Lihat ke Halaman Asli

Michael Sendow

TERVERIFIKASI

Writter

Buang Hajat di Kompasiana?

Diperbarui: 26 Juni 2015   03:55

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1309841678179551421

Buang Hajat atau Tabur Benih di Kompasiana?

[caption id="attachment_120659" align="aligncenter" width="680" caption="Menulis Sebagai Tabur Benih Tulisan? (Pic source: www.writeworship.com)"][/caption]

Menulis memang asyik. Bahkan ada yang bilang lebih asyik dari bercinta. Lho, apa benar? Mungkin ada yang bilang iya, ada juga yang membantahnya. Persoalannya sekarang adalah apakah kita dapat mempertahankan apa yang kita tulis? Pada kenyataannya masih banyak yang saya lihat menjadikan Kompasiana sebagai tempat buang hajat semata. Kenapa ya?

Oooh tentu saja ada alasannya kenapa saya bilang itu. Ada beberapa yang entah karena kesibukannya atau berbagai alasan lainnya, maka secepat ia mem-publish tulisannya secepat itu pula ia berlalu. Persis orang buang hajat. Artinya tidak ada satu komentar pun yang mau atau mampu ia jawab. Okelah kalau tulisan itu “hanya” puisi atau prosa pun catatan pribadi yang tidak terlalu penting dikritisi. Masih bisa dimengerti. Masih bisa dimakalumi kalau sang penulis tidak mereply pertanyaan yang masuk. Tapi manakala tulisannya adalah tulisan “sarat kritik”. Mengeritik sebuah lembaga, personel pemerintah, pejabat negara, yayasan-yayasan, individu seorang Kompasianer dan sebagainya itu, manalah mungkin sang penulis tidak memberikan jawaban balik, berbagai pertanyaan atas pernyataan-nya dalam tulisan tersebut? Manalah bisa semua komentar yang masuk dianggap angin lalu? Tidak punya waktu?

Kalau kita menulis berdasarkan fakta, kenapa lalu hanya seperti buang hajat? Tidak mau atau tidak mampu membalas komentar setiap mereka yang mempertanyakan kebenaran tulisan kita? Ada beberapa contoh saya lihat di Kompasiana ini, sang penulis dengan gagah perkasanya menuliskan kritiknya tentang suatu hal. Tapi tak satu pun pertanyaan komentator yang dibalasnya. Entah dia seorang yang maha sibuk, atau maha pintar sehingga merasa yang mempertanyakan pernyataan-nya hanyalah orang-orang bodoh. Tidak perlu dijawab. Tidak perlu dipandang sebelah mata. Atau mungkin saja sang penulis mau membungkus “kebodohan” dan “ketakutan”nya dengan aksi berdiam diri atau aksi sok tidak punya waktu menjawab? Aksi buang hajat lalu berlalu. Memberi kritik tapi tidak tahu atau tidak berani merespon?

Bukankah sama persis kalau kita buang hajat. Kita lepas begitu saja, bersih-bersih lalu berlalu. Tidak bakalan ada yang tengok-tengok balik jamban itu. Padahal dalam menulis, harus dianggap sebagai tabur benih. Apa yang kita tabur itu yang kita tuai. Dalam hal tabur benih tulisan, benih (baca: tulisan) yang kita tabur itu tentu akan selalu kita kontrol, tengok, siram, pupuki dan sebagainya. Bukan habis tabur benihnya, terus tidak pernah lagi kita tengok dan pedulikan. Dimakan tikus, burung dan hewan lainnya kita cuek saja. Mubazirlah apa yang kita tanam. Mubazirlah apa yang kita tulis.

All men should strive to learn before they die what they are running from, and to, and why. (James Thurber) I know well what I am fleeing from but not what I am in search of.  (Michel de Montaigne)

Ada yang bilang mungkin penulis yang tidak membalas pertanyaan balik para komentator adalah orang super sibuk. Aah, manusia macam apa di dunia ini yang tidak punya waktu beberapa menit saja untuk mempertahankan tulisannya dengan menjawab komentar, sesibuk apa pun dia. Lha iya lah, kalau sibuk kenapa masih bisa menulis tulisan panjang lebar tentang sesuatu hal? Penuh kritikan pedas pula. Tapi ketika ditanyai balik, hanya diam seribu bahasa. Apa karena tulisan dan atau kritikan tersebut omong kosong belaka atau? Orang sesibuk Marzukie Ali yang ketua DPR saja ketika mempublish tulisannya di sini, masih ada waktu membalas komentar maupun kritikan rekan-rekan kompasianer.

Saya jadi teringat di suatu forum diskusi (ForDis) online, ada seorang “ahli kritik” (setingkat kritikus ulung), tinggal di Oklahoma, ia menulis sebuah pernyataan tentang betapa bobroknya Indonesia. Ia juga menulis tentang sebuah organisasi besar yang katanya lagi berusaha menggoyang pemerintah dengan melatih pemuda-pemuda dan mahasiswa. Ratusan komentar mempertanyakan kesahihan tulisannya. Tidak satu pun yang ia jawab. Tiga minggu berlalu, dan ia muncul dengan jumawa-nya dengan menulis “Kalian tidak perlu mempertanyakan apa yang saya tulis. Just shut up! I know better than all of you guys.” Wow..wow…wow..tunggu dulu! Kening saya langsung mengerenyit. Ini orang memang maha tahu sehingga sangat “berkuasa” dengan mengatakan “I know better than all of you guys” atau justru lagi mengidap penyakit superbus ventosa super akut! Lalu tanya saya: Om berapa lama tinggal di Indonesia dan apakah organisasi yang om sebutkan memang om yang bentuk sampe-sampe sebegitu yakinnya? Tidak ada balasan. Om itu bagai di telan bumi. Hampir setiap mengeritik sesuatu ia tidak pernah memberi tanggapan balik semua yang mempertanyakan pernyataan-pernyataan itu. Gemar sekali buang hajat. Mengotori etika kritis lewat tulisan online.

Membalas komentar yang mempertanyakan apa yang kita tulis itu penting oleh karena: - Setiap komentar yang kita balas akan membuat pengunjung berpikir jika kita memang menguasai apa  yang   sudah kita tuliskan. Itu berarti kredibilitas kita sebagai penulis tidak akan mendapat keraguan. Kalau  kita diam seribu bahasa, tanggapan pembaca pasti lain. Sangat mungkin orang akan berpikir kalau kita memang tidak menguasai apa yang kita tulis.

-Meyakinkan pembaca bahwa apa yang kita tulis (yang penjadi pokok argument) adalah fakta atau mendekati kebenaran sesuai kompetensi kita.

-Tidak dianggap mengidap superbus ventosa.

-Dihargai secara intelektual dan dihormati sebagai penulis bertanggungjawab.

-Mengeliminer tindakan buang hajat di blog (lapak) dan justru menggenjot upaya tabur benih.

Pilihan ada di tangan kita, menulis sekedar buang hajat atau berupaya menabur benih. Benih pertanggungjawaban, benih kebenaran, benih pertemanan, benih kesuksesan, benih faktualitas, benih pembelajaran dan masih banyak lagi. Sekali kita sudah berniat menulis dan mempublish tulisan, apa pun konsekwensi yang mengikutinya harus siap dihadapi. Termasuk memberi jawaban atas pertanyaan kritis para pemberi komentar.

Yang menarik lainnya:

Langsung Publish Tulisan?

Perbudakan Musuh Peradaban!

Wassalam.

Michael Sendow.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline