini tentu harus tetap memiliki rasa hormat dan respect terhadap alam, tradisi, dan kebudayaan kita sendiri. Kita bukan menuhankan apa yang dikandung alam yang kita huni ini, tapi kita menghormati dan menghargainya sebagai mana apa adanya ia berada (eksistensinya). Anda berkeinginan mengunjungi Watu Pinawetengan? Ayolah…, tapi jangan coba-coba berkeinginan nakal untuk kencing di atas batu itu yah. Bahaya.

Selamat Berwisata.

Michael Sendow.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline