Lihat ke Halaman Asli

Michael Sendow

TERVERIFIKASI

Writter

Aku Ditolak karena AIDS

Diperbarui: 26 Juni 2015   05:57

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

[caption id="attachment_106219" align="aligncenter" width="500" caption=" AIDS telah mengambil hidup lebih dari 23 juta laki-laki, perempuan dan anak-anak di seluruh dunia. Dengan estimasi 42.3 juta orang di dunia ini sementara hidup dengan mengidap penyakit ini, yang paling menakutkan adalah bahwa prediksi sementara sepertinya hendak menyatakan  ini barulah permulaan dari AIDS epidemik. Dan tanpa aksi nyata serta menyeluruh, global epidemik ini akan berlanjut untuk membunuh jutaan lainnya."][/caption] Ketika itu aku baru berusia 18 tahun. Barus saja aku lulus tes penerimaan beasiswa ke Amerika Serikat. Pada saat itu aku mendapat peringkat nomor 2 dari lima orang yang dicari. Seleksi waktu itu diikuti ribuan peserta seIndonesia. Mereka hanya butuh lima orang. Bukan sombong, aku memang murid SMU peringkat pertama di tingkat provinsi. Tapi baru saja aku bersorak gembira, tiba-tiba ada kabar yang membuatku lemas. Aku dipanggil panitia penyeleksi, di tangan mereka ada amplop berwarna krem berlogo laboratorium kesehatan. Ternyata ada berita buruk dari hasil pemeriksaan kesehatanku. Ya, aku mengidap HIV/AIDS. Hasil kelulusanku pun dibatalkan. Aku gagal mendapatkan beasiswa itu.

Ibu dan ayahku panik dan kecewa berat. Kami sekeluarga juga langsung dimintai untuk periksa darah. Hasilnya lebih mengejutkan lagi. Ternyata bukan cuma aku, melainkan adik perempuanku yang paling bungsu dan masih berusia 7 tahun juga mengidap AIDS. Yang luput hanya ibuku, ayahku dan kakaku yang berusia 20 tahun. Kami betul-betul dirundung malang.

Padahal dua bulan sebelumnya kami terkena musibah. Adiknya ayah dan adiknya ibu, mereka berdua ditembak dan jenazah mereka ditemukan di pinggir selokan dekat sungai. Rupa-rupanya sebelum tertembak, mereka berdua baru saja menghadiri rapat sebuah organisasi sosial yang menentang pencemaran lingkungan, dimana biangnya adalah sebuah pabrik besar milik pejabat tinggi. Ayah adalah seorang aktivis lingkungan hidup demikian pula adiknya dan adik ibuku. Kepala polisi yang adalah sahabat kami berbisik, “Pengusutannya sulit, sebab pabrik ini milik pejabat tinggi dan orang dekat pihak yang berkuasa.”

Nah, itu terjadi 18 tahun lampau. Sejak itu hidup kami jadi penuh derita dan nestapa. Penyakitku makin mengganggu. Tetapi selain derita fisik, kami terpukul lebih berat dengan derita batin. Rasanya dunia seperti kiamat, sebab hampir semua orang membuang muka. Tidak ada yang mau mendekat pada kami. Kami dianggap najis.

Untunglah ibuku masih tetap bekerja. Ia adalah guru honorer sekolah menengah. Keberuntungan bahwa ibuku masih bekerja juga tak berlangsung lama. Sungguh menyakitkan sikap lingkungan terhadap kami. Lingkungan sekolah di mana ibu bekerja maupun lingkungan sosial sekitar kami tidak pernah memandang kami selayaknya memandang manusia. Sebab pada akhirnya juga ibuku harus terdepak. Di suatu pagi ia menerima sepucuk surat dari kepala sekolah. Bunyinya, “Ibu Send… yang terkasih, kami sangat menghargai perjuangan ibu dan usaha-usaha ibu di sekolah kami. Namun, Tuhan ingin memakai guru-guru muda yang lain untuk melayani di sekolah kami, oleh sebab itu, masa jabatan ibu sebagai guru honorer di sekolah ini tidak kami perpanjang lagi. Kami berdoa kiranya Tuhan akan menempatkan ibu di sekolah lain yang sekiranya membutuhkan keahlian ibu. Karena Tuhan itu baik. Ia maha pengasih lagi penyayang.” Wah, surat manis, yang penuh dihiasi nama Tuhan!

Akan tetapi, yang lebih menyakitkan hati adalah bahwa di belakang kami, kepala sekolah dan para guru lain mencemooh kami dan menjadikan penyakitku sebagai bahan olok-olokan. Mereka mengatakan, “Penyakit AIDS itu adalah akibat dosa. Dan upah dosa adalah maut. Penyakit adalah kutukan. Sia-sia untuk berobat ke dokter manapun.” Aku bingung, apakah kepala sekolah dan para guru itu bisa berpikir atau tidak? Apakah mereka masih memiliki otak warasnya atau tidak?

Yang juga mengecewakan adalah selain para guru, sekolah, tapi juga orang-orang hebat di lingkungan kami penuh dengan slogan muluk. Berkali-kali ada seruan dari mereka semua agar masyarakat harus solider dan membela penderita HIV/AIDS. Solider apa? Membela apa? Mana wujudnya? Ibuku malah dipecat secara halus dan aku disingkirkan secara tidak terhormat. Mengerti apa mereka itu? Mengerti duduk perkaranya saja tidak! Mereka tidak tahu bahwa bayi berusia tiga bulan yang tidak berdosa pun bisa terjangkit AIDS. Tahukah mereka bahwa karena begitu pedulinya dunia maka tanggal 1 Desember dijadikan sebagai hari AIDS. Dan tahukah mereka bahwa 5-10% penderita AIDS akibat alat suntik yang tercemar serta 3-5 % melalui transfusi darah yang tercemar? Jangankan membela, berjabat tangan denganku saja kepala sekolah dan mereka semua tidak mau. Begitulah mereka. Cuma pandai berpura-pura. Senyum sana senyum sini tapi hanya topeng belaka. Sebut-sebut nama Tuhan tapi cuma perhiasan saja, manis di bibir saja. Lain di bibir lain di dalam hati.

Sudah 18 tahun aku menderita lahir dan batin. Lalu pada suatu hari di Ibukota Jakarta, ketika aku baru selesai belanja di Plaza Indonesia, aku melihat kerumunan orang. Ada apa? Polisi yang lagi berjaga di lampu lalulintas rusak itu berkata, “Ada Dokter Hebat lewat”. Langsung aku mendekat dan ikut berdesak-desak. Benar, itu Dokter Hebatnya! Tinggi kayak bintang film Hollywood, hidungnya mancung dan rambutnya agak gondrong. Wajahnya serius dan kalau bicara suaranya agak ketus. Rombongannya bergerak maju. Aku berdesakan untuk mengejar. Aku berhasil mendekat dan seketika kupegang baju putih yang dipakainya.

Tiba-tiba Ia menoleh dan memandangi orang-orang disekitar lalu dengan galaknya dokter itu bertanya, “Siapa yang menjamah kemeja bersihku ini?” Aku langsung gemetar karena takut dan dengan lirih kujawab, “Aku, Dokter, maafkan aku Dok.”

Kemudian dokter itu menatap wajahku dengan tajam. Sambil setengah menunduk aku berkata, “Aku sakit AIDS sudah 18 tahun lamanya. Aku dianggap najis oleh masyarakat.”

Tapi hal berikutnya membuatku kaget luar biasa. Bukannya menghindariku, dokter itu malah mendekat dan memegang tanganku, memelukku dan memberiku pil yang sangat mujarab! Dokter itu benar-benar hebat. Begitu banyak rumah sakit sudah kukunjungi tidak ada satu yang mampu menyembuhkan sakitku. Dokter ini malah berkata, “Aku memberikanmu pil yang tidak ada duanya dan kamu pasti sembuh!”

Maka meledaklah kegiranganku, aku seakan tak percaya tapi itulah kenyataannya. Aku sembuh oleh dokter itu. Tanpa membuang waktu, dengan gugup dan girangnya aku berlari cepat-cepat pulang. Aku gembira luar biasa. Hampir semua orang menganggapku najis dan terbuang. Aku dihina dan tidak bisa diterima masyarakat. Tapi ternyata masih ada yang mau memegangku, bahkan memelukku dan menyembuhkanku. Ya! Dokter Hebat itu.

Sejak hari itu, tiap pagi sebelum berangkat kerja, karena aku akhirnya mendapatkan pekerjaan, aku selalu berdiri di depan cermin dan mengulangi kata-kata dokter tadi sambil meniru-niru intonasi dan artikulasi suara Dokter itu, “Kamu pasti sembuh!” Wah, aku jadi emosional menceritakan hal ini. Sampai-sampai aku lupa memperkenalkan diri. Ya! Aku sebenarnya HIV----Hanya Ingin Verifikasi bahwa aku adalah Anaknya Ibu Damargotje Sendow, disingkat AIDS.

Michael Sendow

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline