[caption id="attachment_328452" align="aligncenter" width="568" caption="Ilustrasi/ Kompasiana (Shutterstock)"][/caption]
“For all I know, writing comes out of a superior devotion to reading.” Demikianlah kata-kata dari Eudora Welty. Menulis adalah perwujudan dari kegemaran kita membaca yang amat banyak. Bila kita ‘gila’ membaca, serempak kita akan menjadi ‘gila’ juga dalam menulis. Ini keniscayaan yang tiada tersangkali. Penulis yang tidak pernah membaca, maka ia hanya akan mampu menulis pemikiran-pemikiran terbatas. Bisa jadi, seperti katak dalam kuali. Yang ia ketahui hanya sebatas isi kuali itu. Padahal, dunia ini tidak hanya sebesar kuali.
Beberapa tulisan terakhir saya dibombardir komentar orang-orang yang merasa dirinya ‘paling tahu’ dan ‘paling benar’. Lagi-lagi, ini adalah tipe orang yang merasa dia pintar, namun borok kebodohan selalu ia pelihara. Kalau boleh saya bicara tegas, lebih baik dan akan terlihat terhormat bila Anda atau Anda-Anda berhenti berkomentar di Kompasiana, jika itu hanya untuk menebar kebencian, sentiment SARA, dan biang permusuhan. Tidakkah Anda dapat berkomentar sedikit lebih bijak dan santun? Kalau tidak, saya siap mengirim Anda ke ___________. Di sana semestinya Anda tinggal, jangan bersosialisasi di rumah sehat Kompasiana tapi mengotorinya dengan membuang hajat seenak moyangmu dewe. Baca ini, hadiah dari saya: Buang Hajat di Kompasiana?
Apakah saya marah? Jelas. Dan itu manusiawi. Tapi saya tidak akan pernah membalas cacian dengan cacian. Saya tidak akan mengerdilkan diri membalas makian dengan makian. Tulisan dilawan dengan tulisan. Argumentasi beradu dengan argumentasi. Itulah selayaknya yang dilakukan orang-orang yang masih memiliki hati nurani. Dan yang mengaku diri terdidik.
Bukan hanya menulis yang dapat ‘membunuh’ seseorang. Memberi komentarpun dapat membunuh seseorang. Ia dapat dimaknai sebagai: Membunuh karakter, membunuh keberadaan, membunuh secara moril, dan juga membunuh kesabaran. Manusia punya batas dalam segala hal, termasuk kesabaran. Memberi komentar dan berdebat, beragumentasi secara sehat, sepanas apapun itu tetap saja dapat diterima, bahkan harus, untuk menciptakan alam demokrasi pemikiran yang kuat. Tapi memaki dan mengata-ngatai seseorang dengan caci-maki pun tunduhan sembarangan sama sekali tidak dapat dibenarkan di alam peradaban kekinian. Terkecuali Anda memang adalah orang yang tidak beradab sama sekali, itu lain cerita. Atau Anda adalah manusia goa, ya masih bisa saya maklumi.
Apa susahnya sih kita menulis dan berkomentar dengan baik? Kalau susah, silakan klik link ini dan baca seksama: Menulislah dengan Baik. Kalau pemberi komentar ‘ilegal’ di Kompasiana, seberapa banyak akun kloningan pun Anda buat setiap harinya, tidak pernah mau sadar, ya seperti yang sudah saya bilang, silakan bermigrasi sesegera mungkin ke ___________ atau tempat lainnya. Kalau tidak biarlah Admin yang bertindak, mengusir penulis-penulis dan pemberi komentar yang penuh caci maki kebencian itu, dengan cara mereka sendiri. Makanya saya pendukung utama akun-akun kloningan penebar makian dan sentimen-sentimen tertentu untuk segera saja dibekukan, kalau perlu enyahkan dari rumah ini. Sebab, buat apa Anda ada di sini bila menulispun tidak pernah namun berkomentar menghujat, menghakimi, dan mencaci maki begitu rajinnya? Bisa ratusan. Then I don’t think you deserve to be here, anyway!
Kompasiana dihadirkan ke dunia ini oleh para pencetus dan pendirinya, tentu ada maksud. (Thanks to Kang Pepih, Mas Isjet, dkk). Apa maksudnya? Ya menjadi sarana dan alat untuk menampung, memfasilitasi, serta membesarkan tulisan-tulisan kita. Menjadi ‘ruang kebersamaan’ dalam berbagi dan menerima ide. Jangan heran kalau ada motto sharing dan connecting. Tentu mereka tidak bermaksud para penulis Kompasiana untuk sharing cacian dan makian bukan? Namun acap kali kita sendiri yang alpa menggunakan fasilitas ini dengan baik dan bijak. Kerap kali kita justru menihilkan etika dan toleransi demi sesuatu yang bahkan belum pasti sama sekali. Misalnya, kita menulis tentang politik – dunia yang serba ketidakpastian – tapi diolehkarenakan sesuatu yang belum pasti itu, kita justru saling hantam, serang, dan tikam. Serempak menisbikan segala akal sehat, moral, dan pun peradaban kita sebagai manusia terdidik. Tanpa malu, kita mulai jual beli caci maki. Bagi saya sesuatu yang amat sangat lucu tapi memiriskan. Benar-benar tidak sehat. Bahan bacaan lain: Menulis Indah
Dunia Tulis Menulis
Dari pada kita hanya menjadi pemberi komentar yang tidak bijaksana, saya sarankan kita menjadi penulis yang mau menulis demi sesuatu yang bernilai harganya. Menulislah demi kebaikan dan ada manfaatnya. Bagi diri sendiri dan juga orang lain. That’s the writer should be.
Ada yang bilang, saya tidak mau menulis karena tidak ada yang baca tulisan saya. Siapa bilang? Mana ada penulis yang tulisannya dibaca ‘nol’ pembaca? Makanya jangan dulu berpikir bahwa tulisan kita akan dan harus dibaca oleh ‘seluruh dunia’. Mari coba simak apa yang dikatakan seorang Kurt Vonnegut. “Write to please just one person. If you open a window and make love to the world, so to speak, your story will get pneumonia.” Saya amini pernyataannya itu.
Benefit utama dan paling besar yang pertama adalah bahwa dengan menulis Anda secara pribadi sudah mengizinkan diri Anda sendiri untuk bersikap jujur. Sebab dengan menulis Anda berarti sudah menampung segala perasaan, ide, pemikiran-pemikiran, dan apapun juga yang ada dalam benak Anda. Ini menurut saya, adalah jalan awal menuju kesuksesan menjadi penulis besar. Mereka yang menghargai hasil karyanya secara jujur dan benar, maka merekalah yang akan sanggup bertumbuh dan bertambah besar olehnya.
Tanamkan dulu dalam-dalam ke diri Anda bahwa It doesn’t matter if nobody reads your writing. Mendapatkan pembaca itu adalah langkah selanjutnya. You cannot connect to other people without connecting first to yourself. Bahkan seorang penulis besar pernah berkata seperti ini, “You cannot hope to sweep someone else away by the force of your writing until it has been done to you.” Dialah Stephen King, seorang penulis besar dalam sejarah dunia kepenulisan novel.
Ada juga yang merasa bahwa dirinya tidak pernah mendapatkan ide atau inspirasi untuk menulis. Ini adalah sebuah kesalahan paling fatal dalam berpikir. Kenapa saya bilang demikian? Karena ide dan inspirasi itu akan ada di mana saja, kapan saja, dalam keadaan bagaimanapun. Dalam tidur pun inspirasi serta ide bisa datang, ya lewat mimpi-mimpi kita. Itu juga bisa dijadikan bahan tulisan. Dan Poynter bilang begini, “If you wait for inspiration to write; you’re not a writer, you’re a waiter.” Kalau Anda menunggu inspirasi dulu baru menulis, berarti Anda bukanlah seorang penulis.
Jadi, marilah menulis dan terus menulis. Nah, apakah kita masih ingin menjadi seseorang yang begitu munafiknya. Hanya mampu dan sanggup berkomentar miring, mencaci, dan menuduh tanpa pernah bisa menulis secara baik dan bijak, terserah pilihan kita masing-masing.
Saya tetap percaya bahwa writing empowers the greater good. Dan itu pasti. Karena bukankah apa yang Anda tabur, itu jugalah yang Anda akan tuai. Menulis dan terus menulis sesuatu yang baik dan bermanfaat, tentu Anda jualah yang akan menikmati hasilnya. Kata-kata itu akan menjadi bermakna tergantung siapa yang menuliskannya. Kata-kata juga dapat berubah dan terbentuk menjadi sebuah tulisan yang baik atau jahat tergantung siapa yang memainkannya. “Words—so innocent and powerless as they are, as standing in a dictionary, how potent for good and evil they become in the hands of one who knows how to combine them.” —Nathaniel Hawthorne. Kata-kata, tidak mempunyai kekuatan apapun, tapi lantas kemudian ia akan menjadi sangat kuat di tangan siapapun yang sanggup memainkan serta mengkombinasikannya dengan baik. ---Michael Sendow---
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H