Lihat ke Halaman Asli

Michael Sendow

TERVERIFIKASI

Writter

Menertawai Diri Sendiri (II)

Diperbarui: 26 Juni 2015   04:51

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

[caption id="attachment_112403" align="alignright" width="300" caption="Mari Tertawa. https://zipoer7.wordpress.com"][/caption]

Menertawakan orang lain memang gampang. Bahkan sangat gampang. Tapi bagaimana dengan menertawakan diri sendiri? Belum tentu. Padahal menertawakan diri sendiri juga penting bahkan perlu sebagai suatu langkah refeksi. Kita menertawakan semua bentuk keteledoran dan kesalahan serta kegagalan kita untuk masuk pada pembaharuan diri. Supaya kita boleh lebih maju lagi. Lebih bagus lagi. Menertawakan diri sendiri adalah cerminan kearifan kita memahami hidup. Bukankah setiap kita butuh cermin? Dengan cermin kita melihat apa yang tidak bagus, lalu kita mengambil sikap dan tindakan nyata untuk memperbaiki apa yang tidak bagus itu. Kalau kita sanggup menertawakan diri sendiri, berarti kita sanggup dan mampu mengoreksi diri kita. Jangan cuma bisa menertawakan orang lain. Mengoreksi kesalahan dan kekeliruan orang lain. Silahkan lihat... Pentingnya Menertawakan Diri Sendiri Bagian I.

Hampir setiap kita suka melihat cermin. Tiap hari kita menatap  cermin. Bahkan berkali-kali dan berulang-ulang. Ada pula yang duduk di depan cermin sampai setengah jam. Lihat depan, lihat pinggir. Angkat alis, angkat bibir, hidung digerak-gerakkan, bibir dimanyun-manyunkan. Rambut diurai, rambut disisir. Jenggot dirapihkan, kumis dipotong.

Cermin memang bermanfaat. Tiap orang memerlukannya. Rumah manakah yang tidak ada cerminnya? Di kamar tidur ada cermin. Di tempat cuci tangan ada cermin. Di kamar mandi pun ada cerminnya. Apakah yang ingin kita lihat di cermin? Wajah kita. Penampilan kita. Dengan bantuan cermin kita memeriksa kerapihan dan keapikan kita.

Memang, cermin bisa diandalkan. Ia selalu berterus terang. Ia menilai kerapihan dan melaporkannya sebagai mana adanya. Laporan yang tidak dibuat-buat. Sesuai aslinya. Tanpa tending aling-aling cermin berkata, “Tante, bedaknya cemong. Lipsticknya miring. Garis alisnya tinggi sebelah. Eye shadownya nggak sama rata. Rambutnya amburadul.” Atau, “Om, kumisnya terlalu gondrong, jenggotnya amburadul nggak karu-karuan, dasinya miring, kemeja putihnya ada titik noda hitam.”

Bagaimana kita menanggapi laporan dari cermin? Kita langsung menindaklanjutinya. Kita langsung merapikan apa yang belum rapi. Memang itulah tujuan kita melihat cermin, yaitu menemukan ketidakberesan lalu langsung membereskannya. Akan jadi aneh kalau kita dapati lewat cermin wajah kita yang cemong, namun kita tidak membersihkannya. Tida ada reaksi, kita pergi begitu saja dan berhadapan dengan orang banyak. Lalu apa gunanya cermin, kalau kita melihat sesuatu yang tidak bagus di diri kita tapi kita tidak menggubrisnya?

Menertawakan diri kita persis sebagai cerminan kita. Cerminan akan semua kegagalan, kesalahan, ketidakbecusan, kealpaan yang sudah kita lakukan. Lalu apa? Tentu kita akan bertindak bukan? Jangan diam saja. Lakukan langkah-langkah konkrit untuk memperbaiki semuanya itu. Dengan begitu, barulah menertawakan diri sendiri itu jadi bermanfaat. Ada faedahnya.

Saya kembali punya cerita tentang Nasrudin, seorang tokoh terkenal pada abad 14. Ia merupakan tokoh yang selalu bercermin dan mengambil hikmah atas perjalanan hidupnya. Ia begitu lugu namun karena keluguan dan kesederhanaanyalah maka setiap pesannya terbaca dengan jelas dan gamblang. Ada begitu banyak anekdot dan satire dari si Nasrudin ini.

Keluguan Nasrudin itu juga yang membuat pesan kebenaran Nasrudin menjadi ampuh. Coba simak anekdot ini. Nasrudin sedang berdiri di depan pasar yang ramai. Orang lalu-lalang kiri-kanan. Temannya bertanya, “Mengapa tidak diatur saja berjalan ke arah yang sama?” Nasrudin menjawab, “Kalau semua orang berjalan ke arah yang sama, dunia ini akan miring dan berat sebelah.” Kebenaran apa yang tersembunyi di balik anekdot ini? Bahwa keselarasan tercipta bukan melalui penyeragaman, melainkan justru melalui kemajemukan.

Simak juga cerita satu ini. Ada seorang pemuda makan sebutir telur rebus di warung. Sesudah makan ia pergi tanpa membayar. Setahun kemudian ia kembali lagi untuk membayar. Tetapi pemilik warung berkata, “Memang uangmu ini cukup untuk membayar sebutir telur rebus. Tetapi kamu harus bayar seratus kali lipat, sebab dalam kurun waktu setahun telur itu bisa menetas menjadi ayam dan ayam itu bertelur dan telur itu menjadi ayam lagi!” Pemuda itu tidak bisa menerima alasan tersebut. Dibawalah persoalan ini ke pengadilan. Lalu pengadilan memanggil Nasrudin untuk memberi kesaksian. Lama sekali Nasrudin ditunggu, ia sangat terlambat. Hakim pun menegur, “Nasrudin, mengapa terlambat?” Nasrudin menjawab, “Maaf, Tuan Hakim, aku terlambat karena aku sedang merebus benih gandum untuk ditanam.” Hakim itu langsung menegur, “Aneh betul, masakan benih gandum yang sudah direbus bisa ditanam dan menghasilkan gandum?” Nasrudin menjawab, “Memang aneh, sama anehnya dengan sebutir telur yang sudah direbus tetapi bisa menetas menjadi ayam.”

Kalimat Nasrudin seakan menampar semua yang hadir di ruang sidang itu. Termasuk si Tuan Hakim. Kenapa masih mau mengadakan sidang yang sudah jelas-jelas tidak perlu.

Karena tertawa itu penting, marilah kita tertawa.

Baca juga:

Pentingnya Menertawakan Diri Sendiri Bagian I.

Salam Tawa Bijak,

Michael Sendow.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline