Lihat ke Halaman Asli

Michael Sendow

TERVERIFIKASI

Writter

Hospice: Sudahkah Anda Siap Menyambut Kematian?

Diperbarui: 26 Juni 2015   04:11

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

[caption id="attachment_116223" align="alignright" width="300" caption="NO SECRET: Everybody Will Die. Sooner or Later. Dead"][/caption] Kematian bagi manusia masih merupakan sesuatu yang menakutkan.Bahkan tidak jarang kita menolak kematian sebagai sesuatu kemestian yang bakalan datang menjemput kita, cepat atau lambat. Kematian tak disukai pun tak bisa dielak. Banyak usaha manusia untuk “memperpanjang” hidup. Tapi tak ada satu tekhnologi atau usaha apapun yang dapat membuat hidup manusia itu abadi. Kematian adalah hal yang pasti. Suka atau tidak, akan datang waktunya bagi setiap kita untuk mengalaminya.

Di Amerika ada asosiasi bernama The Hospice Association of America (HAA). Organisasi berskala nasional ini adalah wadah yang menampung ribuan orang, pekerja dan sukarelawan yang bekerja dan memberi diri untuk pelayanan di setiap hospice yang ada di Amerika. Organisasi ini semakin popular dan didukung banyak pihak, termasuk anggota senat dan kongres di Capitol Hill.

Mungkin ada pertanyaan apa sih Hospice itu? Secara umum hospice adalah tempat berteduh atau tempat peristirahatan bagi para pendatang, pengungsi dan bagi yang membutuhkan. Tapi ada arti lainnya yaitu: Suatu program yang melaksanakan fungsi penyediaan sarana tempat inap dengan pelayanan super khusus, termasuk pemberian motivasi, kebutuhan spiritual bagi mereka yang sudah sekarat. Pelayanan yang diberikan bukan di rumah sakit tapi di tempat khusus yang sangat berbeda. Tempat yang tidak mencerminkan “rasa sakit” tapi “rasa nyaman”.

[caption id="attachment_116224" align="aligncenter" width="530" caption="Ruangan Hospice yang mirip kamar hotel"][/caption]

Saya sudah berkali-kali menjenguk kerabat dan kawan yang sudah sekarat di hospice. Haven Hospice di kota Edison, NJ adalahtermasuk salah satu yang terbaik. Saya kagum dengan semua fasilitas dan pelayanan yang diberikan di Hospice ini. Selain pasien diberikan fasilitas yang bagaikan tinggal di kamar hotel, semua keinginannya pun bakalan disetujui. Mau makan selezat apa pun pasti diberi. Karena memang salah satu tujuannya adalah “memanjakan” pasien di akhir hidupnya. Biasanya mereka yang dikirim ke hospice adalah yang benar-benar sudah tak terobati. Sekarat. Terminally ill.

Kematian memang masih menjadi momok yang menakutkan. Siapa diantara kita yang merasa nyaman duduk berjam-jam lamanya di tengah kuburan? Apalagi kalau hari sudah gelap. Lalu mana ada orang sengaja pasang iklan: “Dicari rumah yang terletak di sebelah atau di depan kuburan?” Perusahaan real estate atau housing developer menawarkan perumahan dengan lokasi pemandangan menghadap ini dan itu dengan sebutan Lake View, Mountain View, Park View, Ocean View, River View atau lainnya. Mana ada perumahan yang berlabel Cemetery View ( Pemandangan Pekuburan).

Kita juga tidak senang berlama-lama di kamar jenazah dan mau berlama-lama memandangi wajah jenazah yang pucat dan kaku, biasanya kita cepat-cepat buang muka dan berlalu.

Siapa pula yang merasa senang jika seandainya tetangga kita menitipkan sebuah peti jenazah, meski peti itu kosong dan baru sekalipun? Lihat saja kasus barusan, orang-orang geger mendapat kiriman peti mati. Karyawan Kompas pun dikiriman, apa ada yang senang? Mereka semua protes bahkan ada yang menuntut balik sang pengirim. Kita membeli furniture ini dan itu untuk jadi pajangan di rumah. Tetapi apakah kita akan meletakkan sebuah peti jenazah sebagai furniture hiasan di kamar makan atau kamar tidur?

Pernah ada kawan ibu saya yang sudah menderita penyakit parah selama 7 tahun. Dokter sudah angkat tangan. Menyerah. Rupa-rupanya ibu ini sudah punya firasat bahwa usianya tak bakalan lama lagi. Ada berbagai pesan yang hendak ia ucapkan. Tapi setiap kali ia berbicara soal kematiannya, suaminya tidak mau mendengar, “Jangan bicara yang aneh-aneh deh ma.” Anaknya juga bersikap sama, “Mama nggak akan meninggal.” Bahkan dokternya pun tidak mau jujur dan berusaha menenangkan, “Ini hanya kelainan biasa kok bu.” Lalu apa akibatnya? Ibu kawan saya tidak bisa bicara tentang kematiannya. Ia tidak diberi kesempatan untuk menyiapkan kematiannya. Setiap orang akan meninggal dunia, tapi sering kita kurang sreg dengan namanya kematian, makanya tidak ada yang pernah menyiapkan kematian, bahkan menolak kematian. Ibu ini justru sudah siap, tapi keluarganya tidak siap dan tidak mau membicarakannya. Rasa-rasanya harus ada waktu bahwa tiap orang belajar menyiapkan kematian, baik kematian bagi dirinya maupun kematian seseorang yang dikasihinya.

Tiga minggu kemudian ibu kawan saya jatuh pingsan. Ia betul-betul hampir mati. Tapi ia sadar lagi, dokter menyarankan untuk membawa ibu ini ke hospice. Menyiapkan kematiannya. Mendapatkan apa yang ia inginkan.

Memang budaya kebanyakan kita adalah budaya menolak kematian. Akibatnya, orang yang mendekati ajal dan juga keluarganya tidak tahu cara menyiapkan kematian. Padahal mungkin kekasih kita yang akan meninggal itu ingin sekali untuk menyiapkan dirinya sendiri dan keluarganya. Seperti ibu kawan saya tadi. Ia hendak mempersiapkan kematiannya bagi dirinya dan supaya keluarganya siap menerima kemungkinan itu.

Orang-orang yang “siap mati” di hospice itu terlihat lebih tenang. Mereka merasa nyaman dan dipuaskan. Banyak yang tidak membicarakan kematian mereka, bahkan mereka enjoy dengan suasana nyaman kamar mereka. Nonton tv, dengar musik, baca buku. Mereka masih sadar, tapi hidup mereka tinggal hitungan jari. Ada juga yang mempersiapkan secara matang seperti dengan mendamaikan diri dengan orang-orang di sekitarnya dan juga keluarganya, memberi petuntuk kepada rekan kerja tentang bagaimana meneruskan pekerjaannya, bagaimana menjalankan usaha-usaha tanpa dirinya lagi, merampungkan pekerjaannya, membagi miliknya, menyampaikan pesan-pesan dan masih banyak lagi.

Persiapan seperti itu hanya bisa dicapai kalau ada kejujuran dalam diri orang-orang yang bersangkutan. Kejujuran dalam melihat dan memahami kematian. Bukan penolakan dan penghindaran diri. Ada satu buku yang dapat menolong kita mempersiapkan diri menghadapi kematian. Buku itu berjudul Ketika Kekasih Mendekati Ajal---Pedoman Bagi Para Keluarga, memang sih sepertinya terlihat aneh. Untuk apa buku tentang kematian? Tapi buku ini menolong kita untuk jujur terhadap kenyataan.

Buku yang dikarang oleh Dr.Ruth Kopp ini memang adalah terobosan dalam masyarakat kita yang cenderung mengelak untuk berbicara tentang kematian. Ruth Kopp adalah seorang dokter spesialis bagi penyakit mematikan, ia tinggal dan bekerja di negara bagian Illinois Amerika. Pada halaman pertama bukunya tertulis:

“…kita menghadapi rasa takut terhadap kematian, dengan menolak kenyataan kematian itu sendiri….orang yang telah mendekati ajal dipisahkan…tinggal sendirian hampir sepanjang hari, sampai dia meninggal….tanpa ada sepatah kata pun diucapkan mengenai apa yang terjadi padanya.”

***

Kemarin saya mendapat kabar dari kawan saya bahwa ibunya sudah meninggal dunia. Ia meninggal dengan tenang. Kematian memang memilukan, tapi merupakan kenyataan. Kalau kita pernah hidup, maka kita juga akan mati.

Michael Sendow.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline