Lihat ke Halaman Asli

Michael Sendow

TERVERIFIKASI

Writter

Kompasiana Dipaksa dan Terpaksa Jadi Bingung

Diperbarui: 26 Juni 2015   04:13

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Media. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Free-photos

Waktu itu manusia setengah baya bernama Kompasiana tiba-tiba terlihat sangat parlente dengan gayanya yang “maskulin”. Ia dengan gagahnya petantang-petenteng dengan rokok berasap tebal keluar dari mulutnya. Tidak peduli siang atau malam, asap rokoknya terus terlihat. Akhirnya ia digugat para tamu, masyarakat sekitar bahkan oleh saudaranya sendiri. Apa gugatan mereka?

“Anda tidak layak merokok di tempat umum!” Mereka berdalih bahwa rumah bernama kompasiana yang sehat-sehat saja bakalan jadi sakit, dan cenderung menyebarkan penyakit itu ke puluhan ribu masyarakat sekitar yang entah bersinggungan langsung pun yang tidak. Selama seminggu ia dihujam kritik yang halus bagai bulu kucing maupun yang keras tajam bagai duri landak. Anehnya, para saudagar, pengusaha, pendidik, ekonom, penyair sampai ahli hukum menggugat sesuatu yang keliru. Lho kenapa keliru? Lha iyalah, wong ia merokok di rumahnya sendiri kok. Untunglah nurani Kompasiana masih lebih menonjol kala itu. Ia pun memutuskan untuk berhenti merokok secara total. Bahkan bungkus rokok yang masih penuh akhirnya jadi makanan tikus got. Semuanya dibuang. Tidak peduli menurunnya kredibilitasnya di mata sang pemberi rokok, penjual rokok, produsen rokok. Toh, semuanya ini demi kebaikan bersama? Begitu mungkin ia berpikir.

.

Minggu pun berganti minggu, lalu Kompasiana yang tadinya terlihat maskulin dengan rokok di mulutnya kini “berbenah” diri dan terlihat “feminin” dengan gaya rambut panjang, hitam, lurus dan halus itu. Elok rupawan wajahnya kini. Kepalanya lebih segar tanpa ketombe berjenis kelamin apa pun yang melekat di rambutnya itu. Tapi tidak disangka tidak dinyana, ia kembali diserang kiri-kanan. Ada apa gerangan kali ini? Ia dikritik, dihujat, bahkan dipaksa-paksa untuk tetap membiarkan rambutnya berketombe. Kasarnya mereka mau bilang “buang saja shampoo anti ketombe itu jauh-jauh, ngapain sih pake shampoo segala!”

***

Pagi ini, samar-samar di kejauhan terlihat sosok tua berkumis dan dengan kepala yang mulai membotak tersenyum miris. Mungkin dalam hatinya ia sedang berpikir “ada-ada saja ulah orang-orang itu, begini salah begitu salah. Rokok dilarang. Shampoo pun dilarang. Apa sih maunya mereka itu?”

.

Mungkin rokok telah membakar amarah mereka, tapi ada apa dengan shampoo? Lalu ada satu sosok lain, seorang pemuda gagah tapi agak kurus, berkata: “Kalo saya mah nggak peduli mau dia shampoo kek, rokok kek, kondom kek, atau apa pun yang mau dipake asalkan jangan taroh di sembarangan tempat toh! Masak mau naroh botol atau bungkus shampoo harus di semua saku baju, saku celana bahkan di ketiaknya para tamu? Tarohlah di satu tempat khusus saja”

.

Nha lho, ada benarnya juga sih.

.

Note: Tulisan ini, selain disponsori oleh Anti Dandruff Shampoo, juga disponsori oleh:

.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H



BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline