Kompas.com adalah versi online dari Harian Kompas. Kalau Kompasiana diibaratkan “anak kandung” dari Kompas, maka Kompas.com mungkin sangat cocok disebut “istri tunggal”nya Media Kompas. Tapi tulisan saya kali ini bukan untuk membahas asal-usul berdirinya Kompas ataupun hubungan kekerabatan diantara ketiganya. Sama sekali tidak.
Yang ingin saya cermati adalah Artikel yang di muat di Kompas.com 8 April yang lalu dengan judul Berhentilah Sekolah Sebelum Terlambat!. Ditulis oleh Yudhistira ANM Massardi, seorang sastrawan dan Pengelola Sekolah Gratis untuk Dhuafa, TK-SD Batutis Al-Ilmi Bekasi. Judul Artikel itu sangat provokatif. Tapi disisi lain sangat menggelitik. Memaksa pembaca untuk membaca tuntas apa yang hendak disampaikan penulis.
Saya hanya tertarik untuk membahas 3 point menarik sebagai penambah wawasan kita saja.Hal pertama yang menarik bagi saya dan kemudian ingin saya telusuri berdasarkan pengalaman saya adalah ungkapan Kang Yudhistira dalam tulisannya di salah satu alinea yang berkata demikian:
Paul Krugman, kolumnis The New York Times yang disegani, dalam tulisannya pada 6 Maret 2011, menegaskan fakta-fakta di Amerika Serikat bahwa posisi golongan kerah putih di level menengah— yang selama beberapa dekade dikuasai para sarjana dan bergaji tinggi--, kini digantikan peranti lunak komputer. Lowongan kerja untuk level ini tidak tumbuh, malah terus menciut. Sebaliknya, lapangan kerja untuk yang bergaji rendah, dengan jenis kerja manual yang belum bisa digantikan komputer, seperti para petugas pengantaran dan kebersihan, terus tumbuh. (point 1)
----Otak saya sedikit cenat-cenut, benarkah Kang Yudhistira, atau lebih tepat benarkah si Paul Krugman. Bagaimana mungkin Komputer bisa menggantikan manusia? Apa penjelasannya bahwa Komputer bisa menggantikan pekerja/karyawan? Bukankah sehebat apapun komputer tersebut, tetap harus ada operator (baca: manusia) yang mengoperasikannya, kalau bukan manusia yang mengoperasikannya, terus siapa lagi? Logika sederhananya kan harus begitu? Tanpa operator, komputer tetap tidak bisa bekerja sendiri!
----Tapi otak saya yang cenat-cenut itu yang ternyata bodoh. Saya baru bisa menarik benang merahnya, ketika mengingat-ingat pengalaman saya bersinggungan langsung dengan “kecerdasan buatan” di tempat saya bekerja dulu. Sebuah perusahaan yang memproduksi medicine bottles dan spice bottles. Berry Plastic, corp.
Perusahaan ini menggunakan tehnologi sangat canggih di lantai produksi mereka. Ada program yang di kenal sebagai SPC (Statistical Parameter Control), dan MATTEC System. Untuk melakukan supervisi keadaan production floor, saya tidak perlu repot-repot keliling ruangan yang sangat besar itu dari satu Robotic Machinery ke Robotic Machinery yang lain. Cukup dengan melihat kelayar komputer saya bisa tahu apa yang terjadi di setiap mesin. Karena mesin ini mengolah biji plastik, sejenis PE, PET, PP, ditambah bahan pewarna kemudian diproses menjadi botol-botol obat dalam berbagai bentuk dan ukuran yang diinginkan melalui suatu proses di Molding Injection (hasilnya banyak dipakai perusahaan obat di Indonesia, lihat saja logo Setco/Berry Plastic), nah selama proses tersebut dibutuhkan panas yang cukup, tekanan air yang normal, suhu yang stabil dan sebagainya. Jika ada penyimpangan (deviasi)maka kita bisa mengetahuinya langsung dari depan komputer. Kita memiliki 80 mesin produksi. Tanpa SPC dan Mattec, idealnya dibutuhkan 16 tenaga kerja (Group Leader)yang harus ditempatkan di beberapa line. Tapi dengan sistem komputerisasi yang canggih ditambah aplikasi untuk kecerdasan buatan komputer, hanya dibutuhkan 1 operator dan 1 technician. Kebutuhan penggunaan tenaga kerja terminimalisasi. Budget juga kemudian bisa ditekan.
Belum lagi dengan penggunaan kecerdasan buatan pada robot-robot yang kita pakai, mereka bisa melakukan kerja yang harusnya dikerjakan oleh 10 karyawan. Mulai dari kegiatan mensortir botol sampai memasukkannya ke dalam box. Walaupun masih kalah sama perusahaan sejenis di Jepang, yang untuk membuat box pun mereka sudah menggunakan robot.
Kecerdasan buatan komputer yang biasa dipakai adalah dengan menggunakan apa yang di sebut Fuzzy Logic. Fuzzy Logic inilah yang dipakai si Kit, mobil yang bisa bicara dalam serial Knight Riders, di California mobil itu memang ada, tapi tidak dipakai di jalan. Hanya di pamerkan, tapi kita bisa berkomunikasi dengan mobil tersebut. Bahkan sekarang sedang di rancang robot yang memiliki kecerdasan buatan, ia bisa merasakan, berpikir dan mengambil keputusan. Luar biasa. Videonya bisa dilihat di You Tube. Robot tersebut bahkan meneteskan air mata ketika sedih. Apakah suatu ketika komputer bisa menggantikan manusia pada posisi-posisi vital? Komputer dan tehnologi sudah semakin meminggirkan para pekerja, tidak hanya di level menengah keatas tapi juga bahkan para buruh kasar mulai tergantikan. Komputer dapat menggantikan karyawan?------Terjawab sudah.
Yang kedua adalah kalimat yang berkata:
Zaman terus berubah. Sistem pendidikan dan paradigma usang harus diganti dengan yang baru. Era teknologi analog sudah ketinggalan zaman. Kini kita sudah memasuki era digital. Itu artinya, konsep tentang ruang dan waktu pun berubah. (point 2)
Apa yang dimaksud dengan konsep tentang ruang dan waktu pun berubah? Saya melihatnya seperti ini; Karena tehnologi semakin canggih, dunia bisnis dan industripun harus mengikuti trend tersebut. Bayangkan saja saat ini ada orang yang bisa bekerja, menghasilkan duit tanpa kantor yang permanent. Kita bisa berbisnis tanpa mengenal ruang dan waktu yang sempit. Kita bisa bertransaksi dimanapun kita suka dan kapanpun kita mau. Jelas, paradigma kita harus diubah. Konsep tentang ruang dan waktu dalam dunia usaha harus juga direvisi kembali. Lha, bagaimana dengan usaha-usaha konvensional yang sudah ada sekarang, dengan bangunan permanen mereka yang megah dan besar itu? Bukan masalah, kan yang harus di set kembali adalah cara pandang, pola pikir, kinerja, system, dan hal-hal tehnis lainnya yang sudah barang tentu harus menyesuaikan diri dengan perkembangan jaman. Konsep ruang dan waktu harus disesuaikan------Terjawab sudah.
Hal ketiga yang menarik adalah alinea ini:
Membangun semangat "cinta belajar" tak perlu harus ke perguruan tinggi. Kini seluruh ilmu pengetahuan sudah tersedia secara digital, bisa diakses melalui komputer di warnet ataupun melalui telepon genggam. Jadi, cukup berikan kemampuan menggunakan komputer, mencari sumber informasi yang dibutuhkan di internet, dan bahasa Inggris secukupnya karena di dunia maya tersedia mesin penerjemah aneka bahasa yang instan.
Anak-anak cukup sekolah 12 tahun saja (mulai dari pendidikan anak usia dini, PAUD)! Mereka tidak usah jadi pegawai. Dunia kreatif yang bernilai tinggi tersedia untuk mereka, sepanjang manusia masih ada. (point 3)
Benarkah demikian?
Apakah karena adanya (point 1) dan (point 2) di atas, adalah jaminan bahwa (point 3) tersebut merupakan langkah yang tepat? Memang, itu adalah opini/pendapat si penulis semata. Tapi tidak mengapa,mari kita telusuri lebih lanjut.
Dikatakan bahwa “kini seluruh ilmu pengetahuan sudah tersedia secara digital, bisa diakses melalui komputer di warnet ataupun melalui telepon genggam”. Ungkapan ini menurut saya tidak, atau kurang didukung dan didasari fakta yang tepat (kuat), karena tidak SELURUH ilmu pengetahuan bisa diperoleh di Internet. Masih ada begitu banyak ilmu pengetahuan yang hanya bisa diperoleh dengan membaca buku dan di bangku sekolah.
Kalimat tersebut dilanjutkan dengan “Jadi, cukup berikan kemampuan menggunakan komputer, mencari sumber informasi yang dibutuhkan di internet, dan bahasa Inggris secukupnya karena di dunia maya tersedia mesin penerjemah aneka bahasa yang instan.
Kemampuan menggunakan komputer apa yang dimaksud? Yang bisa kita berikan secara “cukup” tersebut. Mungkin sekedar cara-cara bagaimana browsing di Internetkah? Untuk mencari sumber informasi yang dibutuhkan? Lalu apa jaminan bahwa di usia-usia mereka yang mereka cari di Internet, Warnet adalah informasi pelajaran, informasi pekerjaan. Bukankah banyak kita lihat anak-anak seumuran mereka lebih senang bermain game di warnet, apalagi dengan adanya online games yang makin mewabah itu. Sekolah ternyata masih dibutuhkan.
Belum lagi menurut catatan tahun 2010 bahwa pengguna internet di Indonesia sekitar 45 juta orang, berarti masih ada 170-an juta lebih yang belum/tidak menggunakan internet. Dan menurut data dari berbagai sumber, jumlah warnet di Indonesia hingga saat iniberkisar 20-30 ribu buah, dengan rata-rata jumlah PC 15-20 unit. Masih sangat sedikit dibanding jumlah penduduk dan luas wilayah republik kita ini. Apalagi kalau melihat fungsi warnet, sangat sulit menjadikan warnet sebagai sarana pengganti sekolah. Fungsi warnet sering lebih kepada main game, chatting, browsing situs-situs tertentu seperti FB, My Space, Twitter, dll. Aaah, sekali lagi sekolah ternyata masih dibutuhkan.
Mengenai bahasa Inggris, seberapa bisa sih kita belajar bahasa Inggris lewat kamus penerjemah di Internet yang kebanyakan hanya bisa menerjemahkan kata per kata tersebut? Mana bisa kamus online bisa menggantikan sekolah. Sekolah tetap masih diperlukan.
[caption id="attachment_99801" align="aligncenter" width="300" caption="Sekolah itu penting...(dari Google)"] [/caption]
Lalu apakah kita masih berpikir bahwa sekolah cukup 12 tahun saja? Saya berharap bahwa penulis artikel tersebut tidak bermaksud mengatakan bahwa melanjutkan kuliah itu tidak penting.Saya juga yakin penulis dan Kompas.com yang mempublikasikan artikel yang sudah dishare di FB lebih dari 2000 kali itu bukan bermaksud mengatakan bahwa sekolah itu tidak berguna. Penulis artikel tersebut memang bermaksud menekankan betapa pentingnya KREATIVITAS dan IMAJINASI itu. Bahwa kita harus menjadi kreatif, bahwa dengan kreatif kita bisa mendapatkan apa yang kita cari. Murid harus menjadi kreatif demikian juga guru. Sebab murid melihat contoh gurunya. Dunia pendidikan tinggi juga harus kreatif, sekolah-sekolah harus kreatif dan selalu memberikan pelajaran yang bermuatan tentang kreatifitas. Oleh karenanya bagi saya sekolah tetaplah penting, universitas tetap dibutuhkan. Yang perlu diperbaiki adalah cara mengajar, cara belajar, mata kuliah yang diajarkan, hendaklah lebih menekankan pada pembentukan skill tertentu.
Tanpa IMAJINASI maka KREATIVITAS kita tidak berkembang. Dan tanpa KREATIVITAS maka IMAJINASI kita hanya sebuah mimpi. Tapi tanpa SEKOLAH, IMAJINASI dan KREATIVITAS kita menjadi kurang terarah.
Selamat Bersekolah!
-Michael Sendow-
http://media.kompasiana.com/buku/2011/04/08/buku-itu-tidak-berguna-dan-tidak-penting/
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H