Lihat ke Halaman Asli

Michael Sendow

TERVERIFIKASI

Writter

Miskin Tapi Bahagia?

Diperbarui: 26 Juni 2015   03:04

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Miskin Tapi Bahagia?

“Certain space where our lives overlap is the place that brings me the most understanding, the most peace, the nicest memories, and a joy that comes to my heart so constantly.”--------Mich.

Lopana, desa kecil di Minahasa Selatan adalah salah satu desa yang menjadi tempat perkunjungan saya. Bagi saya tempat ini sangat menarik baik kehidupan komunalnya maupun daya tarik wisata alamnya. Di pinggiran pantai yang menawan. Desa ini kebanyakan dihuni oleh warga yang berprofesi sebagai petani dan nelayan. Nah, dalam suasana yang bercampur aduk, saya berkesempatan menikmati bagaimana indahnya dan betapa asyiknya kehidupan di desa kecil itu. Sangat kontras dengan Manado yang hectic, Jakarta yang super busy dan apalagi Amerika yang luar biasa kaya serta serba semarak itu.

[caption id="attachment_123422" align="alignright" width="665" caption="Pak Fredy: Melaut adalah pekerjaan rutin dalam mencari nafkah. "][/caption]

Kali ini saya ingin sekali bercerita tentang hal-hal unik tapi indah yang boleh saya petik dari masyarakat pedesaan ini. Kehidupan yang memunculkan pertanyaan mendasar bagi saya dan sebagian orang. Dapatkah hidup dalam kemiskinan masih boleh memunculkan rasa gembira dan bahagia?

Pak Fredy, begitulah lelaki setengah baya ini biasa disapa. Ia hidup dan menghidupi keluarganya dengan menjadi nelayan. Istrinya menjual kue. Mereka memiliki 3 orang anak, dua di sekolah dasar dan yang tertua sudah masuk sekolah menengah. Saya banyak menghabiskan waktu bercerita, bercengkerama dan tukar pikiran. Keluarga desa yang bahagia. Menurut saya, kebahagiaan yang terlihat dan terpancar itu adalah gambaran sesungguhnya. Tidak dibuat-buat. Tidak pula ditutup-tutupi.

[caption id="attachment_123423" align="alignright" width="663" caption="Ia lagi bergaya di depan perahu mungil yang sangat di sayangi. Perahu mungil ini bagaikan istri ke-dua Pak Fredy. Dijagai, dibelai dan dirawat dengan amat sangat."][/caption]

Setiap pagi, kalau udara bagus dan tak berangin kencang  Pak Fredy akan dengan setianya pergi melaut. Katanya: “Inilah usaha saya untuk makan sekeluarga dan biaya sekolah anak-anak. Bahkan waktu masih muda saya bekerja di darat, laut dan udara!”

Wah, pikir saya, hebat juga lelaki ini pernah bekerja di AD, AL dan AU. Tanya saya kemudian “Pangkat apa Pak Fredy?” Ia hanya nyengir kuda dan berbisik pelan. “Maksud saya, waktu masih agak mudaan kerjaan saya rangkap tiga gitu. Di udara maksudnya sebagai tukang panjat pohon kelapa yang tinggi menjulang ke angkasa. Sekarang tidak lagi, kaki saya sudah muali gemetaran kalau manjat pohon kelapa. Jadi tinggal dua pekerjaan, yaitu di laut untuk nangkep ikan dan di darat nanem cabe.”

Kaget juga saya dengar bahasannya tentang darat, laut dan udara itu. Humoris juga Pak Fredy ini.

[caption id="attachment_123424" align="alignright" width="300" caption="Sarana memasak pun masih memakai tungku, atau orang Minahasa menyebutnya sebagai"DODIKA""][/caption] Lalu masih ada satu pertanyaan kecil saya, “Apakah Anda bahagia pun keluarga Anda dengan kehidupan seperti ini?”

Dengan senyum yang melebar lelaki itu menjawab “Bagi kami apa yang lebih membahagiakan daripada hidup yang cukup ini? Saya dan keluarga  tidak repot dan takut akan mati kelaparan. Hidup kami sudah cukup. Bagi kami ini sudah cukup dan patut disyukuri. Masih banyak yang mungkin lebih kurang dari kami, yang untuk makan pun mereka tak punya. Kami masih beruntung dalam kemiskinan kami ini”. Jawaban yang sungguh membuat saya terharu. Suatu keteladanan sikap yang patut ditiru dan pantas mendapat respek. Menghargai hidup dan anugerah. Mensyukuri berkat dan nikmat.

Saya memang menyaksikan juaga beberapa keluarga miskin lainnya yang berprilaku sama dengan Fredy dan keluarganya. Selalu menguap syukur dan hidup bahagia ditengah-tengah kekurangan dan kemiskinan mereka. Masih boleh tertawa riang. Masih dapat bersenda gurau. Dan lagi, masih mengamini kekuatan gotong royong dan saling menolong dalam hidup keseharian mereka.

[caption id="attachment_123425" align="alignleft" width="300" caption="MCK yang sangat sederhana..."][/caption] Desa Lopana ini lingkungannya berbudaya pedasaan. Sangat kentara. Untuk menyalakan api mereka membawa sabut kelapa dan minta bara dari tetangga (birman---dialek Manado). Jarum, gunting dan setrika saling pinjam. Bumbu-bumbu dapur dan rempah-rempah saling bertukar antar tetangga. Pokoknya “budaya kebersamaan” masih sangat kental. Hubungan dengan tetangga bersifat komunal. Hampir semua aspek hidup adalah komun.

Bandingkan di Jakarta atau New York yang bahkan tetangga sebelah bilik yang saling nempel pun tidak kenal-mengenal. Semua serba individual dan tak jarang sangat selfish.

Istri Pak Fredy sangat senang dengan kehidupan pedesaan mereka. Katanya suatu sore ketika ditanya apakah berniat pindah ke kota besar, “Saya merasa bahagia di desa ini. Kekeluargaan dan kebersamaan menjadikan hidup kami lebih berarti. Saya juga merasa cukup dengan apa yang sudah Tuhan berikan bagi kami di sini”. Ia bahkan mencotohkan tentang cerita seorang dokter yang kaya raya namun stress dan tak bahagia dengan kehidupannya di Jakarta, yang akhirnya pindah dan mengabdi ke desa mereka. Ia mengatakan lebih memilih menjadi penjual kue yang tak dibebani stress menumpuk dan tetap bahagia dalam keseharian mereka, daripada menjadi dokter yang memiliki harta menumpuk tapi juga stress dan beban menumpuk diliputi ketidakbahagiaan. Pilihan yang sah-sah saja tentunya. Apapun pilihan seseorang, pada dasarnya kebahagiaanlah yang mereka dambakan. Kebahagiaan menurut takaran mereka masing-masing.

[caption id="attachment_123426" align="alignright" width="300" caption="Rumah yang masih sangat sederhana di perbatasan Pantai Lopana."][/caption] Anak Pak Fredy dan Ibu Sherly semuanya bertumbuh menjadi anak yang baik. Anak perempuan mereka yang paling tua, setiap pulang sekolah, dengan kesadaran sendiri membantu ibunya menjualkan kue milik ibunya. Dari rumah ke rumah ia menjajakan kue itu, “Tante, kue tante? Om beli kuenya om? Beli dong….ayo beli, kue ibu saya pasti enak.” Memang kue pisang milik ibunya enak sekali. Saya termasuk saksi hidupnya. Tak bosan-bosannya saya makan kue itu. Luarbiasa. Apalagi sambil minum kopi asli, hasil dari biji kopi yang baru ditumbuk. Heeeeeem…Kopi Dunkin Donuts dan Fried Banana-nya Amerika lewat, man!

Pernah suatu sore, anak perempuan itu pulang dengan kue yang masih banyak sisanya. Di rumah, sang ibu, Pak Fredy dan saya lagi duduk bercerita di teras rumah. Saya ingat betul bagaimana raut kekecewaan yang membekas di wajah sang ibu. Kuenya banyak tersisa. Saya tahu ia tentu kecewa kuenya tak laku hari itu. Ia lalu memberikan sepotong kepada saya, Pak Fredy dan anak perempuannya itu. Kuenya enak, tapi sore itu seakan rasanya berubah menjadi pahit. Anak perempuan itu juga terlihat sangat memahami dan memiliki hati yang bijak. Ia mengerti ibunya bersusah payah menjajakan kue buat hidup dan sekolah mereka. Anak itu menggigit kue pisangnya perlahan dan seakan sulit untuk masuk ke tenggorokan. Saling pengertian dan saling memahami yang terlihat jelas dari bahasa tubuh dan air muka masing-masing mereka.

[caption id="attachment_123427" align="alignleft" width="300" caption="Panasnya minta ampun..."][/caption] Memang dalam memahami apa artinya kebahagiaan itu tidak pernah mutlak benar apa yang dirasakan seseorang itu. Bahagia menurut seseorang belum tentu adalah bahagia bagi orang lain. Ada yang mendapatkan kebahgiaan ketika ia hidup sederhana, mencangkul di sawah. Ada yang justru menderita kalau harus menjalani hidup seperti itu. Ada yang merasa bahagia oleh karena harta yang melimpah, ada yang bahagia kalau punya waktu bersama dengan keluarga bukan karena harta yang melimpah. Ada yang bahagia hidup di desa, sepi, sunyi, semuanya serba biasa-biasa saja, ada yang sebaliknya.

Aristoteles, seorang filsuf pendidikan Yunani yang hidup sekitar 300 sM mengatakan bahwa menurutnya kebahgiaan (eudaimonia) bukanlah suatu sikap yang berporos pada diri sendiri dalam arti mendapatkan kebutuhan dan keinginan sendiri. Menurutnya, kebahagiaan adalah penggunaan semua kemungkinan dalam diri seseorang untuk dijadikan kebahagiaan bagi orang lain. Kalau saya boleh mengistilahkannya sebagai “Transfer of happiness”. Kita menjadi bahagia atau lebih berbahagia apabila kita boleh membahagiakan orang lain. Kehidupan komunal dan budaya pedesaan itu sudah cukup menggambarkannya.

Sepertinya selama ini konsep kita tentang kebahagiaan mungkin terlalu sempit. Kita mengira bahwa kita menjadi bahagia bila kita memiliki ini atau itu. Padahal sebenarnya kita menjadi bahagia bila kita berbuat sesuatu untuk orang lain. Kalau kita menolong seseorang dan orang itu merasa sangat tertolong dan begitu senang, bukankah yang akan menjadi lebih senang adalah kita yang menolongnya?

Mengucap syukurlah dalam segala hal, sebab kita boleh mendapatkan kebahagian kapan saja dan di mana saja. Dan kebahagiaan kita akan menjadi sempurna bila itu dibagikan tuk menjadi milik orang lain juga.

Is anything more wonderful than putting a smile on another person’s face?

Michael Sendow.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline