Lihat ke Halaman Asli

Michael Sendow

TERVERIFIKASI

Writter

(Bukan Sastra Instan) Ayah Meninggalkanku, Aku Meninggalkan Ibu dan Istriku

Diperbarui: 25 Juni 2015   23:45

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Ayah Meninggalkanku, Aku Meninggalkan Ibu dan Istriku.

Lena terbaring sekarat di pembaringan tua milik turun temurun keluarga mereka yang tak begitu beruntung. Sudah beberapa bulan ini ia terbaring tak berdaya karena stroke yang dideritanya sepulang dari Amerika. Aku hanya bisa menjaga dan menunggunya dalam diam. Harapan sepenuhnya hanya kugantungkan kepada tim dokter yang menanganinya, dan tentu saja kepada Sang Pencipta yang adalah dokter di atas segala dokter. Keluarganya meminta Lena supaya dirawat di rumah saja karena biaya rumah sakit terlalu mahal.

Semangat memudar kadang menyelimuti jiwa dan ragaku yang rapuh. Andai saja kamu tau Lena, betapa hancur dan luluh lantak diri ini tanpa ada kamu yang mengisi hari-hari kita seperti dulu lagi. Andai kamu tahu, bahwa tidurku pun tak lagi bisa nyenyak selama kamu belum sadar. Tidak ada lagi sapaan penuh kasih yang kuterima seperti biasanya. Bahkan tak pernah lagi aku cium aroma kopi hangat buatanmu, yang menurutku bahkan lebih enak dari kopi luwak yang kesohor itu. Sakitmu benar-benar menyesakkan dada. Tak bisa lagi kujalani hari, tanpa hadirmu di sisiku, Lena.

Padahal sudah begitu lama aku dan Lena membangun harapan demi harapan untuk hidup bersama, sampai ubanan nanti. Sampai kakek nenek usia kita. Harapan yang kami susun bagaikan susunan bata yang dikaitkan satu demi satu membentuk sebuah dinding yang kokoh. Lama memang, tapi bangunan yang terbentuk itu kokoh dan kuat. Tapi apa daya, manusia berencana Tuhan yang menentukan. Sepulang Lena dari Amerika, bukannya kebahagiaan yang ia peroleh tapi justru stroke menjemputnya tatkala baru keluar gerbang bandara Soekarno Hatta. Aku sendiri yang menjemputnya, dan langsung membawanya ke rumah sakit.

Nafasku terpatah-patah. Aku merasa sangat lelah dan tak kuat lagi. Persis seperti seorang lelaki tua renta yang sedang menunggu masa tutup usia. Ya, betul sekali, semangatku semakin memudar seiring berjalannya waktu. Sepertinya tak ada lagi yang mampu menyemangatiku. Setiap pertambahan detik tanpa sadarmu, membuatku semakin lelah dan semakin hancur. Hanya mujizat yang kuharapkan datang menyapamu, menyadarkanmu, menyembuhkanmu, Lena. Kalau itu terjadi, mungkin sekali aku akan kembali merasa muda dan bersemangat. Tapi, bolehkah aku menggantungkan harap pada mujizat semata?

***

Suatu malam, karena badan capek dan letih, aku tertidur sangat pulas. Tapi pikiranku melayang jauh dalam dekapan mimpi dan angan, mencoba mengingat-ingat kembali masa dimana usiaku baru beranjak sembilan tahun. Waktu itu aku begitu dekat dengan ayahku. Ke mana pun aku minta ia mengantarku, pasti ia akan melakukannya untukku. Banyak kenangan indah di antara kita. Sampai pada suatu siang ibu dan ayah memanggilku. Ibu kemudian berucap, "Edwin, ayahmu harus pergi ke luar negeri."

"Tapi untuk apa harus ke luar negeri?" tanyaku.
"Untuk melanjutkan belajar," ayahku menjawab ringan. "Ayah janji tidak akan pergi lama. Kau bisa memegang janji ayah. Kau tak akan menyadari berlalunya waktu dan tiba-tiba ayah sudah akan kembali menemuimu di sini."

Aku memandang wajahnya kurang yakin, "Apa ayah janji untuk pergi tak lama?"
Ayahku mengangguk memastikan bahwa ia tak akan pergi lama. Ibuku hanya tersenyum melihat caraku memandangi ayah. Dan lalu aku mengantarkannya ke bandara dengan berat hati. Aku mengantarnya dengan terpaksa, tak rela sebenarnya mengijinkan ayah pergi ke luar negeri. Aku masih ingin untuk selalu ada di dekat ayah. Orang yang sangat aku kasihi dan yang mengasihi aku dengan kasih yang begitu besar. Seorang ayah idaman di mataku dan di hatiku. Ayah yang tak akan kugadaikan dan kugantikan dengan hadiah sebagus apa pun.

Setelah itu aku terus menunggu dan menunggu, berhari-hari, bahkan berbulan-bulan lamanya, hingga bertahun-tahun aku menunggu dalam ketidakpastian kepulangan ayahku. Tetapi ayahku rupanya pergi dalam waktu yang begitu lama. Sungguh lama nian ayahku tak pulang. Apakah ini pertanda bahwa ia tak menyayangiku lagi? Sampai akhirnya aku tidak mau menunggunya lagi. Aku capek menunggu sesuatu yang tak pasti. Sampai suatu ketika aku mendengar sendiri ibuku berkata bahwa ayah tidak akan pernah pulang lagi, "Ayah sudah pergi ke suatu tempat yang tak mungkin mengirimkannya kembali ke sisi kita, Edwin. Ayah sudah pergi ke surga" katanya. Pernyataan ibu yang membuat hatiku luka dan tersayat-sayat. Tidak lagi tersisa harapan sekecil apapun untuk bertemu ayah, karena ia sudah tidak lagi ada di dunia ini. Air mataku terkuras habis meratap kepergian ayah. Ayah yang aku sayangi mengalami kecelakaan pesawat terbang, jasadnya pun tak ditemukan. “Kenapa ayah pergi meninggalkan aku……..?” batinku lirih.

Sejak itu aku sangat terpukul dan menjadi trauma ketika ada keluarga dekatku yang pergi meninggalkanku dalam waktu yang lama. Aku takut bakalan kehilangan mereka lagi untuk selama-lamanya, seperti aku kehilangan ayahku. Perasaan takut kehilangan itu juga yang menimpuku saat Lena sakit dan tak sadarkan diri. Akankah ia pergi meninggalkan aku selamanya? Andai saja kau bisa memberiku jawab Lena. Andai saja kau bisa berucap satu atau dua kata demi meyakinkan aku bahwa kau tak akan pergi……

Tapi kembali aku menanti dalam ketidakpastian, persis seperti tempo hari menanti kepulangan ayah yang tak pasti itu. Lena tetap terbaring kaku. Tanpa suara. Tanpa kesadaran. Tanpa isyarat apa pun.

***

“Win, tolong kamu segera ke kamar Lena, katanya Lena sadarkan diri. Tim dokter yang sementara memeriksanya juga heran, kata mereka jarang sekali ada kasus seperti ini. Mungkin mujizat telah terjadi,” suara ibu mengangetkan aku yang sementara melamun pagi itu.

“Apa ma? Jadi Lena sadarkan diri?” Bergegas aku menuju kamar Lena.

Dengan jelas aku melihat kesibukan para dokter yang menanganinya. Mereka terlihat sibuk dengan berbagai peralatan masing-masing.

“Jarang sekali orang yang sudah mengalami stroke dua kali dan separah Lena bisa sembuh secara tiba-tiba seperti ini. Dalam kasus sakitnya Lena kami memperkirakan hanya ada dua kemungkinan, kelumpuhan total atau kematian.” Seorang dokter mengatakannya kepadaku dengan semangat tinggi.

“Tapi dok, apa mujizat ini bersifat permanen?”

“Sepertinya kondisi Lena terlihat stabil dan terus membaik kok.”

“Tuhan memang maha baik dan maha kuasa. Aku yakin sekali bahwa tidak ada yang mustahil bagi Tuhan, dan ia selalu menjadikan segala sesuatu itu indah pada waktunya.”

Dengan tak sabar aku menghampiri tempat tidur Lena. Kupeluk tubuhnya erat, dan tak kuasa kutahan lagi air mata ini menetes deras membasahi pipiku yang semakin kurus dan tirus. Lena membalas pelukanku sambil berucap, “Sepertinya sudah bertahun-tahun tak memelukmu Win….bahkan kumis dan jenggotmu semakin lebat. Kau belum cukuran yah?” Lena baru saja sadar, tapi sudah membuatku tertawa mendengar ucapan-ucapannya.

“Win, aku ingin kau temani aku malam ini. Aku ingin kau tidur bersamaku malam ini.” Memang semenjak ia tak sadarkan diri, ia tak pernah tahu bahwa aku selalu menjaganya, mendampinginya, bahkan sering tidur di kamarnya beralaskan tikar. “Tentu saja aku akan menemanimu bukan hanya malam ini, tapi juga malam-malam berikutnya, dan bahkan untuk selamanya, istriku.”

***

Pagi hari yang cerah menyambut bangunku pagi ini. Heeeemmm harumnya aroma bunga-bungaan tercium jelas oleh hidungku. Tapi ada keanehan dari aroma bunga-bunga itu. Tak biasanya aku mencium bau bunga seperti pagi ini. Keharuman khas yang aku sendiri tak tahu apa itu.

“Anakku, benarkah itu kamu?” Sebuah suara yang sangat berwibawa menyapaku. Suara yang teramat ku kenal itu.

“Ayah…..ternyata ayah masih hidup?” Aku berteriak histeris dan sekeras mungkin melihat siapa sosok yang berdiri tepat di depanku itu.

“Kemana saja ayah selama ini? Kami sangat merindukan ayah. Aku begitu kehilangan sosok ayah.”

“Ayah tetap ada di sampingmu nak.”

“Tapi aku tak pernah melihat ayah,” protesku.

“Memang kamu tidak melihat ayah, tapi ayah selalu memandangimu. Ayah tahu kamu bergumul berat atas sakit penyakit Lena istrimu. Tapi saat ini ia sudah sembuh bukan?”

“Iya yah, ini semua hanya karena anugerahNya semata. DIA lah satu-satunya penyelamat istriku.”

“Aku ingin sekali memelukmu, yah, sudah begitu lama aku ingin sekali saat-saat seperti ini.” Lalu kudekati sosok yang sangat kukasihi itu. Aku merangkul dan mendekap ayahku erat. Tak ingin rasanya melepaskan pelukan dari tubuh ayahku yang terlihat tua, tapi masih sama persis ketika ia meninggalkanku sewaktu mau ke luar negeri.”

Tiba-tiba aku teringat dengan Lena. Apakah ia sudah bangun sepagi ini? Ingin sekali aku mempertemukannya dengan ayah yang sudah puluhan tahun terpisah denganku, dan yang hanya dikenal Lena lewat foto-foto dan video kenangan. Kini kesempatannya untuk mempertemukan ayah yang sudah kembali dengan Lena yang sudah sembuh dari sakitnya, dan sudah sadarkan diri itu. Inilah moment paling bahagia dalam hidupku. Saat-saat terindah, ketika aku boleh mempertmukan ayahku yang sudah lama hilang dengan istriku tercinta yang sembuh karena mujizat.

Aku berniat membangunkan Lena, tapi niatku seketika terhenti karena tanpa kusadari di rumahku sudah dipenuhi banyak orang. Ada apa ini? Apakah mereka semua tahu bahwa ayahku sudah kembali dan mau datang mengucapkan selamat?

Perlahan-lahan pandanganku terhenti ke sosok ibuku yang sementara menangis dengan wajah yang sembab dan pucat.

“Ada apa bu? Kenapa ibu menangis?” Aku bertanya pelan, tapi sepertinya ibu tak mendengarku, mungkin kesedihannya amatlah dalam. Aku tak mau mengganggunya dulu.

Nah, itu Lena, ia lagi duduk di samping pembaringan kita. Matanya teduh tapi berkaca-kaca, sepertinya ia juga baru habis menangis. Kamar tidur kami serasa seperti ruangan kesedihan. Dingin. Dan dipenuhi aroma-aroma bunga sedap malam, kemboja, dan entah apa lagi. Aku merinding sendirian dengan sensasi yang kudapati saat itu.

“Lena, kenapa kamu menangis seperti ibu?” Ia tak menjawab.

“Lenaku sayang, aku ada kabar gembira, ternyata ayah sudah pulang dan akan kukenalkan kau pada ayahku. Ayah kita. Sini, ayolah Lena, apapun kesedihanmu itu aku mohon simpan dulu barang sebentar saja. Ini adalah hari bahagia kita karena ayahku sudah pulang, Len.”

Lena diam membisu dalam isakan tangisnya yang terus terdengar. Ia sepertinya tidak menggubrisku. Aku mulai curiga. Ada apa sebenarnya ini.

Hingga akhirnya aku sadar dan menemukan jawabannya. Aku menemukan jawabannya setelah melihat tubuhku sendiri terbaring kaku dengan senyuman di bibir. Aku melihat jasadku sendiri di atas pembaringan tua itu. Jasad itulah yang sementara diratapi ibuku terkasih, dan istriku tercinta. Tubuhku memang sudah sangat lemah sewaktu mujizat itu hadir dalam diri Lena. Aku sudah merasa sangat bahagia karenanya, hingga dalam sebuah doa singkatku tadi malam aku sudah mengatakan padaNYA, “Kalau pun suatu ketika Engkau mau memanggilku, menggantikan istriku yang sudah sembuh, aku siap.”

Ada perasaan tak karuan dalam jiwa tak memiliki raga ini. Di ujung sana kulihat ayahku berdiri membuka tangannya lebar-lebar. Mungkin ia menanti aku kembali bersamanya. Dan dadaku dipenuhi rasa rindu yang amat sangat setelah puluhan tahun berpisah dengannya. Sementara di dunia yang lain, ada yang begitu kehilangan aku. Di ujung pembaringan tua itu, kulihat dua sosok yang sangat mencintaiku lagi menangisi dan saling berpelukan satu dengan yang lain. Aku memang sudah siap apabila dipanggil Tuhan, tapi aku juga tak bisa membohongi diriku sendiri bahwa aku mengasihi istri dan ibuku dengan amat sangat.

Sulit bagiku untuk memilih antara kau dan ibu atau ayahku, Lena. Tapi aku memang tak bisa memilih lagi. Aku sangat bahagia sudah melihat kau sembuh secara total oleh mujizatNya. Aku juga senang sudah dipertemukan kembali dengan ayahku, walau pada dunia yang lain. Napasku sudah semakin cepat berburu. Sungguh, adegan-adegan ini sangat melelahkan jiwaku. Tapi pilihan sudah ditentukan. Bukan olehku, tapi olehNya. Oleh DIA Sang Pemilik hidup. Aku tak akan pernah bisa kembali lagi ke sisi kalian di dunia ini. Maafkan aku pergi meninggalkan kalian begitu cepatnya dan tanpa pamit. Aku telah pergi dan tak mungkin kembali, Lenaku sayang. Aku yang tadinya paling tidak suka ditinggal pergi, sekarang justru akulah yang meninggalkan kalian. Betapa egoisnya aku. Tapi bukan aku yang memiliki kehendak. Masih ada yang lebih berkuasa mengatur semuanya dan segalanya.

Kemudian jiwaku yang tadinya dingin terasa hangat. Ayahku sudah memelukku dengan eratnya. Sementara Lena menangis di pelukan ibuku, di ujung pembaringan tua itu. Dokter yang sudah ada di situ mencatat jam kematianku 3.20 WITA. Aku berteriak untuk yang terakhir kalinya, "Aku akan merindukan kasihmu, cintamu, kehangatanmu, dan perhatianmu Lena." Tapi lagi-lagi Lena tak sanggup mendengar suara serakku, suara teriakanku yang paling keras, melainkan hanya terus menangis. Menangisi kepergianku.

***

Michael Sendow.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline