Ketemu Dedi Gumelar. Membaca Cara Pinter Buat Pinter?
[caption id="attachment_141159" align="aligncenter" width="659" caption="Koleksi bukunya masih kurang. "][/caption]
Belasan tahun yang lalu ada sebuah grup lawak yang begitu sering dan sangat suka saya tonton, mereka menamai grup itu Bagito Grup. Bagi saya mereka luar biasa lucu, tapi lucunya sangat intelek. Lawakan yang berwawasan dan bernas. Entah karena mereka suka baca atau karena apa saya tidak tahu persis. Yang pasti, isi lawakan mereka bagus dan berisi. Salah satu personelnya adalah Miing (Mi’ing) atau Tubagus Dedi Suwendi Gumelar.
Nah, secara kebetulan kemaren ketika lagi asyik-asyiknya membaca sebuah buku di perpustakaan daerah di Tikala Manado yang berlokasi hanya beberapa meter dari Kantor Walikota. Biasalah, saya membaca di situ dalam rangka mengisi waktu luang sekaligus lagi membuat survey kecil-kecilan. Memang saya senang sekali ‘nongkrong’ di perpustakaan itu karena sepi. Sepi suara dan sepi pengunjung. Menurut hemat saya membaca itu bukan lagi sebuah kebutuhan sekunder, tapi sudah menjadi kebutuhan primer. Tanpa membaca kita akan mati. Iya, pengetahuan dan wawasan kita mati secara mengenaskan.
Siang itu sementara sibuk dan begitu menikmati bacaan saya, tiba-tiba dari arah pintu masuk terdengar sedikit keributan. Saya pikir tumben ada anak-anak sekolah masuk perpustakaan nih? Biasanya hampir tidak ada satu siswa pun saya lihat di situ. Tapi dugaan saya meleset, itu bukan suara anak-anak sekolahan tapi ternyata suara dari rombongan anggota komisi X DPR RI yang lagi mengadakan perkunjungan. Sosok yang pertama muncul dari pintu masuk ya itu tadi si Mas Dedi Gumelar. Dibelakangnya ada beberapa anggota lain yang tidak saya kenal, kecuali pemimpinan rombongan yaitu wakil ketua komisi X, Pak Utut Adianto (Mantan GM catur terbaik milik Indonesia).
Waktu mereka masuk yang lagi duduk baca di ruangan baca utama hanya dua orang, saya dan seorang bapak. Saya melihat Mas Dedi celingak-celinguk kiri kanan, lalu ia menengok ke atas, “Wah bahaya itu” sambil menunjuk-nunjuk ke loteng yang rusak dan basah oleh air hujan. Ia terlihat memberi sedikit pengarahan kepada kepala perpustakaan nasional daerah yang juga hadir dan beberapa staff-nya. Kemudian beliau berjalan-jalan mengelilingi rak-rak buku yang ada di sekitar situ.
Tiba-tiba beliau berjalan mendekati tempat dimana saya berada. Saya lalu bicara keceplosan “Eh, Miing ya?” Mudah-mudahan beliau tak mendengarnya, kan sekarang sudah anggota dewan. Ia menoleh dan berkata “Anda siapa?”
Saya bilang, “Saya pembaca buku di tempat ini”
Beliau melanjutkan, “Dapat bukunya?”
“Dapat kok. Nih saya lagi baca bukunya” Nyari bukunya dengan susah payah sih, tapi dapat juga. Bukunya sudah agak lapun dimakan usia.
Lalu Dedi Gumelar menjelaskan panjang lebar tentang kedatangan mereka (Komisi X) yang membidangi pendidikan, pemuda, olahraga, pariwisata, kesenian, dan kebudayaan serta perpustakaan nasional.
Saya sempat tanya ke beliau mumpung ada kesempatan, “terus apakah memang ada dana dari pusat untuk semua perpustakaan di daerah-daerah?”
Secara diplomatis ia mengatakan bahwa memang ada anggaran yang diambil dari APBN untuk dikucurkan. Tapi tentunya sesuai ketentuan-ketentuan yang berlaku.
Ia juga menyentil masalah kurangnya buku di perpustakaan itu. Makanya saya bilang “Lho, kalau begitu tolong usahakan ke pusat sana supaya kirimlah buku sebanyak-banyaknya ke daerah-daerah.”
Dedi Gumelar dengan berapi-api mengatakan: “Minat bacanya juga dong yang harus ditingkatkan dulu baru minta buku” Mungkin beliau melihat minimnya jumlah pengunjung yang datang di perpustakaan daerah itu. Hanya dua pembaca saat itu. Menurut catatan saya, bahwa di ruangan baca utama itu hanya tersedia 16 kursi menghadap meja, itu pun masih terlalu banyak dibanding pengunjung yang datang. ‘Hanya’ 16 kursi tapi masih terlalu banyak? Luar biasa. Bahkan tak jarang ruangan itu terlihat kosong melompong. Hanya petugas yang bolak-balik merapikan rak yang memang sudah rapi karena belum disentuh siapa pun.
Menurut Dedi, minat baca anak-anak muda sudah semakin menurun dikarenakan semakin banyaknya fasilitas internet dan segala macam media sosial maupun media aktualisasi diri apapun yang semakin marak saat ini. Terlebih media seperti FB, Twitter, dan masih banyak lagi. Begitu digemari. Sangat disukai.
[caption id="attachment_141160" align="aligncenter" width="666" caption="Itu noh....tempat bacanya bukan di situ harusnya! Masak langsung berhadapan dengan pintu masuk sih? Pindahin dong biar entar nggak terganggu sama yang keluar masuk...(Dok.Pribadi)"][/caption]
Lalu ia juga mengkritik letak ruang baca utama yang berhadap-hadapan langsung dengan pintu masuk.
“Itu kurang bangus dan tidak seharusnya di situ.”
“Lho tapi kenapa?” Tanya saya.
“Lha, ya tidak cocoklah, tadi mas sendiri pasti merasa terganggu kan ketika kami masuk? Jadi tidak seharusnya berada di dekat pintu masuk, karena sudah pasti keluar masuk orang akan mengganggu konsentrasi yang lagi membaca atau lagi belajar.”
Benar juga sih apa yang beliau bilang. Tapi memang selama ini saya belum merasa terganggu selama duduk membaca di situ, karena hampir tidak pernah ada orang lain yang datang.
Kalau perpustakaan-perpustakaan di Amerika, seperti beberapa tempat yang saya sering kunjungi sebut saja Metuchen Library, Edison Library, atau Iselin Library terasa sekali kenyamanan membacanya. Ada yang bahkan menyedikan ruang baca khusus dengan pendingin ruangan yang memadai. Fasilitas internet gratis juga disediakan. Ruangan harus as quiet as possible. Mungkin harus setenang kuburan di malam hari. Pokoknya kenyamanan dan ketenangan pembaca diperhatikan betul.
[caption id="attachment_141162" align="aligncenter" width="677" caption="Utut Adianto, pemimpin rombongan sementara memberikan penjelasan. Apakah buku tentang cara bermain catur sudah ada di perpustakan ini? Eeh, ada slogan di latar belakang tuh: Membaca Cara Pinter Buat Pinter "][/caption]
Saat ini kita harus semakin membudayakan budaya baca di masyarakat. Minat baca dan beli buku masyarakat memang berbanding terbalik dengan minat ‘cuci mata’ dan shopping barang-barang lainnya. Jangankan perpustakaan, toko-toko buku masih kalah jauh pengunjungnya dibanding toko-toko lainnya, bioskop, bahkan rumah makan.
Perpustakaan adalah sebuah ‘rumah baca’ atau ‘rumah belajar’, dan kalau dimanfaatkan secara optimal pasti akan banyak manfaatnya. Di perpustakaan daerah yang saya sering kunjungi itu ada slogan besar di spanduk yang melekat di dinding dekat pintu masuk (seperti terlihat di foto). Di situ tertulis demikian: “Membaca Cara Pinter Buat Pinter”.
Bukankah slogan itu benar sekali? Bahwa banyak membaca adalah salah satu cara pinter untuk menjadi pinter. Manalah mungkin wawasan kita semakin bertambah luas dan pengetahuan kita akan makin bertambah-tambah kalau kita malas membaca?
Salam Hormat dan Mari Membaca,
Michael Sendow.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H